Suatu hari, Rian, seorang pengantar pizza, melakukan pengantaran di siang hari yang terik.
Namun entah kenapa, ada perasaan aneh yang membuat langkahnya terasa berat saat menuju tujuan terakhirnya.
Begitu sampai di depan pintu apartemen lokasi pengantaran itu, suara tangis pelan terdengar dari dalam di ikuti suara kursi terguling.
Tanpa berpikir panjang, Rian mendobrak pintu dan menyelamatkan seorang gadis berseragam SMA di detik terakhir.
Ia tidak tahu, tindakan nurani itu akan menjadi titik balik dalam hidupnya.
Sistem memberi imbalan besar atas pencapaiannya.
Namun seiring waktu, Rian mulai menyadari
semakin besar sesuatu yang ia terima, semakin besar pula harga yang harus dibayar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
"Katakan! Siapa yang mengancam?” bentak nya ke pelayan yang masih hidup. Suara berat nya bergetar menahan emosi.
Pelayan itu menangis makin keras.
“S-saya nggak bisa bilang, Pak… kalau saya sebut nama mereka… anak saya akan mati di tangan mereka…”
"BRAK!"
Ayah Aurelia menghantam meja dengan telapak tangan nya sampai seluruh ruangan ikut tersentak.
“KALO KAU NGGAK NGASIH TAU KAU YANG MATI! PAHAM!?”
Pelayan itu terlonjak kaget oleh bentakan itu.
Tubuhnya langsung ambruk makin rendah ke lantai, kedua tangan menutup kepala.
“U-uhhh… huuu… h-huhu…,” isaknya pecah, napasnya seperti tersengal.
“Y-ya… ya sudah, Pak! J-jangan bunuh saya… s-saya bilang… saya bilang…!”
Ia mengusap ingus dan air mata secara bersamaan, suaranya pecah,
“Y-yang nyuruh saya… P-Pak XXXXX, Pak…”
Kata itu keluar seperti racun yang dipaksa keluar dari kerongkongannya antara menyerah, takut, dan masih berharap bisa tetap hidup.
Ayah Aurelia mendengar nama itu keluar dari mulut pelayan tersebut.
Ia tidak langsung meledak justru tertawa kecil, pendek, sinis.
“Ohh… dasar bocah.”
Ia menyandarkan punggung, menatap kosong ke depan seolah sedang menilai kebodohan seseorang dari jauh.
“Mentang-mentang ayah nya baru dapat tender dari kita… sekarang berani macam-macam?! "
Ia menggeleng pelan, senyum tipis tapi dingin merayap di wajahnya.
“Bocah Biadap, sepertinya dia lupa… siapa bos sesungguhnya dari perusahaan ayah nya.”
Tanpa membuang waktu, ia meraih ponselnya dan menekan satu nomor cepat.
Nada sambung hanya terdengar setengah detik sebelum diangkat.
“Batalkan semua proyek tender kita,” ucap nya datar, hampir tanpa emosi.
“Kita lanjutkan… nanti.”
Di seberang, suara tegas langsung menjawab,
“Baik, bos.”
Ayah Aurelia menutup telepon dengan satu gerakan pelan.
Lalu menatap meja seakan baru saja menyapu satu bidak dalam permainan catur.
“Sialan,” gumamnya lirih lebih ke jengkel karena di remehkan, bukan marah membabi buta.
Sementara itu, di lantai dekat meja makan…
Rian masih memeluk Aurelia yang jatuh setengah limbung.
Ia menepuk perlahan punggung gadis itu, suaranya lembut tapi mantap.
“Aurelia… ayo bangun dulu, yuk.”
Rian sedikit memiringkan kepalanya, memastikan wajah Aurelia masih fokus.
“Jangan tidur di lantai, nggak enak diliatin orangtuamu.” bujuk rian.
Aurelia menggeleng kecil, suara keluarnya serak dan nyaris seperti bisikan.
“Gak mau… masih takut…”
Rian menunduk sedikit, memastikan matanya sejajar dengan nya.
“Iya, iya… aku ada di sini.”
Tangannya tetap menopang pinggang Aurelia.
“Ayo berdiri, pelan-pelan.”
“…Hm…”
Suara kecil itu lolos dari bibir Aurelia.
Dengan bantuan Rian, ia perlahan berdiri. Tangannya masih menggenggam lengan Rian erat.
“Aurelia… udah, masuk ke kamarmu aja,” ucap ayahnya sambil memijit pelipis, jelas masih kesal tapi lebih ke capek dengan situasi.
“Masih banyak urusan mau diberesin. Pacarmu itu… suruh balik aja.” lanjut ayah nya.
“Gak… gak mau!” Aurelia langsung memeluk lengan Rian makin erat.
“Aku masih takut…”
Ayahnya mendengus frustasi.
