NovelToon NovelToon
Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Cerita Horor (Nyata/Fiksi)

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Rumahhantu / Matabatin / Kutukan / Tumbal
Popularitas:965
Nilai: 5
Nama Author: kriicers

Villa megah itu berdiri di tepi jurang, tersembunyi di balik hutan pinus. Konon, setiap malam Jumat, lampu-lampunya menyala sendiri, dan terdengar lantunan piano dari dalam ruang tamu yang terkunci rapat. Penduduk sekitar menyebutnya "Villa Tak Bertuan" karena siapa pun yang berani menginap semalam di sana, tidak akan pernah kembali dalam keadaan waras—jika kembali sama sekali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kriicers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7•Rumah Warisan yang Menangis

...Rumah Warisan yang Menangis...

Malam itu, bulan purnama menggantung pucat di atas Desa Sido Luhur, melemparkan bayangan panjang dan aneh dari setiap pohon beringin tua. Udara dingin merambat dari tanah, membawa serta aroma tanah basah dan, entah kenapa, bau melati yang menusuk hidung. Aku, Raka, baru saja tiba. Di tanganku tergenggam kunci berkarat warisan mendiang kakekku, sebuah kunci yang membuka gerbang ke masa lalu yang kelam: rumah tua di ujung jalan.

Rumah itu. Sudah puluhan tahun tak terjamah, terisolasi dari kehidupan desa. Dindingnya ditumbuhi lumut tebal, catnya mengelupas seperti kulit orang tua yang sakit, dan jendela-jendela tinggi itu, bagaikan mata kosong yang menatap kehampaan. Sejak kecil, cerita-cerita tentang "Rumah Warisan yang Menangis" telah menjadi legenda di keluargaku. Konon, arwah nenekku, Gayatri, yang meninggal secara misterius di sana, masih bersemayam, menangis meratapi nasibnya. Aku selalu menganggapnya omong kosong, bualan orang tua untuk menakuti anak-anak. Namun, setelah kematian kakek, rumah itu diwariskan padaku, dan mau tak mau, aku harus menghadapinya.

Pintu gerbang besi yang berderit nyaring saat kubuka, seolah mengeluh. Halaman depan dipenuhi ilalang setinggi pinggang, menyembunyikan jalur setapak yang dulu mungkin tertata rapi. Setiap langkahku menimbulkan suara gemerisik, memecah kesunyian yang mencekam. Tiba di depan pintu utama, aku merogoh kunci, merasakan dinginnya logam yang telah tidur selama puluhan tahun. Kunci itu berputar dengan susah payah di dalam slot, dan akhirnya, dengan suara "klik" yang memekakkan telinga, pintu itu terbuka, menampakkan kegelapan pekat di dalamnya.

Debu tebal menyelimuti segalanya, menari-nari di sela-sela cahaya senter ponselku. Udara pengap dan dingin menerpaku, disertai aroma apek yang kuat. Kursi-kursi berlapis kain beludru yang usang berjejer kaku di ruang tamu, tersembunyi di balik lembaran kain putih yang kini berubah cokelat. Di dinding, beberapa lukisan potret keluarga tampak memudar, mata-mata di dalamnya seolah mengawasiku. Aku merasa tidak sendirian. Bulu kudukku merinding.

Aku mulai menjelajahi rumah, dari satu ruangan ke ruangan lain. Dapur, dengan perabotan kayu yang lapuk. Kamar tidur, dengan ranjang berukir yang ditutupi seprai lusuh. Semuanya terasa beku dalam waktu, menyimpan kenangan yang tak terucapkan. Ketika aku tiba di sebuah lorong sempit menuju bagian belakang rumah, sebuah suara samar menarik perhatianku. Seperti isakan. Pelan, namun jelas. Jantungku berdebar kencang. Apakah ini… tangisan yang diceritakan?

