Tutorial membuat jera pelakor? Gampang! Nikahi saja suaminya.
Tapi, niat awal Sarah yang hanya ingin membalas dendam pada Jeni yang sudah berani bermain api dengan suaminya, malah berakhir dengan jatuh cinta sungguhan pada Axel, suami dari Jeni yang di nikahinya. Bagaimana nasib Jeni setelah mengetahui kalau Sarah merebut suaminya sebagaimana dia merebut suami Sarah? Lalu akankah pernikahan Sarah dengan suami dari Jeni itu berakhir bahagia?
Ikuti kisahnya di dalam novel ini, bersiaplah untuk menghujat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lady ArgaLa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20.
Hari demi hari berlalu seperti biasa, Sarah masih bersikap ketus pada Bima membuatnya kelimpungan di setiap harinya. Mencari cara agar Sarah mau tunduk lagi padanya.
"Sayang apa kamu lelah? Sini biar Mas pijitin," tawar Bima pagi itu saat Sarah tampak sedang sibuk memasak di dapur.
Sarah hanya menoleh sekilas lalu kembali sibuk dengan kegiatannya.
"Tidak terima kasih," sahutnya ketus.
Bima meninju udara dan dengan kesal berlalu naik ke kamarnya.
"Ah, perempuan sial! Kenapa sih sekarang dia jadi dingin begitu? Kan jadi susah jalanku buat dapetin hartanya kalo begini terus," umpat Bima sambil berjalan mondar mandir di dalam kamarnya.
"Apa aku bunuh aja dia?" gumam Bima lirih sambil memikirkan cara tak masuk akal untuk memusnahkan Sarah.
Namun tak lama dia menggeleng lagi. "Ah, tidak. Itu terlalu berisiko, kalau aku sampai tertangkap percuma saja nantinya harta itu, lagipula kalau membunuh bukan hanya Sarah tapi juga kedua tua bangka nggak guna itu juga kan? Ah, nggak nggak terlalu susah."
"Ah, apa aku racun aja ya? Kan nggak bakal keliatan jejaknya?" cetus Bima lagi.
Namun lagi-lagi dia menggeleng.
"Nggak nggak, kalau di racun polisi akan bisa melacaknya dan cepat atau lambat aku bakalan masuk penjara juga. Keenakan dong nanti si Jeni yang nikmatin hartanya sendiri, ah nggak ah."
Bima mengacak rambutnya dengan kasar, semakin bingung setiap dia mencoba untuk berfikir.
Namun akhirnya satu ide menyangkut di otaknya yang kerdil itu.
"Ah, tanya Jeni ajalah."
Bima meraih ponselnya yang ada di atas tempat tidur dan segera mencari nomor kontak Jeni yang dia beri nama "gundik", dia tak takut sama sekali menyimpan kontak Jeni dengan nama seperti itu karna tau kalau Sarah tak akan pernah kepo dengan ponselnya, atau dalam kata lain tak akan berani karna sejak dulu Bima selalu marah jika Sarah menyentuh ponselnya.
Tuuuttt
Tuuutttt
Tuuutttt
Suara nada sambung saat Bima menelpon ke nomor telepon Jeni.
Saat dering ke empat akhirnya telepon di angkat.
"Halo?" suara renyah Jeni menembus gendang telinga Bima membuat air liurnya seketika menetes.
"Aku ngantuk, kalo Mas nggak mau ngomong apa-apa aku matikan aja telponnya," tukas Jeni lagi.
"Eh tunggu, Sayang tunggu," sela Bima setelah bisa menguasai dirinya.
"Apaan?" ucap Jeni ketus, suaranya serak seperti orang baru bangun tidur. Padahal jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, dan Sarah saja sudah menyelesaikan hampir semua pekerjaan rumahnya di jam segini.
Memang Bima saja yang buta untuk melihat perbedaan mencolok antara berlian dan batu kerikil di cat.
"Ketemuan yuk, ada yang mau Mas bahas sama kamu," ujar Bima pelan karna khawatir Sarah tiba-tiba masuk ke kamar dan memergokinya tengah menelpon perempuan.
Bukan apa, Bima hanya merasa sedang di ujung tanduk sekarang jadi dia sama sekali tak ingin ambil resiko terlalu besar saat berhadapan dengan Sarah. Harta sudah membutakan matanya dan membuatnya rela menjadi seperti apa saja untuk bisa mendapatkannya, walau harus terus berakting menjadi orang baik sekalipun.
