NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TIDAK PERNAH TAU ARTI KELUARGA

Keesokan paginya, Nayara membuka pintu kamarnya dengan mata sembab dan kepala berat. Namun langkahnya terhenti seketika. Dari arah kamar ibunya terdengar jelas suara desahan dan erangan pemandangan yang tak asing lagi baginya, namun selalu berhasil menusuk hati.

“Persetan dengannya,” gumam Nayara penuh muak.

Ia kembali membanting pintu kamarnya, enggan mendengar lebih lama. Hatinya terasa kotor, seakan rumah itu tak pernah memberi ruang untuk bernapas. Dengan cepat ia meraih tasnya, ingin segera pergi.

Belum sempat ia melangkah keluar, ponselnya berdering. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya berdegup kencang Kaelith. Jemarinya gemetar saat menekan tombol hijau.

“Segera ke rumah sakit,” suara Kaelith terdengar dingin di seberang. “Aku menunggumu di sini.”

Nayara menelan ludah, rasa takut kembali merayap di tubuhnya. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah cepat keluar rumah, seolah panggilan itu adalah perintah yang tak mungkin ditolak.

Tiba di rumah sakit, Nayara melangkah menyusuri koridor putih yang berbau antiseptik. Hatinya berdegup tak menentu hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah pintu kamar pasien. Dengan tarikan napas panjang, ia memberanikan diri membuka pintu itu.

Di dalam, hanya ada Kaelith. Ia berbaring santai di ranjang rumah sakit, kakinya terbalut perban hingga lutut. Sementara tangannya sibuk menekan tombol remot, membolak-balikkan saluran televisi tanpa minat berarti.

Nayara menelan ludah. Ada keraguan yang membuat langkahnya tertahan di ambang pintu. Namun, akhirnya ia menutup pintu perlahan, seakan takut ada orang lain yang mendengar.

Dengan langkah pelan tapi tegas, ia menghampiri ranjang itu. Suara derit roda pada brankar di lorong luar terdengar samar, namun bagi Nayara dunia seolah menyempit hanya ada dirinya dan Kaelith di ruangan itu.

Kaelith menghentikan gerakan jarinya di atas remot ketika merasakan kehadiran Nayara. Tatapannya langsung beralih, tajam menusuk ke arah gadis itu. Senyum tipis terukir di wajahnya, tapi tatapan matanya menyimpan ancaman.

Dengan cepat, tangannya terulur, menarik Nayara hingga tubuh gadis itu terhuyung mendekat ke sisi ranjang. Nafas keduanya nyaris beradu, jarak di antara mereka hanya sejengkal.

“Kau dari mana, hm?” bisik Kaelith dengan nada yang terdengar lebih seperti gertakan. “Apa kau sudah izin padaku, baby?”

Suara itu begitu dekat, rendah, dan dingin, membuat Nayara merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia menunduk, jantungnya berdegup kencang, sementara genggaman Kaelith di pergelangan tangannya semakin erat.

“A-aku…” Nayara terbata, suaranya bergetar. Matanya tak berani menatap pria itu, hanya terarah ke lantai putih di bawah mereka. “Aku pulang… ke rumah.”

Kaelith mengangkat dagu Nayara dengan paksa, memaksa tatapan mereka bertemu. Senyum dinginnya semakin melebar.

“Ke rumah? Maksudmu kembali ke wanita murahan itu?” bisiknya tajam, seolah setiap kata adalah pisau yang menggores.

Nayara mencoba melepaskan pergelangan tangannya yang dicekal kuat. “Lepaskan aku, Kaelith… kau menyakitiku.”

Namun pria itu justru tertawa rendah, penuh ejekan. Ia mendekatkan wajahnya begitu dekat, hingga napasnya terasa di pipi Nayara.

“Rasa sakit itu belum seberapa, baby. Jangan pernah berpikir kau bisa melakukan sesuatu tanpa sepengetahuanku. Kau milikku. Jangan kira hanya karena aku begini, aku akan melepaskanmu… atau bahkan membiarkanmu bersama Jayden, si kasir rendahan itu.”

Air mata menggenang di mata Nayara. Nama Jayden disebut dan itu menusuknya lebih dalam dari cengkeraman di pergelangan tangannya. Hatinya gemetar, antara takut dan putus asa, namun ia tahu Kaelith tak pernah main-main dengan ancamannya.

“Jangan mengganggunya, Kaelith!” Nayara akhirnya memberanikan diri bersuara, meski suaranya bergetar. Air mata membasahi pipinya, tapi matanya menatap Kaelith dengan sisa keberanian yang ia punya. “Jika sampai kau menyakitinya… aku tidak akan segan...”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Kaelith menyeringai dan langsung memotongnya.

