NovelToon NovelToon
Generasi Gagal Paham

Generasi Gagal Paham

Status: sedang berlangsung
Genre:Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Teen School/College
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Irhamul Fikri

Generasi sekarang katanya terlalu baper. Terlalu sensitif. Terlalu online. Tapi mereka justru merasa... terlalu sering disalahpahami.

Raka, seorang siswa SMA yang dikenal nyeleneh tapi cerdas, mulai mempertanyakan semua hal, kenapa sekolah terasa kayak penjara? Kenapa orang tua sibuk menuntut, tapi nggak pernah benar-benar mendengarkan? Kenapa cinta zaman sekarang lebih sering bikin luka daripada bahagia?

Bersama tiga sahabatnya Nala si aktivis medsos, Juno si tukang tidur tapi puitis, dan Dita si cewek pintar yang ogah jadi kutu buku mereka berusaha memahami dunia orang dewasa yang katanya "lebih tahu segalanya". Tapi makin dicari jawabannya, makin bingung mereka dibuatnya.

Ini cerita tentang generasi yang dibilang gagal... padahal mereka cuma sedang belajar.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 20 Suara yang Tak Pernah Usai

Angin malam membawa aroma tanah basah. Di atas atap rumah Juno, empat remaja duduk berjajar tanpa banyak bicara. Langit malam itu jernih, bintang-bintang menggantung seolah ikut mengawasi kegelisahan mereka. Di bawah, dunia masih seperti biasa sibuk menilai, sibuk menekan, sibuk membungkam.

Nala memeluk lututnya. Tatapannya kosong menembus langit. Telepon ancaman yang diterimanya tadi siang masih berputar di pikirannya. “Kami pastikan kalian tidak lulus tahun ini.” Kalimat itu terus bergema di benaknya.

“Apa kita terlalu jauh?” tanya Nala akhirnya, pelan.

Dita menoleh. “Kalau terlalu jauh artinya sudah di luar batas, mungkin justru itu tandanya kita mulai menyentuh hal yang benar-benar penting.”

“Jadi kita teruskan?” Juno ikut bicara.

Raka menghela napas. “Kita sudah di tengah-tengah badai. Kalau berhenti sekarang, semuanya sia-sia.”

Sejak forum terbuka itu, semua berubah. Beberapa guru mulai mengubah pendekatan, dan siswa mulai percaya bahwa suara mereka bisa didengar. Tapi bersamaan dengan itu, tekanan pun meningkat. Surat pemanggilan, penyebaran hoaks, hingga ancaman.

Tapi satu hal yang pasti suara mereka tak bisa dihentikan.

Esok harinya, suasana sekolah lebih sunyi dari biasanya. Bisik-bisik beredar cepat. Beberapa guru bahkan terlihat enggan menyapa mereka. Di sisi lain, beberapa siswa diam-diam memberikan jempol atau sekadar tatapan penuh dukungan.

Namun di tengah ketegangan itu, kabar besar datang dari luar sekolah: podcast Gagal Paham diundang sebagai narasumber dalam webinar pendidikan nasional yang diadakan oleh salah satu organisasi pendidikan independen.

“Serius? Nasional?” Dita sampai berdiri dari tempat duduknya saat membaca email itu.

“Ini bukan webinar receh. Pembicaranya ada dosen, aktivis, bahkan eks menteri pendidikan,” jelas Juno, matanya berbinar.

Nala membaca ulang emailnya. Mereka diminta menjadi pembicara di sesi bertajuk “Suara dari Sekolah: Perspektif Generasi Z tentang Pendidikan yang Manusiawi”. Hanya 20 menit waktu bicara, tapi itu lebih dari cukup.

Malam sebelum webinar, mereka berkumpul di rumah Raka. Masing-masing membawa catatan dan ide.

“Aku pengen bahas soal sistem nilai. Gimana angka-angka itu nggak selalu ngasih gambaran tentang siapa kita,” kata Dita.

“Aku bakal bahas soal bagaimana guru harusnya bisa jadi fasilitator, bukan penguasa kelas,” tambah Nala.

Juno diam sebentar, lalu berkata, “Gue pengen cerita dari sudut seni. Bahwa kreativitas kita kadang dibunuh pelan-pelan karena dianggap nggak penting.”

Raka menyodorkan draft susunan pembicaraan. “Aku tutup dengan poin tentang ruang aman. Bahwa sekolah harus jadi tempat tumbuh, bukan tempat takut.”

Malam itu, mereka tidak hanya menyiapkan bahan bicara. Mereka menyiapkan suara.

Hari webinar tiba. Mereka tampil dari satu ruangan kecil yang mereka atur seperti studio. Background sederhana bertuliskan “Gagal Paham Suara dari Dalam Sekolah”.

Ketika sesi mereka dimulai, jumlah penonton langsung naik cepat. Di kolom komentar, muncul ratusan pesan dukungan:

> “Akhirnya, suara siswa didengar.”

“Kalian mewakili kami.”

“Ini lebih jujur daripada pidato siapa pun di atas sana.”

Mereka berbicara jujur. Tentang tekanan. Tentang keheningan yang mematikan. Tentang kekerasan verbal yang dianggap biasa. Tentang bagaimana sekolah menghapus keunikan demi keseragaman.

Dan semua itu mereka sampaikan bukan dengan marah-marah, tapi dengan hati-hati, dengan empati.

“Banyak dari kami ingin bicara, tapi takut. Kami tidak ingin memberontak. Kami hanya ingin dimanusiakan,” tutup Nala.

Sesi itu berakhir dengan tepuk tangan virtual dan kolom komentar yang meledak.

Tapi setelah webinar, badai kembali datang.

