Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Babak Baru Di jakarta
Keesokan paginya, Ryan mengantar Eri kembali ke rumah Bude Hera. Di sana, Bu Henny menunggu dengan cemas. Pemandangan pertama yang menyambutnya adalah wajah Eri yang lebam.
"Kenapa dengan wajahmu, Er?" tanya Bu Henny panik, matanya menelisik setiap inci wajah putranya.
Eri hanya bisa menunduk, enggan menyebut nama Prasetyo. Namun, Ryan, yang berdiri di sampingnya, angkat bicara. "Eri berkelahi dengan Pak Prasetyo di makam Dea, Tante."
Mendengar itu, Bu Henny terhuyung ke belakang. "Prasetyo? Apa yang dia lakukan padamu, Er?" batinnya bertanya-tanya.
"Tante berterima kasih padamu, Ryan," kata Bu Henny, meraih tangan Ryan dengan erat. "Kamu selalu ada untuk Eri."
"Sudah sepantasnya, Tante," jawab Ryan tulus. "Eri adalah teman saya."
Setelah Ryan pamit, Bu Henny menatap Eri dengan tatapan sendu. "Mama sangat khawatir kalau terjadi apa-apa padamu, Er."
"Maafkan Eri, Ma," jawab Eri menyesal. "Eri tidak bilang Mama mau ke sini."
"Sudahlah, yang penting kamu baik-baik saja," kata Bu Henny, mencoba menenangkan diri. "Ayo masuk."
Di dalam rumah, setelah suasana tenang, Bu Henny memulai percakapan yang penting. "Eri, Mama ingin kamu kembali ke Jakarta dan kuliah di sana."
"Kenapa, Ma?" tanya Eri, bingung.
"Papamu ada di kota ini, bersama Dinda. Mama takut mereka akan menyakitimu," jawab Bu Henny, suaranya bergetar. "Selain itu, Mama tidak ingin kamu terus dihantui kenangan tentang Dea." Air mata mulai membasahi pipinya.
Eri terdiam. Dia tahu betul sifat Dinda, wanita yang merebut kebahagiaan Mamanya. Dia juga tahu, kenangan tentang Dea akan selalu menghantuinya jika dia tetap di Bandung.
"Sebenarnya Eri sudah nyaman di sini, Ma," jawab Eri lirih. "Apalagi Eri sudah punya teman baik seperti Ryan."
Bu Henny menggeleng. "Mama tahu Dinda itu seperti apa, dia bisa melakukan apa saja. Dia tidak punya malu, bahkan mengusir Mama dari rumah kita sendiri." Tangisnya semakin menjadi.
Melihat ibunya menangis, hati Eri hancur. Dia tahu, ibunya adalah segalanya baginya. Dia tidak bisa melihat ibunya menderita lagi.
"Kalau kamu tidak mau kembali, Mama tidak akan memaksa," kata Bu Henny, suaranya tercekat. "Tapi hati-hati di sini."
Eri menatap wajah Mamanya. Di sana, dia melihat guratan kesedihan yang mendalam. Dia tidak bisa membiarkan Mamanya terus bersedih.
"Ma, Eri akan pindah ke Jakarta," jawabnya mantap.
Bu Henny terkejut. "Kamu yakin, Er?"
"Yakin, Ma," jawab Eri, sambil menggenggam tangan Mamanya. "Setelah semua yang terjadi di sini, Eri semakin menyadari, Mama adalah orang yang paling berharga dalam hidup Eri. Eri tidak bisa jauh dari Mama."
Bu Henny tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia memeluk Eri erat-erat, tangis haru memenuhi ruangan.
"Terima kasih, Er," bisik Bu Henny. "Mama janji akan selalu menjagamu."
Di balik keputusan Eri, tersembunyi luka yang mendalam. Dia tahu, meninggalkan Bandung berarti meninggalkan kenangan tentang Dea dan persahabatannya dengan Ryan. Namun, dia juga tahu, kebahagiaan Mamanya adalah yang utama.
Dengan berat hati, Eri memutuskan untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Dia akan meninggalkan Bandung, membawa serta kenangan pahit dan manis. Setelah semua yang terjadi di sini, Eri semakin menyadari, Mama adalah orang yang paling berharga dalam hidup Eri. Eri tidak bisa jauh dari Mama."
Bu Henny tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia memeluk Eri erat-erat, tangis haru memenuhi ruangan.
"Terima kasih, Er," bisik Bu Henny. "Mama janji akan selalu menjagamu."
Di balik keputusan Eri, tersembunyi luka yang mendalam. Dia tahu, meninggalkan Bandung berarti meninggalkan kenangan tentang Dea dan persahabatannya dengan Ryan. Namun, dia juga tahu, kebahagiaan ibunya adalah yang utama.
Dengan berat hati, Eri memutuskan untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Dia akan meninggalkan Bandung, membawa serta kenangan pahit dan manis, dan memulai hidup baru di Jakarta, bersama Mamanya.
Keputusan Eri untuk kembali ke Jakarta tidaklah mudah. Bandung telah menjadi bagian dari hidupnya, meski hanya seumur jagung. Di Bandung ini, ia menemukan teman baru, Ryan, yang selalu ada di sisinya. Namun, kenangan pahit tentang Dea dan ancaman dari Prasetyo dan Dinda terus menghantuinya.
