Ciara lemas setengah mati melihat garis dua pada alat tes kehamilan yang dipegangnya. Nasib begitu kejam, seolah perkosaan itu tak cukup baginya.
Ciara masih berharap Devano mau bertanggung jawab. Sialnya, Devano malah menyuruh Ciara menggugurkan kandungan dan menuduhnya wanita murahan.
Kelam terbayang jelas di mata Ciara. Kemarahan keluarga, rasa malu, kesendirian, dan hancurnya masa depan kini menjadi miliknya. Tak tahan dengan semua itu, Ciara memutuskan meninggalkan sekolah dan keluarganya, pergi jauh tanpa modal cukup untuk menanggung deritanya sendirian.
Di jalanan Ciara bertaruh hidup, hingga bertemu dengan orang-orang baik yang membantunya keluar dari keterpurukan.
Sedangkan Devano, hatinya dikejar-kejar rasa bersalah. Di dalam mimpi-mimpinya, dia didatangi sesosok anak kecil, darah daging yang pernah ditolaknya. Devano stres berat. Dia ingin mencari Ciara untuk memohon maafnya. Tapi, kemana Devano harus mencari? Akankah Ciara sudi menerimanya lagi atau malah akan meludahinya? Apakah Ciara benar membunuh anak mereka?
Apapun risikonya, Devano harus menerima, asalkan dia bisa memohon ampunan dari Ciara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeni Erlinawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tahap Awal Pencarian
Devano saat ini masih berada di depan rumah Ciara dan selama itu pula ia mencoba menghubungi nomor Ciara namun hanya suara operator yang ia dengar.
Devano melempar ponselnya ke kursi samping kemudi kemudian ia menjambak rambutnya frustasi.
"Kenapa nomornya gak aktif sih arkh," geram Devano. Ia mengusap wajahnya sebelum akhirnya memutuskan untuk turun dari mobil pajero berwarna hitam miliknya.
Entah keberanian dan dorongan apa yang membuat dirinya memutuskan untuk memasuki pekarangan rumah Ciara. Devano nampak gugup saat tangannya hendak mengetuk pintu yang selalu tertutup selama dia mengintai tadi.
Devano menghela nafas setelah itu tangannya dengan ragu mengetuk pintu tersebut beberapa kali.
Tok Tok Tok
"Iya sebentar!" teriak seseorang dari dalam yang membuat Devano menghela nafas lega setidaknya pikiran tentang rumah didepannya itu sudah tak berpenghuni ternyata salah.
Pintu rumah tersebut terbuka dan menampilkan wanita paruh baya dari balik pintu tersebut.
"Maaf cari siapa ya?" tanya wanita paruh baya tersebut yang membuat jantung Devano semakin berdebar.
"Ehemmm. Maaf, apakah Ciaranya ada?" Wanita paruh baya yang tadinya tersenyum ramah kini berubah ekspresi menjadi sedih dan itu sangatlah terbaca dengan mata Devano sendiri.
"Maaf sebelumnya, Tuan siapanya non Ciara ya?"
"Saya temannya di kampus bik." Wanita paruh baya yang ternyata adalah Art di rumah tersebut nampak menganggukkan kepalanya.
"Apa boleh saya bertemu dengan Ciara bik?" sambung Devano tak sabaran. Art tersebut nampak menghela nafas berat setelah itu menatap wajah Devano.
"Maaf tuan. Nona Ciara 3 bulan ini sudah tak tinggal dirumah ini." Tubuh Devano tampak menegang namun seperkian detik selanjutnya ia berhasil menetralkan keterkejutannya. Berfikir positif saja siapa tau rumahnya dijual dan pindah ke rumah yang baru, batin Devano.
"Boleh saya tau alamat baru yang Ciara tempati?" Art tersebut lagi-lagi menggelengkan kepalanya dan mengajak Devano untuk duduk di kursi yang tersedia di depan rumah tersebut. Kasihan dan tak sopan jika ada tamu yang tak diijinkan untuk duduk.
Setelah mereka berdua duduk di kursi. Art tersebut menerawang kembali kejadian saat masalah besar terjadi di rumah majikannya tersebut.
"Bik!" panggil Devano berhasil mengembalikan kesadaran Art tersebut.
"Saya tidak tau dimana nona Ciara sekarang tinggal tuan bahkan orangtuannya dan seisi rumah ini tak ada yang tau keberadaannya sekarang gimana dan dimana."
"Maksudnya bik?" Art tersebut menatap Devano yang tengah menunggu penjelasan lebih dalam lagi dan memastikan jika pikiran negatifnya itu salah.
"Nona Ciara 3 bulan yang lalu keluar dari rumah ini karena ada masalah yang mengharuskan nona Ciara memilih antara dua pilihan yang memberatkan dirinya." Devano semakin tak mengerti dengan ucapan dari art tersebut. Entah dia bodoh atau memang terlalu lambat untuk berfikir.
"Maaf bik. Boleh lebih detail dan to the point tidak ya?" Art tersebut mengalihkan pandangannya, menatap lurus kedepan.
"Tapi saya mohon tuan untuk tidak menceritakan masalah nona Ciara ke siapapun." Tanpa pikir panjang lagi Devano mengangguk setuju.
