Arsenio Elvarendra, mafia kejam yang dihianati orang kepercayaannya, terlahir kembali di sebuah singgasana yang sangat megah sebagai Kaisar Iblis. Di dunia barunya, ia bertemu seorang wanita cantik—Dia seorang dewi yang menyembunyikan identitasnya.
Bisakah Arsenio mengungkap jati diri sang Dewi? Akankah cinta mereka mengubah jalan takdir di antara kegelapan dan cahaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BUBBLEBUNY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengakuan di Ruang Sunyi
Lilith mengangguk, tetapi dia masih merasa khawatir. Dia tahu bahwa Lucifer telah melalui banyak hal, dan dia tidak tahu apakah dia bisa bertahan lebih lama lagi.
Dia hanya bisa berharap bahwa Lucifer akan selamat dan bahwa mereka akan berhasil membangun kembali kerajaan mereka dan memperkuat aliansi mereka. Ezra meletakkan tangannya di bahu Lilith.
"Dia akan baik-baik saja, Lilith," kata Ezra, mencoba menghibur. "Dia selalu begitu."
Lilith mengangguk kecil, tetapi matanya tetap terpaku pada pintu ruang perawatan.
"Aku akan berjaga," kata Lilith. "Kau istirahatlah."
"Tidak, aku akan menemanimu," kata Ezra. "Kita bisa berjaga bersama."
Mereka duduk dalam diam untuk beberapa waktu, hanya suara jam yang berdetak yang memecah kesunyian. Akhirnya, Ezra bangkit.
"Aku akan mengambilkan sesuatu untuk diminum," kata Ezra. "Kau mau sesuatu?"
"Tidak, terima kasih," jawab Lilith, tanpa mengalihkan pandangannya dari pintu.
Ezra pergi, meninggalkan Lilith sendirian di ruang tunggu. Dia berdiri dan berjalan ke jendela, menatap pemandangan Kerajaan Iblis di bawahnya. Dia telah melayani Lucifer selama bertahun-tahun, dan dia selalu mengaguminya. Dia adalah pemimpin yang kuat dan adil, dan dia selalu menempatkan rakyatnya di atas segalanya. Tapi itu bukan hanya kekuatannya yang membuat Lilith mengaguminya. Itu juga hatinya. Dia adalah orang yang penyayang dan pengertian, dan dia selalu bersedia membantu mereka yang membutuhkan.
Seiring waktu, kekaguman Lilith pada Lucifer berubah menjadi sesuatu yang lebih. Dia jatuh cinta padanya. Dia tahu bahwa itu tidak mungkin. Lucifer adalah Kaisar Iblis, dan dia adalah pelayannya. Mereka berasal dari dunia yang berbeda, dan mereka tidak pernah bisa bersama.Tapi dia tidak bisa menahan perasaannya. Dia mencintai Lucifer dengan sepenuh hatinya.
Dia berbalik dan menatap pintu ruang perawatan. Dia tahu bahwa Lucifer mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana perasaannya, tetapi dia tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Dia harus mengatakannya. Dia berjalan ke pintu dan meletakkannya tangannya di atasnya.
"Lucifer," bisik Lilith. "Aku tahu kau tidak bisa mendengarku sekarang, tapi aku harus mengatakannya. Aku mencintaimu. Aku selalu mencintaimu. Aku tahu itu tidak mungkin, tapi aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Aku hanya ingin kau tahu."
Air mata mulai mengalir di pipinya. Dia tahu bahwa dia mungkin melakukan kesalahan, tetapi dia tidak bisa menahannya. Dia harus mengatakannya. Dia berdiri di sana untuk beberapa saat, menangis dalam diam. Akhirnya, dia menghapus air matanya dan menarik napas dalam-dalam.
"Aku akan selalu melayanimu, Lucifer," kata Lilith. "Aku akan selalu melindungimu. Aku akan selalu mencintaimu."
Dia berbalik dan berjalan kembali ke jendela, siap untuk melanjutkan penjagaannya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi dia tahu bahwa dia akan selalu berada di sana untuk Lucifer.
Tiba-tiba, dia mendengar suara erangan lemah dari dalam ruang perawatan. Jantungnya berdegup kencang, dan dia berlari ke pintu.
Dia membuka pintu dan melihat Lucifer berbaring di tempat tidur, matanya perlahan terbuka.
"Yang Mulia!" seru Lilith, berlari ke sisinya. "Kau sudah sadar!"
Lucifer menatap Lilith, matanya masih kabur. Dia mencoba untuk berbicara, tetapi suaranya terlalu lemah.
"Jangan paksa dirimu, Yang Mulia," kata Lilith. "Kau harus istirahat."
Lucifer menggelengkan kepalanya dan mencoba untuk duduk. Lilith membantunya duduk dan menyandarkannya di bantal.
"Bagaimana perasaanmu?" tanya Lilith.
"Aku... aku baik-baik saja," kata Lucifer, suaranya masih lemah. "Apa yang terjadi?"
"Kau terluka parah dalam pertempuran dengan Malachi," jawab Lilith. "Kami membawamu kembali ke sini, dan para tabib merawatmu."
