NovelToon NovelToon
AKU BUKAN USTADZAH

AKU BUKAN USTADZAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: ummu nafizah

"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20: Penentuan Takdir

Langit pagi tampak kelabu di atas Pantai Lasonrai, seolah menyimpan rahasia yang tak sabar untuk dipecahkan. Riak ombak menghantam tebing karang dengan dentuman berat, memantulkan suara alam yang menggema seperti peringatan. Aisyah berdiri di hadapan mulut gua, tubuhnya masih terasa lemah pasca sakit, namun matanya menyala oleh tekad dan keyakinan yang baru saja lahir bersama tangisan bayinya.

Di pelukannya, bayi mungil yang baru ia lahirkan terbungkus selimut putih bersih. Seolah menjadi cahaya baru bagi perjalanan panjang penuh luka dan keajaiban. Khaerul berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya erat, menatap ke dalam kegelapan gua yang kini menjadi pusat dari segala misteri.

"Sudah waktunya, Aisyah," ucap Khaerul pelan namun pasti. "Kitab itu harus dibaca. Sudah terlalu lama kebenaran dikubur dalam diam."

Aisyah melangkah masuk, menyusuri lorong gua dengan cahaya lentera kecil di tangan. Dinding-dinding basah memantulkan bayangan mereka, seperti sosok-sosok masa lalu yang turut menyaksikan. Di ujung lorong, mereka menemukan batu altar tempat kitab itu disembunyikan—kitab tua bersampul kulit hitam, bertuliskan huruf Arab gundul yang menggetarkan jiwa.

Mereka membacanya perlahan, halaman demi halaman. Ternyata kitab itu adalah risalah warisan leluhur yang menyimpan ilmu hikmah, silsilah keluarga Mahfudz, serta wasiat-wasiat mengenai amanah dakwah yang telah turun-temurun dijaga. Dalam kitab itu disebutkan tentang seorang perempuan dari garis keturunan Halimah yang kelak akan menjadi penentu kebangkitan kembali nilai-nilai spiritual di tanah Batupute.

"Itu kamu, Aisyah," gumam Khaerul. "Kau adalah penerus amanah itu."

Namun kebangkitan tidak datang tanpa perlawanan. Malam itu, suara azan subuh dari surau kecil mengiringi kedatangan sekelompok orang tak dikenal ke desa. Mereka mencari kitab yang konon bisa memberi kekuatan. Pak Samad, yang kini semakin terdesak oleh kenyataan, kembali memicu konflik. Ia menyebarkan fitnah bahwa kitab itu adalah ilmu hitam, dan bahwa Aisyah adalah perempuan pembawa kutukan.

Masyarakat pun terbelah—ada yang mulai percaya dan ingin belajar dari Aisyah, namun tak sedikit pula yang termakan fitnah. Suasana desa Batupute kembali mencekam. Aisyah dan Khaerul memutuskan untuk membuka pengajian besar di lapangan terbuka, memperlihatkan isi kitab itu kepada umum, menafsirkan dengan lembut dan jernih, serta menunjukkan bahwa isi kitab tersebut tak lain adalah petunjuk luhur.

Di tengah pengajian itu, seorang tokoh tua muncul dari kerumunan. Ia adalah sahabat lama Mahfudz, yang selama ini bersembunyi di balik nama samaran di desa lain. Ia bersaksi di depan warga, mengungkapkan siapa sebenarnya Mahfudz, Halimah, Nuraini, dan kaitan sejarah panjang antara kitab dan desa Batupute.

Tangis haru pecah di tengah lapangan. Fitnah perlahan runtuh. Pak Samad sendiri terdiam, wajahnya tertunduk dalam, lalu berjalan menjauh tanpa sepatah kata. Malam itu, angin Pantai Lasonrai menghembus lebih lembut dari biasanya.

Di atas sajadah bambu, Aisyah kembali bersimpuh, memeluk bayinya erat. Ia tahu perjuangan belum selesai. Tapi ia tidak lagi sendiri. Ia kini seorang ibu, seorang guru, dan penjaga warisan suci.

---

Beberapa hari berlalu sejak malam pengungkapan itu. Desa Batupute mulai merasakan angin kedamaian yang berembus lebih bersih. Pagi-pagi yang biasanya mencekam kini diwarnai dengan suara tawa anak-anak yang kembali bermain di halaman surau, dan suara ibu-ibu yang saling menyapa dengan senyum lega. Langit cerah menggantikan mendung yang lama menggantung.

Aisyah duduk di beranda rumah panggung sederhana mereka. Di sampingnya, sang bayi tidur tenang dalam ayunan kain yang diikatkan di tiang rumah. Wajah mungil itu membawa damai, meski tubuh Aisyah belum sepenuhnya pulih. Luka persalinan masih terasa, dan energi belum kembali seperti sedia kala, namun hati dan pikirannya terasa ringan.

Di kejauhan, ia mendengar suara santri yang tengah mengaji, diiringi desir angin dari arah pantai. Khaerul tengah menyiapkan kajian untuk malam Jumat di surau besar. Mereka tahu, tugas mereka belum berakhir, tapi hari ini—meski hanya sebentar—adalah hari syukur. Hari yang tenang, yang memperlihatkan bahwa badai bisa reda, dan harapan bisa tumbuh kembali.