"Nona Ciara keluar dari rumah ini karena tengah hamil waktu itu, lebih tepatnya diusir oleh Tuan besar dan dari hari itu pula keberadaan nona Ciara tak bisa ditemukan bahkan Tuan besar dan nona Kiara telah mencari ke seluruh pelosok negara ini tapi sama saja nona Ciara menghilang bagaikan ditelan bumi."
Deg
Jantung Devano kembali terpacu lebih cepat bahkan berkali-kali lipat dari tadi saat ia tengah gugup. Ditambah dengan desiran dihatinya semakin menyayat hingga menimbulkan rasa perih yang teramat parah. Tubuhnya kaku dan nafasnya tercekat setelah mendengar penjelasan dari art tersebut. Pikiran bersalahnya semakin mendalam sekarang.
"Tuan, tuan kenapa?" tanya art tersebut menyadarkan Devano dengan pikiran-pikiran yang menguras perhatiannya.
"Eh ah gak bik. Kalau begitu saya pamit undur diri. Terimakasih atas informasinya bik. Selamat siang," pamit Devano dengan sopan setelah itu ia kembali menuju mobilnya.
Saat dirinya sudah di dalam mobil, ia menyandarkan tubuhnya di kursi kemudi dengan mata yang tertutup.
"Cia, kamu dimana?" gerutu Devano dan setelahnya ia membuka matanya kembali dan bergegas menjalankan mobilnya menuju rumah karena lagi-lagi rasa mualnya muncul.
Sesampainya dirumah ia berlari tanpa menghiraukan tatapan orang-orang di sana. Kamar adalah tujuan utamanya saat ini. Hingga akhirnya ia sampai kamar dan segera menuju kamar mandi. Memuntahkan isi perutnya yang sedari pagi tak ia isi makanan sedikitpun.
Devano keluar dari kamar mandi tersebut setelah merasa sedikit enakan di perutnya. Ia beranjak menuju balkon kamarnya dan mendudukkan tubuh lemasnya disalah satu kursi disana. Dengan cekatan kedua tangan Devano mengeluarkan satu bungkus rokok dari celana yang ia pakai dan segera mengambil satu batang untuk ia nyalakan hingga kepulan asap nikotin tersebut berhasil keluar dari mulut Devano. Tatapan tajamnya dulu kini berubah menjadi tatapan kosong. Bahkan rekaman malam itu terus berputar dikepalanya ditambah dengan kebenaran yang ia dapat tadi menambahkan rasa bersalahnya kian membesar. Tidak bisa, ini tak bisa ia biarkan lagi. Ia harus segera menemukan keberadaan Ciara bagaimanapun caranya.
Tangan kanannya kini sudah menggenggam kembali ponsel pintarnya dan ia segera mengotak-atik ponsel tersebut guna untuk mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mencari keberadaan Ciara. Setelah itu dirinya masih berusaha mati-matian untuk menelfon Ciara berkali-kali bahkan chat, DM dan lain sebagainya sudah ia lakukan namun hasilnya sama saja nihil. Semua akses yang Ciara punya tidak aktif dan itu mampu membuat seorang Devano benar-benar kalang kabut.
"Cia!!!" geram Devano sembari menggenggam erat ponselnya hingga membuat urat-urat ditangannya terlihat.
...*****...
Sedangkan di negara tetangga Ciara tengah disibukkan dengan ramainya pengunjung dibantu oleh Olive tentunya.
"Kamu gak punya rencana buat rekrut pegawai gitu?" tanya Olive.
Ciara yang baru saja selesai melayani pembeli pun mendekati sang sahabat yang tampak kelelahan.
"Aku juga gak tau."
"Ck, perut kamu semakin hari akan semakin membesar Cia dan aku lihat-lihat juga ini toko sangatlah ramai dengan pembeli. Aku gak bisa bantu kamu terus disini karena bentar lagi kan aku harus pengang kantor peninggalan orangtuaku. Dan gak mungkin kan kamu melayani mereka semua sendiri," ucap Olive.
"Kasihan ponakanku nanti kecapekan," imbuh Olive.
"Huh nanti deh coba aku pikir-pikir lagi. Toh pemasukkan dari toko ini belum stabil Liv. Aku takutnya nanti saat memperkerjakan orang lain aku gak bisa gaji mereka," jawab Ciara.
"Ada aku Ciara sayang. Jangan pikirin masalah gaji calon karyawan kamu, kalau kamu gak mampu bayar mereka biar aku aja yang bayar. Keselamatan dan kesehatan ponakanku lebih penting dari pada uang," ucap Olive. Ciara hanya bisa menghela nafas panjang. Kalau Olive sudah berkata seperti itu maka mau tak mau Ciara harus menerima usulan darinya.
"Iya iya nanti aku cari," ucap Ciara sembari beranjak pergi untuk melayani pembeli yang baru saja datang.
"Jangan cuma iya iya aja tapi dilakuin."
"Iya ih bawel banget," tutur Ciara gemas.
Mereka berdua kembali disibukkan dengan para pembeli yang keluar masuk secara bergantian di toko Ciara yang benar-benar ramai untuk hari ini.
./Grimace//Grimace//Grimace/