Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.
Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.
Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PANTAI PRIBADI
Desahan Nayara kian memburu saat Kaelith menyatukan mereka, tubuhnya berusaha mengikuti irama yang dimainkan pria itu.
“Kau selalu jadi candu, Nayara,” bisik Kaelith di telinganya, suaranya rendah dan sarat godaan.
Nayara hanya terdiam, membiarkan dirinya tenggelam dalam setiap sentuhan Kaelith yang membakar kulitnya.
Keesokan paginya, sinar matahari yang menembus tirai membangunkan Nayara tepat setelah Kaelith mengguncang pelan bahunya.
“Ayo, sarapan dulu. Setelah itu kita pergi ke tujuan selanjutnya,” ucap Kaelith dengan nada tenang namun penuh rencana.
Kaelith memandikan Nayara dengan gerakan yang tenang namun penuh kepemilikan, seolah menikmati setiap detik kebersamaan mereka di bawah percikan air hangat.
Selesai membersihkan tubuh gadis itu, ia mengambil handuk dan membungkusnya lembut di sekitar tubuh Nayara.
“Pakai ini,” ucap Kaelith sambil menyodorkan gaun tipis berwarna putih gading yang jatuh anggun di tangan. “Selama kita di pantai pribadi ini, aku yang akan memilih semua yang kau kenakan.”
Tatapan Nayara sempat goyah, tapi ia hanya mengangguk pelan, menuruti keputusan pria itu.
Mereka sarapan lebih dulu di teras villa, ditemani semilir angin laut yang membawa aroma asin dan suara ombak yang tenang.
Usai makan, Kaelith menggenggam tangan Nayara, menuntunnya menuruni jalan setapak menuju dermaga pribadi.
Di ujung dermaga, sebuah speedboat mewah berwarna putih mutiara sudah menanti. Desainnya elegan, dengan interior kulit berwarna krem dan sentuhan kayu mahoni yang mengilap. Kaelith memang sengaja menyewanya hanya untuk mereka berdua.
Ia membantu Nayara naik ke atas, memastikan gadis itu nyaman, sebelum speedboat mulai melaju membelah birunya laut, meninggalkan jejak buih putih di belakang mereka.
Angin laut yang segar menerpa wajah Nayara, membuat rambutnya berkibar liar. Ia memejamkan mata sejenak, menikmati sensasi kebebasan yang jarang sekali ia rasakan.
Kaelith, yang duduk di sebelahnya sambil mengendalikan kemudi, sesekali meliriknya dengan senyum tipis.
“Cantik sekali,” gumamnya, hampir tak terdengar di tengah deru mesin.
Speedboat mewah itu melaju membelah ombak, menuju teluk tersembunyi yang airnya jernih bak kaca. Dari kejauhan, terlihat garis pantai berpasir putih yang seolah belum pernah dijamah siapapun.
“Tempat apa itu?” tanya Nayara penasaran, matanya berbinar.
Kaelith hanya terkekeh, “Rahasia. Kau akan tahu sebentar lagi.”
Beberapa menit kemudian, speedboat mewah itu berhenti tepat di dekat pantai yang tersembunyi di balik tebing karang. Airnya sebening kristal, memantulkan cahaya matahari yang membuat permukaannya berkilauan.
Kaelith melompat turun lebih dulu, lalu menoleh sambil mengulurkan tangan.
“Turunlah, hati-hati.”
Nayara menggenggam tangannya, merasakan sentuhan hangat yang kontras dengan air laut yang menyapu pergelangan kakinya. Mereka berjalan menyusuri pantai sepi itu, hanya terdengar suara deburan ombak dan kicauan burung laut di kejauhan.
“Tidak ada orang?” tanya Nayara sambil memandangi sekitar.
Kaelith tersenyum puas. “Ini pantai pribadi. Aku menyewanya khusus untuk kita hari ini.”
“Kau tidak sedang memikirkan hal yang aneh-aneh, kan?” tanya Nayara sambil sedikit mundur.
Kaelith terkekeh pelan, lalu melangkah mendekat sambil menyelipkan kedua tangannya ke saku celana.
“Aku? Berpikir macam-macam? Tentu saja.” jawabnya santai, dengan tatapan penuh arti.
Nayara menghela napas, mundur satu langkah lagi, namun pasir yang lembut membuat langkahnya melambat.
“Kaelith…” nada suaranya mengandung peringatan.
Pria itu hanya semakin tersenyum, lalu berjalan mengitari Nayara seolah seekor predator yang tengah mengelilingi mangsanya.
“Tenang saja, baby. Kita di sini untuk bersenang-senang… tapi kalau kau terus menatapku seperti itu, aku tidak bertanggung jawab.”