Burung-burung melintas rendah, mengguratkan langit biru dengan sayap mereka. Pepohonan kelapa bergoyang perlahan, dan suara deburan ombak menjadi irama pengantar dzikir Aisyah yang tak pernah putus. Di sanubarinya, ia tahu bahwa setiap luka yang ia tanggung adalah jalan untuk memperkuat cinta—pada Allah, pada suaminya, pada perjuangan dakwah.

Dalam ketenangan ini, Aisyah belajar kembali tentang makna kesabaran. Tentang bagaimana kebesaran hati tidak lahir dalam kenyamanan, tapi dalam kerendahan, rasa sakit, dan keyakinan yang tak tergoyahkan.

Mentari pagi menyusup lembut dari balik jendela bambu, menghangatkan ruang kecil itu dengan cahaya keemasan. Aisyah terbaring lemah, namun wajahnya teduh, seolah tengah dipeluk langit yang memberi nafas baru setelah badai panjang. Bayi mungil di pelukannya sesekali bergerak pelan, mencari kehangatan dalam pelukan ibunya. Kehidupan baru telah hadir, menandai babak lain dalam perjuangan yang belum usai.

Khaerul duduk di samping dipan, jari-jarinya tak berhenti membelai rambut Aisyah dengan penuh kelembutan. Tatapannya tak lepas dari dua sosok yang menjadi dunia barunya. Ada sinar haru dan syukur yang membuncah di matanya, dan dari lubuk hatinya yang terdalam, ia bersyukur—bahwa Aisyah masih bersamanya, meski waktu sempat menggoda dengan ujung maut.

“Terima kasih karena bertahan, Sayang,” bisik Khaerul, menempelkan keningnya ke dahi Aisyah.

Aisyah tersenyum, meski lelah. “Aku tahu kau memanggilku dalam doa yang tak putus. Doamu yang menahan nyawaku tetap bertaut di tubuh ini.”

Suasana sejenak hening. Hening yang bukan sunyi, tapi penuh dengan gema cinta spiritual. Udara pagi terasa seperti lantunan dzikir yang tak terucap, membalut luka dengan kelembutan yang tak kasat mata.

“Kadang aku takut,” Aisyah melanjutkan pelan, “takut tak mampu menjadi ibu yang baik, istri yang sempurna. Apalagi dengan dunia yang kita hadapi ini... penuh tantangan dan gelombang.”

Khaerul menggenggam jemarinya. “Cinta yang kita jaga dalam perjuangan ini adalah ibadah. Dan engkau, Aisyah... adalah takdir terbaikku. Bukan sempurna yang kucari. Tapi kesetiaanmu, imanmu, keberanianmu. Cinta kita tumbuh bukan di taman mewah, tapi di tanah perjuangan yang basah oleh air mata dan doa.”

Tangis bayi pecah, menyela momen mereka. Aisyah dengan gemetar menyusui, dan di saat itu, Khaerul berdiri, lalu iqamah lirih di telinga kanan anaknya. Nama sang bayi, yang telah mereka sepakati, adalah Ibrahim Haris Khaerul—nama yang menyatukan sejarah para pejuang keluarga mereka.

Dalam hari-hari berikutnya, Aisyah perlahan pulih. Di sela waktu istirahatnya, ia kembali mengajar santri kecil dengan suara lembut dari balik tirai. Santri-santri perempuan mulai lebih sering datang, membawa kabar, cerita, dan masakan sederhana. Mereka menyalurkan cinta kepada Aisyah seperti kepada seorang ibu.

Suatu malam, ketika angin laut dari arah Pantai Lasonrai menyentuh wajah mereka, Aisyah dan Khaerul duduk bersandar di beranda. Langit bertabur bintang, dan suara gemuruh ombak terdengar seperti untaian tasbih.

“Aku ingin suatu hari anak kita menyaksikan perjuangan kita, dan tahu bahwa dakwah bukan hanya soal kata-kata, tapi pengorbanan jiwa dan cinta yang tidak pernah menyerah,” kata Aisyah pelan.

Khaerul mengangguk. “Dan ketika ia membaca kitab tua dari gua Lasonrai kelak, ia akan tahu bahwa leluhurnya pernah hampir dikalahkan oleh kebencian, tapi diselamatkan oleh iman.”

Aisyah bersandar pada bahu Khaerul. “Terima kasih telah memilihku, bahkan ketika aku datang membawa misteri dan luka.”

“Karena cinta yang tak bersujud pada Allah hanyalah nafsu. Aku mencintaimu karena Allah, Aisyah. Maka selama kita tetap di jalan itu, insya Allah cinta ini akan terus tumbuh, bahkan hingga surga.”

Di langit, bintang jatuh melintas pelan. Tak ada yang meminta, tapi langit seakan tahu bahwa dua jiwa yang bertaut ini sedang menanam harapan. Harapan akan dunia yang lebih damai, tentang cinta yang suci, dan tentang jalan yang meski sunyi, namun selalu ditemani cahaya.

1
Armin Arlert
karya ini benar-benar bikin saya terhibur. Terima kasih thor banyak, keep up the good work!
nafizah: mohon dukungannya yaa
total 1 replies
Aono Morimiya
Aku jadi pengen kesana lagi karena settingan tempatnya tergambar dengan sangat baik.
Nana Mina 26
Membekas di hati
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!