Kepala sekolah memanggil mereka berempat ke ruangannya. Suasana tegang, tak ada senyum basa-basi.

“Saya tahu kalian merasa punya suara. Tapi kalian sudah melewati batas,” katanya tajam.

“Kami hanya menyampaikan yang kami alami, Pak,” jawab Raka.

“Dan kalian memalukan institusi ini di depan publik nasional,” lanjutnya. “Kalian pikir itu keren?”

Dita menahan napas. Tapi kali ini, Nala bicara dengan tegas, “Lebih memalukan lagi kalau kami diam saat kami tahu sesuatu itu salah.”

Kepala sekolah menatap mereka tajam. “Kalian akan menerima surat peringatan keras. Dan kami akan mempertimbangkan kelulusan kalian jika ini terus berlanjut.”

Tak satu pun dari mereka gentar. Ancaman itu bukan hal baru. Tapi sekarang mereka punya lebih banyak teman, lebih banyak dukungan, lebih banyak suara.

Podcast mereka terus berjalan. Setiap episode kini ditunggu. Judul-judul seperti “Guru yang Gagal Paham”, “Nilai Bukan Segalanya”, dan “Apa Arti Taat?” menjadi trending di beberapa platform audio.

Suatu hari, mereka menerima voice note dari seseorang yang tidak mereka kenal. Seorang ibu guru dari daerah terpencil.

> “Saya mendengarkan podcast kalian diam-diam. Dan saya menangis. Karena selama ini saya merasa bersalah jadi bagian dari sistem yang menekan murid. Terima kasih sudah bicara. Terima kasih sudah membuat saya sadar.”

Pesan itu membuat mereka menangis bersama.

Namun badai berikutnya datang lebih nyata.

Akun Instagram mereka diretas. Semua unggahan hilang. Nama akun diubah. Bahkan logo podcast diganti dengan gambar hinaan.

Juno yang pertama tahu. “Anjing. Akun kita diacak-acak!”

“Aku backup semua episode podcast kita, aman,” kata Raka sambil buru-buru membuka laptop.

Namun serangan itu membuktikan satu hal: ada yang benar-benar ingin mereka berhenti.

Tapi suara tak bisa dihapus begitu saja. Mereka membuka akun baru. Dalam semalam, ribuan followers kembali mengikuti. Komunitas yang mereka bangun lebih kuat dari sebelumnya.

Di sekolah, situasi makin tidak menentu. Kepala sekolah mencoba membungkam mereka dengan membuat aturan baru: “Dilarang menyebarkan konten opini yang mencemarkan nama baik sekolah.”

Namun para siswa sudah sadar. Banyak yang mulai ikut menulis, membuat video, bahkan menyebarkan tulisan anonim di mading.

Satu tulisan berbunyi:

> “Kami bukan angin ribut. Kami hanya jendela yang selama ini tertutup, akhirnya terbuka. Dan itu menakutkan bagi mereka yang nyaman dalam gelap.”

Di tengah semua itu, Juno tiba-tiba menghilang beberapa hari.

Raka mendatangi rumahnya. Ibunya berkata Juno sakit. Tapi wajah sang ibu tampak gelisah.

Ketika akhirnya Juno kembali, wajahnya terlihat berbeda. Tidak seperti biasanya.

“Ada apa, Jun?” tanya Dita.

Juno hanya duduk, menunduk, lama diam. Akhirnya ia berkata lirih, “Kemarin ayahku dipanggil ke kantor polisi. Katanya karena podcast kita... katanya aku bisa kena pasal penyebaran hoaks dan mencemarkan institusi pendidikan.”

Hening. Hati mereka seperti dihantam palu besar.

“Tapi aku nggak akan berhenti,” lanjut Juno, pelan tapi yakin. “Kalau ini harus dibayar mahal, aku akan bayar. Karena suara kita, bukan cuma buat kita.”

Dan malam itu, mereka merekam episode dengan judul: “Suara yang Tak Pernah Usai”.

Dita membacakan tulisan pendek:

> “Kita dibentuk untuk diam. Diajar menunduk. Disuruh patuh. Tapi suatu hari, kita sadar, suara adalah hak, bukan dosa. Bicara bukan melawan. Mengkritik bukan membenci. Dan diam... adalah bentuk pengkhianatan terhadap diri sendiri.”

Nala menambahkan, “Kami tahu, ini belum selesai. Tapi kami juga tahu, suara kami sudah menyeberang batas. Dan suara yang sudah keluar, tak bisa ditarik kembali.”

Episode itu menjadi yang paling banyak didengar.

Suara mereka kini tak hanya diputar lewat earphone siswa. Tapi masuk ke ruang guru. Masuk ke rapat-rapat dinas. Bahkan, masuk ke ruang makan keluarga-keluarga yang selama ini tak pernah mau mendengar cerita anak-anak mereka.

Karena suara ketika jujur, ketika tulus akan selalu menemukan jalannya sendiri.

Dan suara mereka tak akan pernah usai.

1
Ridhi Fadil
keren banget serasa dibawa kedunia suara pelajar beneran😖😖😖
Ridhi Fadil
keren pak lanjutkan😭😭😭
Irhamul Fikri: siap, udah di lanjutin tuh🙏😁
total 1 replies
ISTRINYA GANTARA
Ceritanya related banget sama generasi muda jaman now... Pak, Bapak author guru yaaa...?
Irhamul Fikri: siap, boleh kak
ISTRINYA GANTARA: Bahasanya rapi bgt.... terkesan mengalir dan mudah dipahami pun.... izin ngikutin gaya bahasanya saja.... soalnya cerita Pasha juga kebanyakan remaja....
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!