Lucifer mengangguk. Dia ingat pertempuran itu sekarang. Dia ingat Malachi dan Tongkat Genesis. Dia ingat Lilith dan Ezra.
"Di mana Ezra?" tanya Lucifer.
"Dia baik-baik saja," jawab Lilith. "Dia sedang beristirahat."
Lucifer mengangguk lagi. Dia menatap Lilith, dan untuk pertama kalinya, dia benar-benar melihatnya. Dia melihat kecantikannya, kekuatannya, dan kesetiaannya. Dia melihat cinta di matanya.
Dia tersenyum, senyum tulus yang belum pernah dilihat Lilith sebelumnya.
"Terima kasih, Lilith," kata Lucifer. "Terima kasih untuk segalanya."
Lilith tersenyum kembali.
"Itu adalah kehormatanku, Yang Mulia," kata Lilith.
Lucifer mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Lilith.
"Aku mendengar apa yang kau katakan tadi," kata Lucifer.
Wajah Lilith memerah.
"Yang Mulia..." gumam Lilith, merasa malu.
"Jangan malu," kata Lucifer. "Aku merasakan hal yang sama."
Mata Lilith melebar karena terkejut.
"Apa maksudmu, Yang Mulia?" tanya Lilith.
"Aku mencintaimu, Lilith," kata Lucifer. "Aku selalu mencintaimu."
Air mata mulai mengalir di pipi Lilith. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia dengar.
"Aku juga mencintaimu, Lucifer," kata Lilith. "Aku selalu mencintaimu."
Lucifer tersenyum dan menarik Lilith mendekat. Dia menciumnya dengan lembut, dan Lilith membalas ciumannya dengan sepenuh hatinya.
Mereka berciuman untuk beberapa saat, melupakan segalanya kecuali satu sama lain. Akhirnya, mereka melepaskan ciuman itu.
"Tapi... tapi ini tidak mungkin," kata Lilith, merasa khawatir. "Kau adalah Kaisar Iblis, dan aku hanyalah pelayanmu. Aku bukan dari keluarga iblis bangsawan. Pasti akan ada yang menentang hubungan ini."
Lucifer mengerutkan kening.
"Aku tidak peduli apa yang orang lain katakan," kata Lucifer. "Aku mencintaimu, dan itu yang terpenting. Aku adalah Kaisar Iblis, dan aku bisa melakukan apa pun yang aku inginkan. Jika ada yang menentang hubungan kita, mereka akan berurusan denganku."
Lilith tersenyum, merasa lega.
"Aku juga tidak peduli apa yang orang lain katakan," kata Lilith. "Aku mencintaimu, dan aku akan selalu bersamamu."
Lucifer tersenyum dan mencium Lilith lagi.
"Aku senang mendengarnya," kata Lucifer. "Karena aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu."
Tiba-tiba, pintu ruang perawatan terbuka, dan Ezra masuk. Dia melihat Lucifer dan Lilith berpegangan tangan, dan dia tersenyum.
"Aku senang kau sudah sadar, Lucifer," kata Ezra. "Kami semua sangat khawatir."
"Terima kasih, Ezra," kata Lucifer. "Aku merasa lebih baik sekarang."
Ezra menatap Lilith, dan dia mengangguk kecil. Ezra mengerti apa yang sedang terjadi.
"Aku akan meninggalkan kalian berdua," kata Ezra. "Aku yakin kalian punya banyak hal untuk dibicarakan."
Ezra berbalik dan pergi, meninggalkan Lucifer dan Lilith sendirian lagi.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Lilith.
"Aku tidak tahu," jawab Lucifer. "Tapi aku tahu bahwa aku ingin bersamamu. Aku ingin kau menjadi ratuku."
Mata Lilith melebar karena terkejut.
"Ratu?" tanya Lilith. "Tapi... tapi aku tidak bisa menjadi ratumu. Aku bukan dari keluarga iblis bangsawan."
"Aku tidak peduli tentang itu," kata Lucifer. "Aku mencintaimu, dan itu yang terpenting. Aku adalah Kaisar Iblis, dan aku bisa melakukan apa pun yang aku inginkan. Jika aku ingin kau menjadi ratuku, maka kau akan menjadi ratuku."
Lilith tersenyum, merasa bahagia.
"Aku akan senang menjadi ratumu, Lucifer," kata Lilith.
Lucifer tersenyum dan menarik Lilith mendekat. Dia menciumnya dengan penuh gairah, dan Lilith membalas ciumannya dengan sepenuh hatinya.
Mereka berciuman untuk beberapa saat, melupakan segalanya kecuali satu sama lain. Akhirnya, mereka melepaskan ciuman itu.
"Aku mencintaimu, Lilith," kata Lucifer.
"Aku juga mencintaimu, Lucifer," kata Lilith.
Lucifer dan Lilith saling berpelukan erat, tahu bahwa mereka akan selalu bersama.
Namun, mereka tahu bahwa jalan di depan tidak akan mudah. Akan ada banyak orang yang menentang hubungan mereka, dan mereka harus berjuang untuk cinta mereka.
Tapi mereka siap untuk menghadapi tantangan apa pun. Karena mereka tahu bahwa mereka memiliki satu sama lain, dan itu adalah semua yang mereka butuhkan.