“Tidak segan apa, baby? Kau ingin mengancamku?” Suaranya rendah, mengejek, namun sarat dengan bahaya. “Wow… hebat.”

Sekejap kemudian, genggaman Kaelith pada pergelangan Nayara berubah menjadi cengkeraman yang lebih keras, membuat gadis itu meringis kesakitan. Jemarinya seolah menancap, menyalurkan rasa sakit yang disengaja.

“Aku suka melihatmu mencoba melawan,” lanjutnya, tatapan matanya berkilat dingin. “Tapi ingat, setiap kali kau berani membuka mulut seperti itu, kau hanya membuat nasibmu… dan nasib orang-orang yang kau sayangi, jadi lebih buruk.”

Cengkeraman Kaelith semakin kuat, membuat Nayara tak berkutik. Dalam sekejap, pria itu menarik tubuh gadis itu lebih dekat hingga jarak di antara mereka lenyap.

“Nayara…” suaranya rendah, nyaris seperti bisikan penuh ancaman.

Sebelum Nayara sempat bergerak mundur, Kaelith sudah menunduk, melumat bibirnya dengan paksa. Gerakan itu keras, kasar, tanpa ruang bagi penolakan. Nayara berusaha mendorong dada pria itu, tangannya menekan sekuat tenaga, tapi Kaelith tak bergeming.

Air mata mengalir di wajahnya. Hatinya menjerit, bukan hanya karena perlakuan itu, tetapi juga karena perasaan terperangkap yang semakin menyesakkan.

Bagi Kaelith, itu adalah penegasan atas kuasanya. Bagi Nayara, itu adalah pengingat pahit bahwa dirinya tak lebih dari boneka dalam genggaman seorang pria yang mengikatnya dengan ancaman.

Kaelith akhirnya melepaskan bibir Nayara, membiarkan gadis itu terengah-engah sambil menahan tangis. Jarak wajah mereka masih begitu dekat, napas keduanya bercampur di udara yang terasa semakin sesak.

“Aku menginginkanmu, baby…” bisik Kaelith pelan, tepat di sisa napas yang masih tertinggal di antara mereka. Suaranya rendah, nyaris mesra, tapi tajam seperti jerat yang tak bisa diputuskan.

Nayara memejamkan mata, tubuhnya gemetar hebat. Kata-kata itu menempel di telinganya, bagai belenggu yang semakin mengikat. Ia tahu, Kaelith tidak sedang berbicara soal kasih sayang ini tentang kekuasaan, tentang kepemilikan.

Air mata kembali jatuh, dan dalam hati Nayara hanya ada satu keinginan bisa bebas, meski ia sendiri tak tahu bagaimana caranya.

Bibir Kaelith masih menempel di dekat wajahnya ketika ia berbisik, seolah mengunci Nayara dengan kata-kata yang tak terbantahkan.

“Memuaskanku adalah tanggung jawabmu, baby. Kau harus siap kapan pun dan di mana pun aku mau… bahkan di sini, di rumah sakit ini.”

Nada suaranya tenang, namun sarat ancaman, seakan kalimat itu adalah hukum yang tak bisa diganggu gugat.

Nayara terdiam, tubuhnya kaku. Jantungnya berdegup liar, bukan karena cinta, tapi karena ketakutan yang merambat sampai ke setiap sarafnya. Ia tahu perlawanan hanya akan memperburuk keadaan.

Kaelith tersenyum tipis, puas melihat wajah Nayara yang memucat. Baginya, kepatuhan gadis itu bukan sekadar keinginan, melainkan hak yang harus ia dapatkan kapan pun ia inginkan.

Kaelith menarik Nayara semakin dekat, mencumbu gadis itu dengan paksa. Suara napas tertahan mengisi ruangan sempit itu, membuat Nayara semakin gelisah.

Tubuhnya kaku, matanya sesekali melirik ke arah pintu. Ketakutan merayapi dirinya, bayangan jika seseorang tiba-tiba masuk membuatnya ingin berteriak. Namun cengkeraman Kaelith begitu kuat, seolah mengurungnya dalam jerat yang tak terlihat.

Ia merasa sesak, dadanya dipenuhi rasa muak sekaligus ngeri.

Erangan panjang akhirnya mereda, menyisakan keheningan yang menekan di ruang rumah sakit itu. Napas Kaelith masih memburu, namun senyumnya tampak puas. Ia merengkuh Nayara ke dalam pelukannya, seakan gadis itu benar-benar miliknya.

