Sebuah novel tentang kebucinan suami bernama Ren pada istrinya Ayana, Ini kisah tentang cinta suami berbeda usia. Ini tentang suami yang jauh lebih muda.
Ayana : Tokoh aku, istri yang bekerja sebagai guru SMU. Dia dipanggil kakak oleh suaminya karena perbedaan usia mereka.
Yang gak suka dan ngerasa aneh dengan panggilan Ren pada istrinya, sepertinya ini novel bukan selera kamu kayaknya ya. Karena keuwunan, keimutan dan kegemasan Ren saat memanggil istrinya kakak menjadi titik poinku dalam menceritakan kebucinan Ren. Kalau kalian gak ngerasa fell imut dan mengemaskannya maka fix kita tidak satu aliran. Aku suka cerita ala noona korea soalnya. Hehe.
Renan : Dia biasa di panggil Ren( cuma aya yang panggil begitu) kenapa? suka-suka kak Aya ya. Biar lebih keliatan imutnya. hehe.
Hanya cerita kebucinan suami dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada konflik menegangkan atau apalah. Apalagi pelakor agresif, jauh-jauh dari mereka. Silahkan di baca dan nikmati alurnya ya ^_^
Terimakasih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaSheira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Side Story
Mamanya Safina
Cerita ini terjadi ketika Renan memasak makan siang, saat
Ayana dan Safina tertidur di karpet di ruang tv.
Memasak itu sekedar hobi bagi Renan, ia memang tidak perlu
melakukannya ketika masih tinggal di rumah orang tuanya. Sudah ada bibi yang
khusus memasak di dapur. Tetapi, memang ia suka memasak saja, pengaruh dari
kakak keduanya juga, yang hobi makan sekaligus masak. Alhasil virus memasak
menular padanya.
Renan memandang puas hasil masakannya. sudah sering dia memasak diakhir pekan. Sajian pelengkap
untuk ayam panggangnya sudah beres. Sudah tertata cantik di meja makan.
Sebentar lagi ayam juga tinggal panggang. Bumbu sudah hampir meresap. Sambil
menunggu, ia membereskan peralatan masak yang sudah tidak ia pakai lagi.
Dia melirik ruang tv, sepertinya tidak ada suara terdengar,
begitu dia bergumam. “ Kakak!” panggilnya dengan suara agak keras. “ Kakak!”
karena tidak mendapat jawaban, Renan meninggalkan dapur, sebelumnya dia sudah
mematikan kompor.
“ Tidur. Haha, manisnya.” Renan sudah berjongkok di samping
istrinya, memainkan semua bagian wajah istrinya dengan jari-jari. Dia
tusuk-tusuk pipi Ayana seperti anak kecil mencolek kue. Ayana mengeliat. Ren
tergelak, gemas. Ia mencium kening istrinya sebelum beranjak ke dapur.
- - -
Diluar pada waktu bersamaan, seseorang membuka pintu gerbang
perlahan. Seorang ibu paruh baya, masuk sambil mengucapkan salam. Dia merapikan penampilannya sebentar.
“ Mbak Aya, Assalamualaikum.”
Karena melihat pintu samping terbuka, dia masuk saja seperti
biasanya. Karena biasanya begitu, masuk dulu baru ucap salam. Hehe, padahal gak
gitu ya, dimana-mana permisi dulu, kalau sudah dipersilahkan masuk, baru boleh
masuk.
“ Waalaikumsalam.” Suara laki-laki yang menjawab.
Lho suaminya mbak Aya di rumah ya.
Ibu muda itu tidak melihat pemilik suara, saat ia masuk ke
dalam rumah, aroma ayam panggang menyeruak. Mengelitik perut yang lapar. Dia
sudah masak sebenarnya di rumah, tapi belum sempat makan, harus mengambil
anaknya dulu begitu pikirnya tadi. Sepertinya dia menelan liur tergoda harumnya
masakan.
Renan muncul dari dapur, dia memegang lap sambil membersihkan
sisa air di tangannya.
“ Mas Renan ada di rumah ya?”
Celemek, apa dia sedang memasak. Ibu muda itu berfikir.
“ Ia mamanya Safina.” Renan sudah mendekat.
Ayu Lestari mas. Nama saya Ayu. Cuma beda satu huruf vokal
sama nama istrimu, gitu aja kok nggak ingat-ingat. Manggilnya selalu mamanya
Safina. Aku jugakan punya nama. Ibu-ibu muda agak sensitif, mungkin lagi PMS.
“ Bantuin masak mbak Aya ya?”
“ Nggak”
Maksudnya apa? Jadi dia masak sendirian gitu, terus mbak Aya
dimana donk. Gak percaya kalau mas Renan bisa masak.
“ Mau jemput Safina ya?” Renan bertanya sambil berjalan ke
dapur. Membalik ayam panggangnya. Potongan terakhir sudah selesai dipanggang.
Tanpa sadar Ayu mengikuti Renan ke dapur. Matanya berkeliling.
“ Mbak Aya mana mas?”
“ Tidur.”
Apa! Tidur. Jadi benar yang masak ini mas Renan.
