Ritual yang dilakukan untuk menjadi penari yang sukses justru membuat hidup Ratri terancam, bagaimana nasib Ratri selanjutnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Darah Murid terpilih
Hujan mengguyur kota Solo sepanjang malam, menciptakan irama yang mencekam di atap sanggar. Di dalam kamar asramanya, Lala gelisah dalam tidur. Tangannya bergerak, kakinya menendang selimut, dan keringat dingin membasahi dahinya.
Dalam mimpinya, ia berdiri di tengah panggung besar, dikelilingi penonton bertopeng. Tapi topeng mereka bukan biasa—mata mereka menyala merah, dan mulut mereka menggumamkan mantra.
Dari tengah panggung, muncul seorang penari berkebaya hitam. Ia menari dengan gerakan lambat, namun mengandung tekanan luar biasa. Wajahnya mirip Ratri… tapi lebih pucat, lebih menyeramkan.
Penari itu mendekat, mengangkat tangannya, lalu menyentuh dahi Lala.
“Kau… adalah jalan yang baru.”
Lala terbangun dengan teriakan. Napasnya memburu, dan ia mendapati tangannya berdarah—ada luka panjang seperti goresan kuku di pergelangan kirinya.
---
Keesokan harinya, sanggar sepi. Sebagian murid dipulangkan sementara waktu untuk menghindari kepanikan. Tapi Ratri bersikeras untuk terus mendampingi Lala.
Raditya menyelidiki rekaman CCTV malam tadi. Apa yang ia temukan membuat darahnya membeku.
Pukul 02.15 dini hari, kamera menangkap sosok bayangan hitam berjalan keluar dari kamar Lala. Bayangan itu menoleh ke arah kamera—matanya menyala, dan di dahinya tampak simbol segitiga merah.
Simbol itu… adalah lambang pemimpin sekte Waringin Wengi.
---
Subhan langsung mengadakan pertemuan kecil.
“Lala sudah ditandai,” katanya serius. “Mereka gagal merasuki Ratri, maka mereka mencari ‘jalur samping’. Dan Lala, sebagai murid terdekatmu, dengan getaran jiwa yang masih muda dan polos, menjadi target paling ideal.”
Ratri menatap Lala yang duduk memeluk lutut di pojok ruangan.
“Apa mereka akan membunuhnya?” tanya Raditya.
“Tidak,” jawab Subhan. “Mereka akan merasukinya perlahan, dengan mimpi, ketakutan, dan ilusi. Saat jiwanya lemah, tubuhnya akan kosong… dan saat itulah, roh Lembayung akan masuk.”
“Tidak!” Ratri berdiri. “Kita tidak akan membiarkan itu.”
---
Malam itu, Ratri menemani Lala tidur di ruang ibadah kecil yang sudah disucikan. Subhan membuat lingkaran perlindungan di sekeliling tempat tidur, dan membacakan ayat penangkal gangguan.
Namun pukul 03.00 pagi, Ratri terbangun karena Lala menangis dalam tidur. Tubuh gadis itu menggigil, dan dari mulutnya terdengar suara berbeda—suara perempuan dewasa.
“Aku… sudah cukup lama menunggu. Jika kamu tak mau membuka pintu, maka kami akan membuat pintu sendiri.”
Lingkaran pelindung mulai retak. Udara menjadi dingin seperti es. Dupa yang dibakar mati satu per satu. Lala menggeliat… dan matanya terbuka. Tapi yang menatap Ratri bukan Lala.
“Salamku, pewaris lama,” ujar suara itu lirih. “Aku tidak butuh tubuhmu… cukup muridmu.”
Ratri mundur dengan tubuh gemetar, lalu dengan refleks menyiram Lala dengan air suci. Jeritan melengking menggema di seluruh ruangan. Lala pingsan, dan lingkaran kembali utuh.
Subhan masuk terburu-buru.
“Mereka mulai memaksa. Kita harus membawa Lala ke tempat aman—tempat di mana roh itu tidak bisa menjangkau.”
“Ke mana?” tanya Ratri.
Subhan menatap tajam.
“Ke desa P.”
---
Sementara itu, di sebuah gua gelap yang menjadi markas sekte, sang pemimpin berdiri di depan altar.
“Lembayung akan bangkit, meski bukan dengan darahnya sendiri. Darah murid akan cukup... jika sang guru membiarkannya terbuka.”
Di altar itu, sebuah boneka anyaman jerami berbentuk manusia perempuan terbakar pelan-pelan. Di atasnya tertulis:
“LALA.”
Kabut tipis menyelimuti jalan tanah yang membawa mereka menuju Desa P. Kali ini, mobil tak bisa masuk hingga ke tengah desa—terlalu banyak pepohonan tumbang dan jalan rusak, seolah desa itu sendiri menolak kedatangan orang luar. Ratri berdiri terpaku di ujung jalan setapak. Kembali ke Desa P, tempat semuanya bermula, membuat hatinya bergemuruh.