Tanpa peringatan, Kaelith tiba-tiba mengangkat Nayara dan menggendongnya di bahunya, layaknya mengangkut karung beras.
"Turunkan aku, Kaelith! Ini memalukan!" protes Nayara sambil memukul punggungnya.
Kaelith hanya terkekeh, langkahnya mantap menyusuri jalan setapak menuju sebuah vila mewah di pesisir pantai yang sudah ia sewa khusus untuk mereka berdua.
"Tenang saja, baby. Aku hanya ingin memastikan kau sampai ke tempat ini tanpa mencoba kabur."
Angin laut berembus kencang, membawa aroma asin yang bercampur dengan semerbak kayu dari bangunan vila. Rambut Nayara berantakan, sementara ia terus berusaha melepaskan diri dari gendongan pria itu.
Begitu tiba di teras vila, Kaelith menurunkan Nayara dengan hati-hati.
Gadis itu langsung menatapnya tajam, lalu melipat tangan di dada.
"Kau selalu bertingkah seenaknya."
Kaelith tersenyum miring, membuka pintu vila, dan mempersilakannya masuk.
"Kalau soal kau, aku memang selalu seenaknya, Nayara."
Interior vila itu memanjakan mata lantai kayu mengilap, dinding kaca besar yang langsung menghadap ke pantai, dan suara ombak yang terdengar jelas dari dalam. Di sudut, ada meja penuh hidangan segar, sementara kamar tidur utama di lantai atas menghadap laut biru berkilauan.
Kaelith berdiri di belakang Nayara, meraih pinggangnya.
"Hari ini milik kita sepenuhnya, Nayara."
Kaelith menangkap bibir Nayara dalam ciuman dalam yang sarat rasa memiliki, seolah menandai bahwa gadis itu hanya miliknya.
Nayara membalas, berusaha mengimbangi setiap gerakan dan tekanan bibir pria itu, meski hatinya berdebar tak karuan.
Ciuman itu semakin dalam, membuat napas Nayara tercekat di tenggorokan. Kaelith menariknya lebih rapat ke dada, seakan tak ingin ada jarak sekecil apa pun di antara mereka.
Tangan pria itu membelai punggung Nayara, lalu naik ke tengkuknya, menahan agar gadis itu tak menghindar.
"Nayara…" bisiknya di sela napas, suaranya berat dan penuh hasrat.
Gadis itu hanya memejamkan mata, membiarkan dirinya larut dalam setiap sentuhan Kaelith, meski hatinya diliputi campuran rasa takut dan rindu yang aneh.
Kaelith mendorong pintu kaca besar villa itu dengan kakinya, masih memeluk Nayara erat tanpa melepaskan ciuman mereka. Suara deburan ombak terdengar lebih jelas, bercampur dengan hembusan angin laut yang masuk bersama udara hangat ke dalam ruangan.
Ia menurunkan Nayara di sofa panjang dekat jendela, namun tidak memberinya kesempatan untuk menjauh. Bibirnya kembali menemukan bibir Nayara, kali ini lebih lembut, tapi tetap penuh rasa memiliki.
“Aku ingin setiap detik di sini jadi milik kita,” ucap Kaelith pelan, matanya menatap Nayara tanpa berkedip.
Nayara mengalihkan pandangan, pipinya memanas, tapi jantungnya berdebar kencang mendengar kata-kata itu.
Kaelith mengangkat dagu Nayara, memaksanya kembali menatap.
“Aku tidak mau ada satu pun yang mengganggu kita di tempat ini,” katanya sambil mengusap pipinya pelan.
Dari balik kaca besar, pemandangan pantai pribadi membentang, pasir putihnya berkilau di bawah cahaya matahari pagi. Ombak berkejaran lembut, seakan ikut mengiringi momen mereka.
Kaelith duduk di samping Nayara, jarak di antara mereka nyaris tak ada. Tangannya meraih jemari Nayara, menggenggam erat.
“Di sini… hanya ada kau dan aku, Nayara,” bisiknya, suaranya berat namun hangat.
Nayara merasakan dadanya sesak bukan karena takut, melainkan karena getaran yang entah mengapa semakin sulit ia kendalikan.
Malam harinya, Kaelith mengajak Nayara keluar dari villa menuju tepi pantai.
Udara laut yang sejuk berpadu dengan suara deburan ombak, sementara cahaya bulan memantulkan kilau perak di permukaan air.
Di sana, Kaelith sudah menyiapkan sebuah api unggun kecil. Nyala apinya berderak pelan, memantulkan cahaya hangat di wajah mereka.
“Hangat, kan?” tanya Kaelith sambil menyerahkan selimut tipis untuk menutupi bahu Nayara.