Di sisi lain, Nayara hanya terdiam. Tubuhnya lemas, matanya kosong menatap langit-langit ruangan. Setiap detik yang baru saja terjadi terasa bagai belenggu yang semakin mengikat dirinya.

Kaelith mempererat pelukannya di atas ranjang pasien, tidak menyadari mungkin tidak peduli akan kegelisahan Nayara. Bagi pria itu, semua sudah seharusnya berjalan seperti ini.

Namun bagi Nayara, setiap sentuhan hanya menambah luka. Hatinya menjerit, ingin lepas, tapi ia tahu tak ada jalan keluar yang mudah.

Di rumah megah keluarga Vemund, udara sore yang seharusnya tenang justru dipenuhi percikan amarah.

“Kau benar-benar seorang ayah yang buruk, Alaric,” suara Liora bergetar namun tegas, berdiri tegak di hadapan suaminya. “Kau menyakiti putramu, bahkan membuatnya kehilangan harapan atas talenta yang ia miliki.”

Alaric tidak segera menoleh. Ia tetap duduk di kursi kerjanya, menatap layar komputer yang dipenuhi laporan dan angka-angka. Jemarinya mengetuk meja, seolah mencoba menahan gejolak dalam dirinya.

“Talenta?” akhirnya ia bersuara, rendah tapi penuh tekanan. “Yang kau sebut talenta itu tidak akan memberi masa depan padanya. Aku tidak akan membiarkan putraku menjadi lemah, Liora. Dunia ini tidak memberi ruang bagi mimpi kekanak-kanakan.”

Liora mengepalkan tangannya, matanya memerah menahan perasaan yang membuncah. “Yang kau sebut lemah itu adalah jiwa anakmu sendiri, Alaric. Kau sedang menghancurkannya perlahan dan ketika kau sadar, mungkin sudah terlambat.”

Ruangan itu mendadak terasa semakin besar, namun dinding-dindingnya seolah menyimpan rahasia dan luka keluarga yang tak pernah sembuh.

“Apa kau tidak puas menjajah Kevin? Merampas kebebasan hidupnya sendiri?” suara Liora meninggi, nadanya bergetar antara marah dan sedih. “Kau harusnya peka, Alaric. Putra pertamamu juga kecewa atas perilakumu dan keluarga ini. Kevin berusaha tetap menghormatimu, tetapi sekarang… sekarang kau malah ingin Kaelith juga melakukan hal yang sama seperti Kevin!”

Alaric akhirnya mengangkat kepalanya, menatap Liora dengan sorot mata dingin. Wajahnya tetap tegas, seolah kata-kata istrinya hanyalah tuduhan tak berarti.

“Kevin memang harus tunduk. Itu takdirnya sebagai penerus. Dan Kaelith, dia lebih dari sekadar anak. Ia adalah kunci masa depan keluarga Vemund. Aku tidak akan membiarkan perasaan remeh atau mimpi sia-sia menghalangi apa yang sudah kurancang.”

Liora mendesah panjang, matanya berair. “Masa depan keluarga? Atau masa depan ambisi buta seorang pria yang tak pernah tahu arti keluarga?”

Kata-kata itu menggantung tajam di udara, menusuk ego Alaric. Untuk sesaat, hanya suara jam antik di ruang kerja itu yang terdengar, berdentang seperti saksi bisu atas retaknya rumah tangga mereka.

“Jika kaki Kaelith semakin parah, aku tidak segan-segan melaporkanmu kepada pihak polisi.” Suara Liora tajam, penuh peringatan, sebelum ia berbalik dan melangkah pergi.

Pintu ruang kerja terbanting menutup, meninggalkan Alaric seorang diri di balik cahaya redup layar komputernya. Rahangnya mengeras, jemarinya mengepal di atas meja.

Ancaman Liora berputar di kepalanya, menusuk kesombongan yang selama ini ia pertahankan. Tatapannya berubah gelap, dingin, namun juga penuh amarah terpendam.

“Berani sekali kau, Liora…” gumamnya lirih, suara rendah yang nyaris seperti desisan.

Hening menyelimuti ruangan, namun dalam hati Alaric, badai mulai berkecamuk.

1
Widia Ar
udh dah kata gua mah nay nurut aja jadi cewe manis itu laki mau nya lu gitu nay pasti bakal dikasih dunia dan seisinya percaya dah Iyah kan othor .
Widia Ar
thor keren ihh tambah gemes Ama mereka berdua.
Widia Ar
the best
Widia Ar
thor semangat yah aku selalu menunggu mu
Seraphina: Terimakasih kak🥹
total 1 replies
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!