Ayu melihat meja makan, sudah ada hidangan pelengkap dan
tumpukan ayam panggang. Dia menelan ludah.
“ Mas Renan yang masak semua ini?”
Aku nggak pernah seiri ini hiks. Aku belum pernah dimasakin
suamiku.
“ Ia, Safina juga lagi tidur.” Renan memberi informasi penting yang dibutuhkan.
“ Ah ia.” Ayu sampai lupa tujuan utamanya datang ke rumah
ini. Ia melirik meja makan lagi, dia benar-benar terlihat iri. Bukan hanya pada
masakannya yang terlihat mengiurkan, tapi lebih pada siapa yang sudah memasak
makanan itu.
Aku ingin dimasakin suamiku. Hiks, hiks.
“ Oh ya mas Safina ada dimana ya?”
“ Di ruang tv.”
“ Kalau begitu saya bawa Safina ya?”
“ Jangan.”
Lho kenapa? Diakan anakku, kenapa aku gak boleh bawa dia
pulang. Nada bicara Renan serius lagi.
“ Kan lagi tidur.”
“ Gak papa mas, biar Safina saya gendong, biasanya juga
begitu.”
“ Bukan itu, tapi kakak lagi tidur.”
Terus apa hubungannya, Ayu berfikir keras. Apa hubungannya
dengan mbak Ayana tidur dengan dia tidak boleh membawa anaknya pulang.
“ Kakakkan tidur di samping Safina, kalau dia bangun dan
Safina gak ada nanti dia panik.”
Haaa, alasan apa itu. Gila ya, masuk akal gak begitu jadi
alasan.
“ Gitu ya mas, jadi gimana?” sudah tidak tahu harus berfikir
apa lagi. Ayu sudah kehilangan akalnya untuk berfikir. jadi dia menyerahkan tanggungjawab keputusan kepada laki-laki di depannya ini. tindakan apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
“ Mamanya Safina mau nunggu?”
Apa! Menunggu, maksudnya? Menunggu mbak Aya bangun. Memang
aku sudah gila duduk termenung disini. Mending juga tidur di rumahku sendiri,
mana aku lapar juga.
“ Silahkan duduk di sofa, saya tinggal dulu ke dapur.”
“ Tidak usah mas, saya gak mau nunggu. Nanti saya kesini
lagi kalau mbak Aya sudah bangun.”
“ Baiklah kalau begitu.”
“ Maaf ya mas sudah merepotkan. Saya gak tahu kalau mas
Renan di rumah tadi. Saya pikir mbak Aya sendirian di rumah jadi bawa Safina.”
“ Gak papa mamanya Safina.”
Ayu mas, panggil ayu aja biar gampang. Dia geram sendiri,
tapi terlalu malu untuk mengatakannya.
“ Asal kakak senang aku gak keberatan. Tadi main sampai
kecapaian kayaknya jadi ketiduran.”
“ Ah ia mas. Mbak Aya gak masak ya kalau akhir pekan, malah
mas Renan yang memasak.”
“ Tergantung.” Senyum di wajah Renan mengandung sejuta makna.
Hah! Lagi-lagi penasaran, tapi terlalu malu untuk
menanyakan.
“ Kalau begitu saya permisi ya mas, silahkan dilanjutkan
memasaknya.”
“ Ia.”
Ayu lestari keluar dari rumah tanpa diantar. Dia berdiri
sebentar berpegangan pada pagar. Mencerna kejadian yang baru saja dia alami.
“ Fix suami mbak Aya ini bucin level dewa.” Katanya sambil
berlalu dari pagar rumah.
- - -
Ayu Lestari berjalan lambat menuju rumahnya. Rasa laparnya
sudah hilang. Dia berhenti melangkah, membalikan badan dan memandang rumah yang
baru saja ia masuki, dimana anaknya sedang tertidur dan tidak boleh dibawa
pulang, dengan alasan seaneh itu.
Aku tidak pernah seiri ini dengan mbak aya. Kalau masalaah
gantengnya suami mbak Aya, papanya anak-anak juga gak kalah ganteng. Ya mungkin
cuma beda takaran manisnya aja. Haha, maaf ya pa, kalau itu kamu kalah jauh. Tapi
aku benar-benar iri saat melihat mas Renan masak. Hiks, hiks, seumur menikah
aku belum pernah dimasakin sekalipun.
Tunggu, papa itu bahkan gak penah masak apapun di rumah.
Benar, dia bahkan gak pernah ke dapur kecuali buat makan, minum atau ambil
sesuatu di kuklas.
Ayu terlihat sangat kesal, dia menghentikan pikirannya yang
kemana-mana dan kembali ke rumahnya. Masuk ke gerbang, dia mendapati kedua
anaknya sedang makan siang di teras rumah. Mencari udara segar sepertinya.
“ Dimana papa kak?” tanyanya pada anak pertamanya. Anaknya
menunjuk dalam rumah. Ayu bergegas masuk. Dia mendapati suaminya baru keluar
dari kamar mandi.
“ Sini pa.” Dia menarik tangan suaminya, yang ditarik cuma
bisa berwajah bingung tapi menurut juga pada istrinya. “ Papa bisa masak gak?”