"Hooaaammmm, aku ngantuk, Mas. Besok aja lah ya, lagi pula Bang Adam lagi cuekin aku beberapa hari ini, nggak tau kenapa aku jadi nggak semangat mau ngapa-ngapain," ujar Jeni terus terang.
Bima mencebik. "Sejak kapan kamu jadi peduli sama suami miskinmu itu? Bukannya kata kamu aku lebih segalanya dari dia?"
"Haha, lalu katamu juga aku lebih segalanya dari Mbak Sarah, tapi kemarin di depan mataku loh kamu berani muji-muji dia," balas Jeni sengit.
Bima mendesah kalah.
"Huh, kenapa sih perempuan selalu maunya menang sendiri? Mana susah di mengerti lagi, tapi tetep aja maksa buat di mengerti. Huh! Untung cinta!" gumam Bima lirih, namun rupanya masih terdengar di telinga Jeni.
"Apa kamu bilang, Mas?"
Bima gelagapan, bahkan para perempuan selalu punya telinga yang tajam untuk sekedar mendengar bahkan suara sekecil bisikan nyamuk didekat lelakinya.
"Ah, eh ... nggak kok, Sayang. Yuk ah ketemu yuk, Mas kangen banget tauk sama kamu. Masa kamu nggak kangen Mas sih? Masa kamu udah lupa kemarin di rumah Mas gimana? Bukannya kamu sampai ...."
"Udah diem lu! Malu sama pembaca noh! Mulut kaga ada remnya lu ye," sungut Jeni di sebrang telepon.
Bima terkekeh karna pancingannya berhasil. "Jadi dimana?"
"Tempat biasa aja, setengah jam lagi aku sampe. Tapi jangan lupa transfer dulu buat ongkos, nggak usah banyak-banyak cukup sepuluh juta aja," ucap Jeni tanpa beban.
Bima yang sudah terbutakan oleh Jeni langsung mengiyakan tanpa banyak cakap, bahkan dalam hitungan menit yang sepuluh juta rupiah sudah berpindah ke rekening Jeni.
"Makasih, Mas. Aku otw sekarang," pesan Jeni di aplikasi hijau.
Bima tersenyum dan bergegas bersiap memakai pakaian kantor, ya pakaian kantor untuk kembali mengelabui Sarah agar belangnya tak kelihatan.
****
Setelah masak, Sarah bergegas bersiap untuk pergi. Seperti janjinya tempo hari dia akan membantu Adam untuk mempromosikan dagangannya dan sekaligus menjalankan rencananya.
"Mas?" Sarah melongok ke kamar dan sudah tak mendapati Bima di sana hanya pakaian bekas pakainya yang tampak berserakan di lantai kamar.
Sarah sama sekali tak berniat mengambil dan membereskannya seperti dulu, bahkan dengan santainya Sarah berjalan di atas pakaian itu dan menginjaknya sebagaimana Bima sudah menginjak harga dirinya sejak dulu.
"Bang, aku bakalan sampai dalam tiga puluh menit ya," ucap Sarah di telepon sembari mengeluarkan motornya dari garasi.
Sarah bahkan tidak peduli walau tak di dapatinya pula mobil Bima di garasi.
Tiga puluh menit di tempuh Sarah dengan santai, sembari bernyanyi kecil dia sampai di gerai Adam yang sudah menunggunya dengan senyum lebar khasnya.
"Hei, Bang. Udah lama nunggunya?" sapa Sarah sembari menjabat tangan Adam.
"Nggak lah, siapa yang nunggu? Kan tadi udah di kasih tau di telpon nyampe ya tiga puluh menit lagi. Pas tiga puluh menit baru Abang keluar kemari," tukas Adam terkekeh.
Mereka tertawa bersama dan berjalan masuk ke tenda gerai, duduk berhadapan sambil membahas rencana apa saja yang akan mereka pakai untuk mempromosikan nasi goreng Adam agar semakin viral dan ramai.
Tentu saja Sarah melakukannya dengan sebuah tujuan, dalam artian semua yang dia lakukan untuk Adam tidak gratis.
"Bang, ada yang mau Sarah tunjukin ke kamu," ujar Sarah usai mereka menyepakati beberapa rencana promosi.
Adam mengerutkan keningnya dengan dada berdebar. "A- apa, Neng?"
Sarah mengeluarkan sebuah ponsel khusus dari dalam tas kecil yang dia bawa dan mencari file yang ingin dia tunjukkan pada Adam.
"Silahkan Abang lihat dan bilang sama Sarah gimana pendapat Abang setelahnya."