“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. MASIH GUGUP
Sudah hampir jam sebelas malam. Lampu-lampu apartemen sebagian besar padam, hanya cahaya temaram dari dapur yang masih menyala.
Nadhifa berdiri di depan dispenser, mengisi termos air panas untuk dibawa ke kamar. Suara aliran air mengisi keheningan, sesekali terdengar detak jam dinding.
Langkah kakinya masih terasa agak berat. Bukan karena lelah, tapi tubuhnya belum sepenuhnya pulih dari keintiman beberapa hari terakhir.
Bukan ia menyesal—tidak sama sekali. Tapi menjadi istri, tidur satu atap, satu tempat tidur, dan satu selimut dengan Renzo, masih terasa seperti mimpi yang dijelajahi pelan-pelan.
Ia menghela nafas, membetulkan rambut yang menjuntai di sisi pipi saat terdengar langkah kaki berat mendekat.
“Apa kamu tahu kalau kamu terlalu cantik saat sendirian di dapur seperti ini?” ujar Renzo lembut, seperti bisikan yang menghangatkan malam.
Nadhifa menoleh, sedikit terkejut. Renzo sudah berdiri di ambang dapur, mengenakan kaos tipis abu dan celana panjang santai. Rambutnya masih agak berantakan, tanda baru bangun dari tidur singkat.
“Kamarmu kehabisan air panas. Aku isi termos dulu,” jawab Nadhifa sambil tersenyum kecil.
Tanpa berkata apapun, Renzo menghampirinya perlahan. Seperti singa yang tahu kapan harus menerkam, tapi memilih mengelus dulu. Lengannya melingkar dari belakang, pelukannya membuat Nadhifa berhenti bergerak. Dagunya menempel di bahu Nadhifa, aromanya masih sabun yang menenangkan, detak jantungnya membuat malam itu terasa hangat.
“Nadhifa …,” bisiknya nyaris tanpa suara.
“Hmm?”
Renzo tidak menjawab. Sebagai gantinya, ciuman lembut mendarat di sisi leher Nadhifa. Ia gemetar sedikit. Refleks ingin menoleh, tapi pelukan Renzo justru makin erat.
Ciuman itu tidak terburu-buru. Tidak menuntut. Hanya menegaskan. Ia miliknya, dan Nadhifa istrinya. Malam itu, Nadhifa tak perlu kuat sendirian.
“Kamu masih sering gugup kalau aku cium, ya?” tanya Renzo sambil tertawa pelan.
Nadhifa mengangguk malu. “Aku … belum terbiasa. Kamu mungkin sering pacaran di masa muda tapi aku nggak pernah.”
Renzo membalik tubuhnya, hingga wajah mereka saling berhadapan. Cahaya lampu dari dapur menyorot sebagian wajahnya. Mata itu masih sama, penuh ketenangan.
“Tapi kamu nggak menolak, ‘kan?”
Nadhifa tersenyum malu. “Nggak. Cuma … masih bingung. Harus apa.”
Tangan Renzo mengangkat dagunya pelan. “Tenang aja. Kita belajar bareng.”
Ia mengecup bibir Nadhifa lagi. Singkat. Tapi cukup untuk membuat dadanya berdebar. Nafasnya berat, tapi bukan karena takut. Hanya karena, hangat ini terasa baru.
“Mas,” bisiknya, “kita di dapur.”
“Biarkan dapur jadi saksi cinta suami istri yang halal,” godanya sambil terkekeh.
Nadhifa tertawa pelan. Dalam pelukan Renzo malam itu, ia sadar betapa aman rasanya menjadi satu-satunya perempuan yang dipilih untuk dicintai sepenuh hati.
Renzo memandang Nadhifa yang bersandar di dadanya, wajahnya setengah tertutup rambutnya sendiri. Aroma tubuhnya memenuhi ruang kecil itu, lembut dan menenangkan.
Renzo menariknya lebih dekat, lengan kekarnya melingkar di punggung sang istri—tidak menekan, hanya menjaga. Seolah ia memegang sesuatu yang rapuh dan berharga.
Ia tidak tahu sudah berapa lama mereka diam seperti ini. Rasanya lama, tapi juga cepat. Waktu seperti melambat setiap kali Nadhifa berada di pelukannya.
“Nadhifa …,” ucapnya pelan, suaranya berat.
Perempuan itu hanya mengusap dada Renzo, mencari keberanian. Lalu, suaranya terdengar lirih. “Apa ... boleh kita lakukan lagi malam ini?”
Renzo menahan napasnya sejenak. Tangannya bergeser ke punggungnya, mengusap lembut. “Aku pikir kamu masih takut,” gumamnya hati-hati.
“Aku masih takut,” jawab Nadhifa jujur, “tapi lebih takut kamu kecewa.”
Renzo tersenyum kecil, meski ia tahu wajahnya tak terlihat. Tangannya naik mengelus rambut sang istri.
“Aku nggak butuh istri sempurna,” katanya pelan. “Aku butuh kamu, apa adanya. Kalau kamu masih sakit, kita tunggu. Nggak harus sekarang.”