“ Kenapa lho ma, kok tiba-tiba. Safina mana? Katanya mau
ambil Safina di rumah Renan.”
“ Masih tidur di rumah mbak Aya. Jawab dulu, papa bisa masak
gak?”
“ Nggak, papa gak bisa masak. Memang kenapa?”
Wajah Ayu berubah masam. Dia melirik suaminya kesal, yang
dilirik tambah bingung aja.
“ Kenapa lho ma, memang liat apa kamu di rumah Renan? kenapa
tiba-tiba nanya masak segala.”
“ Aku mau dimasakin papa.”
“ Apa! Kenapa tiba-tiba minta dimasakin?”
“ Pokoknya aku mau dimasakin papa, masak apa gitu, buat
istrinya.”
Ayu meninggalkan suaminya, yang lagi-lagi berfikir keras, ada
apa dengan istrinya siang ini. Barusan lihat apa si dia. Gumamnya, lalu menuju
belakang rumah. Dia mau melanjutkan membereskan tanaman di halaman depan.
- - -
Bocah ini gak lagi ngerjain orang tuakan. Kenapa resepnya
panjang begini. Udah gitu apa lagi ini nama bumbu-bumbunya, kenapa banyak
begini pula. Memang ayam gak bisa langsung dipanggang aja gitu, repot amat
musti dimasak dua kali.
Wahyu meletakan hpnya kesal. Dia baru mendapatkan resep ayam
panggang dari Renan, tapi baru melihat resepnya saja sepertinya sudah
membuatnya menyerah. Dia tidak kenal nama bumbu-bumbu dapur yang tertulis
berjajar. Tapi demi mendapati wajah istrinya yang begitu ingin makan masakannya
iapun merasa getir sendiri.
Tunggu, akukan gak perlu masak masakan yang di buat
Renankan, dia cuma ingin aku masak buat diakan, jadi masak apa juga harusnya
gak masalahkan.
Wahyu menemukan kembali kepercayaan dirinya.
“ Mi instan?” Ayu manyun saat melihat makanan yang terhidang
di meja makan.
Haha, hanya ini yang ada dipikiran Wahyu.
Ayu melihat masakan suaminya dengan sedih. Dia sudah
membayangkan masakan spesial apa yang dibuat suminya, karena dia tadi sempat
tahu kalau suaminya meminta resep pada Renan. Namun sepertinya harapannya
begitu tinggi. Yang tersaji di hadapannya sekarang adalah semangkok mi instan.
“ Mi instan spesial buat mama.”
Mana ada yang spesial masakan begini.
“ Dibuat dengan penuh cinta oleh suami tercinta mama.
Tanganku sampai luka-luka lho membuat ini.”
Gila ya, kenapa juga sampai luka-luka, kamu cuma buat mi
lho. Gak lihat resep instruksi memasak di bungkusnya apa? Jadi kamu memakai pisau
buat apa, buat ngiris tangan supaya kelihatan keren begitu.
“ Papakan buat minya mirip sama yang ada di bungkusnya ma.”
Eh ia, saking kecewanya aku tidak melihat detail isi
mangkok. Ada telur, ayam goreng, irisan cabe dan daun bawang.
Tiba-tiba ada yang masuk ke dalam dada Ayu, mengalirkan
kebahagiaan sendiri di hatinya. Ah, ternyata suaminya sudah bekerja sekeras ini.
Maafkan aku pa, yang menilai masakanmu berdasarkan standar orang lain, padahal
buat memasak ini kamu sudah bekerja sangat keras.
“ Makasih pa, mi instan buatan papa yang spesial. Aku makan
ya.”
Wahyu langsung menyerahkan sendok dan garbu yang sedari tadi
dipegangnya. Wajahnya sudah berubah bersemangat dan terlihat senang. Dia sudah
duduk di hadapan istrinya. Berharap mendapat sanjungan soal rasa masakannya. Ya
walaupun mi instan tetap enak mau diapain jugakan, gak perduli siapa yang
memasaknya.
“ Kok gak ada rasanya pa.”
“ Hah! iakah?”
Mata Wahyu berkeliling di sekitar dapur, ia menemukan
setumpuk benda di samping kompor. Bumbu mi instan.
“ Lupa masukin bumbunya ma.”
“ Udah pa, besok lagi biar aku yang masak. Papa gak usah
masuk dapur.”
“ Haha, mama jangan begitu donk, aku ambilin bumbunya ya,
dicampur sekarang masih enak kok.”
Mereka berdua akhirnya tertawa, menikmati semangkok mi
instan dengan bumbu susulan, dengan penampakan mirip dengan yang ada di
bungkus. Saling berbelukan hangat, dan berciuman satu sama lain. Sederhananya
hidup, semangkok mi instan telah membuat mereka jatuh cinta untuk kesekian
kalinya pada pasangan mereka masing-masing.
Bersambung..............
Rasanya sayang kalau kisah ini tidak diceritakan ^_^
Sampai jumpa hari senin di sekolah bersama bu Aya....
membaggongkan