Di belakangnya, Lala berjalan tertatih. Matanya sembab, tubuhnya lemah, dan setiap beberapa menit, ia menggigil meski suhu tidak terlalu dingin. Subhan berjalan di sisi kanan, menggenggam tas besar berisi kitab doa dan sesajen. Raditya dan Aminah menutup barisan.
Sesampainya di depan rumah lama Ratri, mereka semua berhenti.
Rumah itu tak berubah: tua, berlumut, dan seperti menyimpan rahasia yang menempel di setiap kayu lapuknya. Tapi kali ini, auranya berbeda. Seolah rumah itu hidup, mengawasi, dan... menunggu.
“Tempat ini bukan sekadar rumah,” gumam Subhan. “Ini altar. Sebuah ruang ibadah tersembunyi yang dulu digunakan sebagai titik terakhir ritual warisan darah.”
Ratri mengangguk. “Dan aku dibesarkan di atas tanah itu.”
---
Mereka membersihkan ruang tengah rumah dan mengatur tempat tidur Lala di sana. Dupa dinyalakan di empat penjuru, air ruqyah disiramkan di setiap ambang pintu. Subhan memimpin doa, sementara Ratri menggenggam tangan Lala yang bergetar.
“Tetap bersamaku, ya, La. Kita akan lawan ini sama-sama.”
Lala tersenyum lemah. “Aku percaya sama Kak Ratri.”
Malam itu, mereka semua tidur bergantian menjaga.
Namun tepat pukul 01.13 dini hari, suara gamelan tua terdengar samar dari belakang rumah.
Deg. Deg. Deg.
Suara kendang yang lambat dan berat, seperti ditabuh oleh tangan tak kasatmata. Ratri langsung bangun, mengambil keris pusaka yang pernah dititipkan Rajiman, sesepuh desa, padanya. Keris itu dulu digunakan untuk membuka gerbang dunia arwah. Kini, ia akan menggunakannya untuk menutupnya.
Raditya dan Subhan menyusul ke belakang rumah.
Di bawah pohon beringin tua, sebuah panggung bambu kecil terbentuk dari tanah dan akar—seperti muncul begitu saja. Dan di atasnya, ada seseorang yang menari.
Siluet wanita berkebaya hitam, dengan rambut panjang terurai dan wajah yang tidak bisa dilihat dengan jelas. Tapi gerakannya… sangat familiar.
“Lembayung…” bisik Subhan.
Ratri maju perlahan, menggenggam keris.
Sosok itu berhenti menari, lalu menatapnya dengan mata hitam tak berkelopak.
“Akhirnya kau pulang… pewaris yang tersesat.”
Ratri mengangkat keris.
“Aku bukan pewaris. Aku adalah penghapus.”
Lembayung tertawa. “Terlambat. Aku sudah masuk. Bukan padamu... tapi lewat pintu lain.”
“Lala…” Raditya menyadari lebih dulu.
Mereka berlari masuk ke rumah.
---
Di dalam, Lala duduk tegak di tempat tidurnya. Matanya terbuka lebar, tapi tak melihat siapapun. Mulutnya komat-kamit membaca mantra aneh dalam bahasa Jawa Kuno.
Aminah menangis sambil memeluk anak itu, tapi tubuh Lala panas seperti bara api.
Subhan mulai membacakan ayat Ruqyah, sementara Ratri mendekat dan meletakkan keris di atas dada Lala.
“Kalau kau benar sudah masuk, keluarlah melalui aku.” Ratri menantang.
Tapi tubuh Lala mendadak tersentak. Suara tawa perempuan keluar dari mulutnya.
“Kau sudah melepas warisanmu. Tubuh ini kosong. Lebih bersih. Lebih muda. Sempurna.”
Lampu padam. Rumah bergetar.
Tiba-tiba… Lala berteriak sangat keras. Suara itu bukan suara manusia.
Ratri tak punya pilihan. Ia meraih botol kecil berisi darah dirinya sendiri—darah yang dikumpulkan Subhan sebelum ritual penghapusan dahulu. Ia mencoretkan darah itu di dahi Lala.
Cahaya putih meledak seketika.
Jeritan gaib menggema.
Tubuh Lala terkulai.
Hening.
---
Setelah beberapa menit, Lala membuka matanya. Ia menangis keras dan memeluk Ratri.
“Dia… dia mencoba tinggal di dalamku. Tapi aku lihat semuanya, Kak. Aku lihat bagaimana ia dulu dikorbankan. Aku lihat dia membunuh penari-penari lain… hanya agar dia bisa tetap muda…”
Subhan menatap tanah yang mulai retak-retak di lantai ruang tengah.
“Tempat ini tidak bisa menahan roh Lembayung lagi. Dia akan mencari jalan keluar. Atau… kita yang harus menguncinya untuk selamanya.”
Ratri berdiri.
“Maka kita akan melawan. Di panggung yang dia pilih. Dengan tarian yang dia warisi. Tapi dengan jiwa yang sudah bebas.”
ratri ky g ada perlawanan, bangun ratri!!!
kirain sdh tamat.... lanjuuuuut