“Tapi katanya … setelah yang pertama nggak akan sesakit itu?”
Renzo menarik wajah Nadhifa agar menatapnya. Mata itu, yang kini penuh keberanian kecil, membuat dadanya hangat.
“Pertama kali memang paling berat,” katanya lembut, “tapi tubuhmu akan belajar. Sama kayak perasaanmu. Kita bukan saling mengambil, Nadhifa. Kita belajar memberi.”
Dia bisa melihat Nadhifa diam, nafasnya bergetar. Namun tidak ada tanda penolakan.
“Aku nggak akan nyakitin kamu,” tambahnya lagi. “Sekarang pun aku masih nahan diri. Tapi kalau kamu siap, biar aku bimbing pelan-pelan.”
Nadhifa mengangguk perlahan. Dan Renzo tahu, di balik anggukan itu ada kepercayaan besar yang diberikan padanya.
Ada sesuatu dalam diam Nadhifa malam itu yang terasa berbeda bagi Renzo.
Perempuan itu tidak berkata banyak, tetapi lengannya yang melingkar di pinggangnya, tubuhnya yang lebih dekat dari biasanya, dan tatapan matanya saat lampu diredupkan, semua itu berbicara lebih dari seribu kata.
Renzo membalas tatapan itu dengan kecupan ringan di keningnya, lalu di ujung hidungnya, dan akhirnya di bibirnya. Gerakannya tetap hati-hati, seperti pertama kali.
Namun genggaman jemari Nadhifa yang erat seolah berkata, “Aku siap, tapi jangan terlalu cepat.”
Di balik selimut putih yang hangat, tubuh mereka menyatu dalam pelukan. Renzo bergerak pelan, lebih banyak berhenti untuk mendengar desah nafasnya dibanding terus melangkah.
Nadhifa membalas dengan mata terpejam, sesekali menggigit bibirnya sendiri, menahan rasa baru yang datang bertubi-tubi.
Selimut sedikit bergeser. Nafas mereka membentuk kabut kecil di udara. Cahaya lampu tidur memantul samar di dinding, menciptakan bayangan tak beraturan. Siluet dua tubuh yang sedang belajar saling memahami, bukan sekadar menyentuh.
Saat tubuh Nadhifa sedikit menegang, Renzo berhenti. Tangannya mengusap rambut sang istri perlahan, memberi ruang, memberi waktu. Ia tidak ingin rasa cinta ini melukai. Hanya ingin Nadhifa tahu, ia aman bersamanya, dalam segala hal.
“Aku di sini,” bisiknya di telinga Nadhifa.
Nadhifa mengangguk, dan dengan itu mereka pun melanjutkan.
Dan di akhir malam, saat Nadhifa lemas dalam dekapannya dengan napas tenang, Renzo menyentuh liontin di lehernya dan memandanginya sekali lagi.
“Nadhifa,” batinnya, “mulai malam ini … kamu bukan sekadar istriku. Kamu adalah seluruh doaku yang menjadi nyata.”
Peluh masih melekat di kulit Renzo, tapi yang paling ia rasakan saat itu adalah keheningan. Bukan keheningan yang canggung, melainkan yang penuh makna.
Di sampingnya, Nadhifa terbaring setengah tertutup selimut. Rona merah masih menghiasi pipinya. Nadhifa tidak berani menatap langsung. Jemarinya sibuk bermain dengan liontin di lehernya, seolah mendadak lupa bagaimana caranya bersikap biasa.
Renzo memiringkan tubuhnya, satu tangannya menahan kepala, mendekat ke wajah sang istri.
“Nadhifa …,” bisiknya pelan, suaranya sengaja ia seret menjadi lebih berat. “Kalau dari caramu tadi … kamu kayaknya bukan pemula.”
Nadhifa menoleh cepat, wajahnya penuh protes. “Mas Renzo!”
Tawanya meledak pelan. Ia menerima pukulan kecil di lengannya. Lemah, tapi cukup membuatnya ingin menarik Nadhifa lebih dekat.
“Kenapa?” Renzo menyeringai. “Tadi kamu sendiri yang—”
“Berhenti!” Nadhifa menyembunyikan wajahnya di bantal. Tangannya mencoba menutupi telinganya, tapi Renzo lebih cepat.
Ia menggenggam jemarinya, menariknya pelan agar Nadhifa menatapnya. Tatapan itu masih malu-malu, tapi Renzo bisa melihat satu sudut kecil dari dirinya yang mulai terbiasa.
“Dengar ya,” katanya sambil mendekat, hidung mereka hampir bersentuhan. “Kamu istriku. Kamu nggak perlu malu-malu sama aku terus.”
Nadhifa mengerjapkan mata. Ada sedikit embun di sudut matanya. Mungkin karena terlalu banyak emosi yang bersilang malam ini. Renzo menjawabnya dengan mengecup ujung alisnya, lalu memeluknya erat.
“Aku sayang kamu,” ucapnya pelan, tepat di telinga Nadhifa.
Nadhifa mengangguk kecil dalam pelukannya. Suaranya hampir tak terdengar saat membalas, “aku juga.”