Malam itu, Eri tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya berkecamuk. Di satu sisi, ia ingin tetap di Bandung, melanjutkan kuliah dan menjalin persahabatan dengan Ryan. Di sisi lain, ia tidak bisa mengabaikan kekhawatiran ibunya dan bayangan masa lalu yang kelam.
Pagi harinya, Eri menemui Ryan di kampus. Ia menceritakan semua yang terjadi, tentang perkelahiannya dengan Prasetyo, kekhawatiran Mamanya, dan keputusannya untuk pindah ke Jakarta.
Ryan mendengarkan dengan seksama, tanpa menyela. Ia tahu, keputusan Eri tidaklah mudah. Ia juga tahu, Eri sangat menyayangi Mamanya.
"Aku mengerti, Er," kata Ryan, menepuk pundak Eri. "Kamu harus melakukan apa yang terbaik untuk Mamamu."
Eri tersenyum pahit. "Aku akan merindukanmu, Yan."
"Aku juga akan merindukanmu, Er," balas Ryan. "Tapi kita masih bisa bertemu. Jakarta tidak terlalu jauh dari Bandung."
Eri dan Ryan berpelukan erat. Mereka berjanji akan tetap menjaga persahabatan mereka, meski terpisah jarak dan waktu.
Setelah berpamitan dengan Ryan, Eri kembali ke rumah Bude Hera. Ia melihat Mamanya sedang berkemas. Hatinya terenyuh. Ia tahu, ibunya melakukan semua ini demi dirinya.
"Mama, biar Eri bantu," kata Eri, menghampiri Mamanya.
Bu Henny tersenyum. "Terima kasih, Nak."
Mereka berdua bekerja sama membereskan barang-barang dibantu Bude Hera. Suasana di dalam rumah terasa hening, hanya suara gemerisik pakaian dan kardus yang terdengar.
Sore harinya, Eri dan Bu Henny berpamitan dengan Pakde Herman dan Bude Hera. Mereka berterima kasih atas kebaikan dan keramahan keluarga itu selama mereka tinggal di Bandung.
"Kami akan merindukan kalian," kata Bude Hera, memeluk Eri dan Bu Henny.
"Kami juga akan merindukan Bude dan Pakde," balas Eri.
Pakde Herman menepuk pundak Eri. "Jaga dirimu baik-baik di Jakarta, ya."
"Pasti, Pakde," jawab Eri.
Setelah berpamitan, Eri dan Bu Henny masuk ke dalam mobil. Pak Dahlan sudah siap mengantar mereka kembali ke Jakarta.
Saat mobil mulai berjalan, Eri menoleh ke belakang. Ia melihat rumah Bude Hera semakin menjauh. Ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam hatinya.
Selama perjalanan ke Jakarta, Eri termenung. Ia memikirkan tentang masa depannya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di Jakarta. Namun, ia yakin, bersama Mamanya, ia bisa menghadapi segala rintangan.
Sesampainya di Jakarta, Eri dan Bu Henny kembali ke rumah mereka.
"Kita akan mulai hidup baru di sini, Er," kata Bu Henny, merangkul Eri.
"Iya, Ma," jawab Eri, tersenyum.
Malam itu, Eri tidak bisa tidur. Ia memikirkan tentang Dea. Ia merasa bersalah karena telah meninggalkannya. Namun, ia tahu, ia harus move on dan melanjutkan hidupnya.
Keesokan harinya, Eri mendaftar kuliah di sebuah universitas di Jakarta. Ia memilih jurusan yang sama dengan yang ia ambil di Bandung. Ia berharap, ia bisa segera beradaptasi dengan lingkungan baru dan mengejar cita-citanya.
Beberapa minggu kemudian, Eri mulai kuliah. Ia merasa canggung dan tidak percaya diri. Ia merindukan teman-temannya di Bandung, terutama Ryan.
Namun, Eri tidak menyerah. Ia berusaha keras untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Ia mengikuti kegiatan kampus dan mencoba bergaul dengan teman-temannya.
Perlahan tapi pasti, Eri mulai menemukan teman-teman baru. Ia merasa lebih nyaman dan percaya diri. Ia mulai menikmati hidupnya di Jakarta.
Suatu hari, Eri mendapat telepon dari Ryan. Ryan mengatakan, ia akan datang ke Jakarta untuk mengunjungi Eri.
Eri sangat senang mendengar kabar itu. Ia tidak sabar ingin bertemu dengan sahabatnya.
Beberapa hari kemudian, Ryan tiba di Jakarta. Eri menjemputnya di stasiun. Mereka berpelukan erat, melepas rindu.
"Aku senang bisa bertemu denganmu, Er," kata Ryan.
"Aku juga senang, Yan," balas Eri.
Eri mengajak Ryan berkeliling Jakarta. Mereka mengunjungi tempat-tempat wisata dan mencoba makanan khas Jakarta.
Ryan sangat terkesan dengan Jakarta. Ia mengatakan, Jakarta adalah kota yang modern dan ramai.
Selama Ryan berada di Jakarta, Eri merasa sangat bahagia. Ia merasa seperti kembali ke masa lalu, saat mereka masih bersama di Bandung.
Namun, Eri juga merasa sedih tahu, Ryan akan segera kembali ke Bandung. Ia tidak ingin berpisah dengan sahabatnya.
Pada hari terakhir Ryan di Jakarta, Eri mengantarnya kembali ke stasiun. Mereka berpelukan erat, berjanji akan tetap menjaga persahabatan mereka.
************