“Ish, anak ini…”
Ibu Aurelia menepuk pelan lengan suami nya.
“Udah, Yah… jangan marah begitu. Sesekali doang pacar anak kita main ke rumah.”
Ayahnya menghela napas panjang, pasrah.
Ibu Aurelia kemudian berbalik ke arah putrinya dan Rian.
“Udah, ke kamar sana gih. Ajak Rian juga kalau kamu masih takut.”
Tapi sebelum keduanya bergerak, ia mengangkat jari telunjuk.
“Tapi…”
Tatapannya berubah jadi tatapan khas yang sedang memberi peringatan.
“Inget batasan, ya, Aurelia.”
Aurelia refleks merona.
“Bu!”
Rian cuma bisa berdiri kaku, senyum kaku, tapi pikiran nya berputar.
“Emang… kenapa aku ikut ke kamar? Kan ‘itu’ mah khusus buat yang udah nikah, emang trend sekarang gitu kah??”
Ia mendecak pelan dalam hati.
“Hmm… aneh-aneh aja sih kelakuan orang kota.”
Dup… dup… dup…
Langkah mereka berdua terdengar jelas sampai akhirnya masuk ke kamar Aurelia.
Begitu pintu tertutup, Rian langsung terpaku sesaat.
Kamarnya luas, Luas banget. Kalau dibandingin sama kamar Riani? Ini mah bisa 6 – 7 kali besar dari kamar adiknya sendiri.
Aroma wangi lembut tercium, campuran parfum ruangan dan wangi bed cover yang sering dicuci.
Dindingnya di dominasi warna pink pastel, lembut tapi tetap elegan.
Di sisi kasur besar ada deretan boneka, dari yang kecil lucu sampai yang gede setinggi badan Aurelia.
Di depan kasur ada meja belajar berwarna pink yang rapi banget, lengkap dengan lampu belajar dan beberapa hiasan kecil.
Aurelia berjalan perlahan ke arah kasur, duduk pelan… dan baru sadar satu hal besar,
Untuk pertama kalinya, ia mengajak seorang cowok masuk kamarnya.
Wajahnya langsung merah merona. Telinga nya juga.
Rian yang melihat itu malah bingung ngira sesuatu yang lain.
“Eh, kamu sakit ya, Aurelia?”
Ia langsung menempelkan telapak tangannya ke kening Aurelia, refleks dan polos.
Aurelia terpaku, makin merah.
Rian mengerutkan kening.
“Eh iya deh, panas ini. Aku ke dapur dulu ya, bawain kompres buatmu.”
Baru ia mau bangkit dan melangkah keluar…
tangan Aurelia cepat menahan bajunya dari belakang.
“Bu-bukan… aku nggak sakit…”
Suaranya kecil, bergetar sedikit.
“Aku… baik-baik aja. Temenin aku aja di sini.”
Rian berhenti dan Menengok.
“Oh.”
Ia duduk santai di sebelahnya, tanpa canggung sama sekali.
“Yaudah, aku duduk sini. Nemenin kamu.”
Buat Rian, ini hal biasa. Dia udah sering nenangin adiknya, Yuna, dan cewe dari misi kemarin.
Aurelia menunduk sedikit, ujung rambutnya jatuh menutupi pipinya yang merah.
“Hmm… makasih lagi ya, Rian…” ucapnya malu-malu.
Rian cuma nyender santai ke kepala ranjang.
“Iya, sama sama.”
Tapi Aurelia menggigit bibirnya, seperti menahan sesuatu yang mengganjal di hati.
“P-padahal… aku yang bawa kamu ke sini buat jadi pacar pura-pura aku,” ucap nya lirih.
“Tapi ujung-ujung nya malah gini. Kalo tadi aku kena… mungkin kamu juga bisa ikut kena masalah nya. Dan aku… mungkin udah ma–…”
Belum sempat ia melanjutkan, Rian mengangkat tangannya, satu jarinya menyentuh lembut bibir Aurelia.
“Shh.”
Tatapan nya serius tapi lembut.
“Jangan ngomong gitu.”
Ia menunduk sedikit supaya mata mereka sejajar.
“Buktinya kamu masih hidup. Aku di sini. Semua nya sudah berlalu. Jadi jangan pernah salahin diri sendiri lagi, ya?”
Aurelia terdiam. Pupilnya bergetar.
Sentuhan kecil itu… bikin dadanya meledak pelan.
“U… uh… hu…”
Air matanya mengalir sebelum ia sempat menahan.
“Rian… makasih banget…”
Tanpa menunggu, ia melemparkan tubuh nya ke pelukan Rian.
Rian sempat kaget satu detik lalu perlahan mengusap pelan tangan nya di punggung Aurelia,
“Nangis aja, gapapa” bisiknya.
“Aku ada di sini.” Tutur Rian.
[Ding!]
[Misi Lanjutan Berhasil Diselesaikan!]