Nayara duduk di pasir, membiarkan kakinya terbenam setengah, lalu menatap api yang menari. “Iya… seperti bukan dunia nyata,” jawabnya pelan.
Kaelith menatapnya lama, lalu duduk di sebelahnya. “Karena malam ini memang hanya milik kita.”
Kaelith meraih tangan Nayara, menggenggamnya erat seolah takut melepaskan.
Desiran ombak yang datang dan pergi menjadi latar suara yang menenangkan, namun tatapan Kaelith terlalu intens untuk diabaikan.
“Aku ingin kau mengingat malam ini selamanya,” ucapnya rendah.
Nayara menoleh, bibirnya sedikit terbuka, “Kenapa?”
Kaelith tersenyum tipis, lalu mengusap pipi Nayara dengan ibu jarinya. “Karena aku tidak pernah melakukan ini untuk siapapun… hanya untukmu.”
Nayara merasakan detak jantungnya berpacu. Api unggun memantulkan cahaya di mata Kaelith, membuatnya terlihat semakin sulit untuk ditebak antara hangat dan berbahaya.
Kaelith tak mengalihkan tatapannya, jemarinya kini menyusuri garis rahang Nayara, membuat gadis itu sulit bernapas normal.
“Call me daddy,” ulangnya, kali ini lebih pelan namun sarat tekanan, sebelum bibirnya kembali menyentuh bibir Nayara dengan paksa yang manis.
Nayara menelan ludah keras-keras. Di balik debaran jantungnya, ia tahu… setiap kali Kaelith meminta hal itu, berarti pria itu menginginkan sesuatu yang membuatnya takkan bisa menolak meski tanda-tandanya selalu berakhir bukan pada hal yang baik bagi Nayara.
Nayara mencoba mengalihkan pandang, namun Kaelith menangkup dagunya, memaksa mata mereka kembali bertemu.
Api unggun memantulkan kilatan oranye di mata pria itu, membuat tatapannya semakin berbahaya.
“Baby…” bisiknya, jari-jarinya kini menyelip di antara rambut Nayara.
“Aku ingin malam ini… kau menuruti semua yang kuminta, tanpa membantah.”
Nayara mengerjap cepat. “Semua…?” suaranya nyaris tenggelam oleh deru ombak yang memecah di tepian.
Kaelith mengangguk, bibirnya melengkung licik. “Semua. Mulai dari sekarang.”
Lalu, tanpa memberi kesempatan Nayara untuk berpikir, ia menarik gadis itu mendekat, hingga tubuh mereka terhimpit panas dan aroma garam laut yang pekat di udara.
Kaelith menuntun Nayara ke hamparan pasir yang lembut, hanya diterangi cahaya api unggun dan bulan yang menggantung di langit malam.
Suara ombak menjadi irama yang mengiringi setiap sentuhan dan gerakannya, membaur dengan desahan napas mereka.
Bagi Kaelith, momen itu adalah wujud dari kepemilikan menandai Nayara di tempat di mana langit dan laut bersatu.
Bagi Nayara, semuanya terasa campur aduk antara malu, pasrah, dan tak bisa memungkiri getaran yang Kaelith selalu timbulkan setiap kali mereka bersama.
Angin laut berhembus lembut, seakan ikut menyelimuti tubuh mereka, menyimpan rahasia malam itu jauh di dasar ombak.
Usai semuanya mereda, Kaelith tetap memeluk Nayara erat, seakan tak membiarkannya pergi walau hanya sedetik.
Panas tubuh mereka kontras dengan dinginnya udara malam di tepi pantai.
"Aku ingin mengingat malam ini selamanya," bisik Kaelith di telinganya, suaranya berat namun penuh kepuasan.
Nayara hanya terdiam, menatap api unggun yang mulai mengecil.
Di hatinya, ia tak tahu apakah harus merasa terikat atau justru takut pada pria yang selalu bisa mengatur hidupnya sesuka hati itu.
Kaelith meraih selimut tipis yang ia bawa dari villa, menutup tubuh mereka berdua, dan membaringkan Nayara di pelukannya sambil memandangi langit berbintang.
"Kau milikku, Nayara. Sampai kapan pun… bahkan jika suatu hari aku menikah dan punya keluarga, kau tetap akan menjadi milikku. Kita akan terus bersama," ucap Kaelith pelan, suaranya dalam, seolah menghipnotis, sambil meninabobokan Nayara di pelukannya.
Nayara terdiam. Kata-kata itu seperti janji yang manis, namun juga terasa seperti rantai yang membelit. Ia memejamkan mata, membiarkan Kaelith mengusap punggungnya perlahan, sementara desir ombak menjadi satu-satunya saksi.