Aku mengikuti suara itu. Semakin dekat, semakin jelas. Tangisan itu terdengar seperti rengekan pilu seorang wanita, menusuk kalbuku. Suara itu berasal dari sebuah ruangan di ujung lorong, yang pintunya tertutup rapat. Tanganku gemetar saat meraih kenop pintu yang dingin. Aku membuka pintu itu perlahan, dan apa yang kulihat membuatku terhenyak.

Itu adalah sebuah kamar tidur utama, lebih besar dari yang lain. Di tengah ruangan, sebuah lemari pakaian besar dari kayu jati tergeletak miring, seolah baru saja jatuh. Dan dari celah lemari yang sedikit terbuka, suara tangisan itu keluar. Aku mendekat, perlahan, merasakan setiap serat ketakutan menjalar di tubuhku. Ketika aku membuka penuh lemari itu, tidak ada apa-apa di dalamnya, hanya tumpukan pakaian tua yang berjamur. Namun, tangisan itu… masih terdengar, lebih keras dari sebelumnya.

Aku tersentak. Suara itu bukan dari lemari, melainkan dari balik dinding di belakang lemari! Dinding itu… ada sesuatu yang aneh. Warnanya sedikit berbeda, dan ada sedikit retakan di sana. Rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Dengan hati-hati, aku mendorong lemari itu menjauh. Di belakangnya, tampak jelas sebuah bagian dinding yang baru dicor, menonjol sedikit. Ada sesuatu di dalamnya.

Tangisan itu kini berubah menjadi lolongan kepedihan yang menusuk telinga. Aku tahu aku harus mencari tahu. Dengan sekuat tenaga, aku mencoba merobohkan bagian dinding itu. Semen-semen tua berjatuhan, debu mengepul. Dan ketika sebuah lubang cukup besar terbentuk, bau busuk yang sangat menyengat langsung menyerbu hidungku, membuatku mual. Dan di dalamnya… sebuah kerangka manusia.

Kerangka itu terbaring meringkuk, seolah berusaha melindungi diri. Pakaian yang dikenakannya compang-camping, namun aku bisa melihat sisa-sisa kain kebaya yang dulu pasti berwarna cerah. Sebuah bros perak berbentuk kupu-kupu tergeletak di samping tulang belulang itu. Bros yang sama persis dengan yang selalu diceritakan kakek sebagai milik nenek Gayatri.

Ini… nenekku? Terjebak di dalam dinding? Tapi bagaimana? Kakek bilang nenek meninggal karena sakit parah. Tangisan itu… apakah itu tangisan nenekku, yang terjebak dan tak bisa keluar?

Aku jatuh berlutut, napas tersengal-sengal. Semua cerita, semua bualan, kini menjadi kenyataan mengerikan. Nenekku tidak meninggal dengan tenang. Dia dikurung hidup-hidup di sini. Dan siapa pelakunya?

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari luar kamar. Berat, menyeret. Jantungku berpacu gila-gilaan. Aku tidak sendirian di rumah ini. Aku menyambar potongan kayu dari reruntuhan dinding dan bersiap. Bayangan seseorang muncul di ambang pintu, tinggi dan ramping. Sosok itu melangkah masuk, dan cahaya bulan yang menerobos jendela menampakkan wajahnya.

Itu adalah Bapak Sastra, tetangga sebelah yang selama ini selalu ramah dan selalu tersenyum padaku. Dia adalah sahabat kakekku sejak muda. Aku mengenalnya seumur hidupku. Namun, senyum ramah itu kini menghilang, digantikan seringai dingin. Di tangannya, dia memegang sebuah karung goni tua.

"Raka… rupanya kau sudah menemukan 'harta karun' keluarga," suaranya serak, bukan suara Bapak Sastra yang kukenal. "Aku tahu kau akan datang. Kakekmu… dia selalu terlalu sentimental."

Aku mundur, kayu di tanganku gemetar. "Apa maksudmu, Pak Sastra?"

Dia tertawa, tawa yang kering dan mengerikan. "Nenekmu, Gayatri. Dia tahu terlalu banyak. Tentang transaksi tanah ilegal kakekmu dan aku. Dia mengancam akan membongkarnya. Kakekmu… dia panik. Dia tidak mau kehilangan segalanya. Jadi, kami… kami melakukan apa yang harus dilakukan."

Aku membeku. Kakek? Kakekku sendiri? Membunuh nenekku? Memasukkannya ke dalam dinding? Otakku berputar, mencoba mencerna informasi yang baru saja kudengar. Bapak Sastra mendekat, karung di tangannya bergerak-gerak.

"Jangan khawatir, Raka," katanya, melangkah semakin dekat, "Kakekmu menyesalinya seumur hidupnya. Dia tidak pernah tenang. Dan sekarang, giliranmu untuk bergabung dengan mereka. Rumah ini… dia akan menyimpan rahasiamu juga."

Sebelum aku sempat bereaksi, Bapak Sastra melemparkan karung itu padaku. Karung itu berat, dan saat jatuh ke lantai, sesuatu di dalamnya bergulir keluar. Sebuah arloji saku tua, berlumuran darah kering. Arloji yang dulu sering dipakai kakekku.

"Itu… kakekmu mencoba melarikan diri malam itu," suara Bapak Sastra kini dipenuhi amarah. "Dia tidak mau lagi terlibat. Tapi tidak ada jalan keluar."

Tiba-tiba, terdengar suara geraman rendah dari sudut ruangan. Bukan suara manusia. Dari balik kerangka nenek Gayatri, sebuah bayangan hitam pekat mulai terbentuk. Mata merah menyala di tengah kegelapan, dan bentuknya mulai menyerupai sesosok pria, kurus dan bungkuk. Wajahnya… wajah kakekku.

Kakekku yang bergentayangan, terperangkap di rumah ini, sama seperti nenek. Tangisan yang kudengar, bukan hanya tangisan nenek. Tapi juga tangisan penyesalan kakek, yang terkurung oleh dosanya sendiri.

Bapak Sastra tersentak mundur, matanya membelalak ketakutan. "Tidak… tidak mungkin!"

Arwah kakekku kini berdiri tegak, jari-jarinya yang kurus menunjuk ke arah Bapak Sastra. Udara di ruangan itu terasa semakin dingin, seolah membeku. Suara rintihan yang tadinya hanya sebuah isakan, kini berubah menjadi lolongan panjang, penuh duka dan kemarahan. Rumah itu benar-benar menangis, bukan karena satu arwah, tapi dua. Arwah nenek yang dikhianati, dan arwah kakek yang dihantui oleh pengkhianatannya sendiri.

Arwah kakek melayang maju, menerjang Bapak Sastra. Bapak Sastra menjerit, berusaha melarikan diri, namun pintu kamar itu kini tertutup rapat dengan sendirinya. Gelap gulita menelan mereka, hanya menyisakan suara jeritan dan lolongan yang mengerikan. Aku terdiam, terpaku, menyaksikan pembalasan dendam yang telah tertunda puluhan tahun.

Ketika cahaya bulan kembali menerobos, hanya ada aku yang berdiri di tengah ruangan yang hancur. Kerangka nenek Gayatri masih tergeletak, namun kini terasa ada kedamaian di sana. Suara tangisan telah menghilang. Rumah itu, kini sunyi. Sunyi yang memekakkan telinga, namun juga melegakan.

Aku tahu aku tidak bisa tinggal di sini. Warisan ini… terlalu berat untuk kupikul. Aku akan mengurus jasad nenek, memberikan pemakaman yang layak. Dan rumah ini? Biarlah ia tetap berdiri, menyimpan rahasia kelamnya, dan mungkin, di suatu malam, ia akan menangis lagi. Namun kali ini, bukan tangisan penderitaan, melainkan tangisan kebebasan dari beban masa lalu yang akhirnya terungkap.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

1
Kriicers
terimakasih bagi yangg sudahh membaca ya gaes ,apakah enak di gantung?😭🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!