di khianati dan di bunuh oleh rekannya, membuat zephyrrion llewellyn harus ber transmigrasi ke dunia yang penuh dengan sihir. jiwa zephyrrion llewellyn masuk ke tubuh seorang pangeran ke empat yang di abaikan, dan di anggap lemah oleh keluarga, bangsawan dan masyarakat, bagaimana kehidupan zephyrrion setelah ber transmigrasi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ncimmie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Pagi masih segar ketika Valerian memasuki perpustakaan istana Phoniks. Ruangan luas itu dipenuhi aroma buku tua dan kayu manis dari lilin penyegar ruangan. Cahaya matahari masuk dari jendela tinggi, memantul pada rak-rak penuh kitab sihir, strategi, sejarah kerajaan, dan ilmu sihir tingkat tinggi.
Valerian melangkah dengan tenang menuju meja besar di tengah ruangan. Ia meletakkan buku catatannya, duduk, lalu membuka halaman pertama ujian yang tadi pagi dijelaskan Alaric.
Di hadapannya sudah menumpuk lima buku tebal:
— Silsilah keluarga kerajaan
— Dasar Strategi Tempur Kerajaan
— Teori Sihir Elemen Tingkat Menengah
— Taktik Militer dan Diplomasi
— Ilmu Alkimia Dasar–Lanjutan
Valerian menarik nafas. “Baik,” bisiknya, “Kalau ingin mengalahkan putra mahkota, aku harus melampaui apa pun yang pernah mereka pelajari.”
Ia mulai membaca cepat, matanya bergerak tajam dari satu halaman ke halaman berikutnya. Sesekali ia mengangkat tangan—api biru muncul di ujung jarinya, berubah bentuk menjadi diagram energi yang ia pelajari dari buku sihir. Setiap formula baru langsung ia coba.
Di waktu lain, ia mencoret catatan di bukunya:
‘Formasi pertempuran barisan cakar—lemah di flank kiri.’
‘Taktik negosiasi tingkat tinggi: pastikan lawan merasa menang.’
‘Elemen api biru tidak stabil—harus dilatih kesimbangan mana.’
Pustakawan tua yang berjaga di ujung ruangan memandangnya dengan mata terbelalak.
Anak 14 tahun yang membaca secepat itu… tidak wajar.
Valerian bangkit setelah satu jam, mengambil tiga buku tambahan dari rak paling tinggi. Tumpukannya semakin tinggi.
Alaric yang baru masuk tercengang melihat meja Valerian yang penuh buku.
“Pangeran… Anda ingin mempelajari semua ini dalam satu hari?”
Valerian menutup satu buku dan meraih yang lain tanpa berhenti.
“Ujian akademi tidak akan mudah. Jika aku ingin berada di puncak sejak hari pertama, aku harus tahu semuanya.”
Alaric menelan ludah. “Tapi… ini bahkan lebih banyak dari materi putra mahkota.”
“Justru itu.” Valerian membuka halaman baru. “Jika aku ingin masuk, aku harus menghancurkan standar yang mereka anggap tak bisa dilewati.”
Setengah pagi berlalu.
Valerian tidak bergerak dari tempatnya.
Hanya suara halaman buku yang terus berbalik dan suara pena mencatat.
Cahaya matahari makin masuk ke perpustakaan, menerangi rambut peraknya yang bersinar keemasan. Matanya fokus, tidak goyah sedikit pun.
“Akademi… aku akan membuat tempat itu mengingat namaku.”
Begitu bisiknya sebelum kembali menggali tumpukan materi tanpa henti.
Matahari mulai meninggi, sinarnya menembus halaman latihan istana Phoniks. Panas terasa menyengat, namun Valerian sama sekali tidak terpengaruh. Setelah dua jam berkutat di perpustakaan, ia kini berdiri di tengah arena latihan, rambut peraknya berkilau memantulkan cahaya, mata emasnya fokus menusuk titik kosong di depannya.
Ia mengangkat tangan kanan.
Mana di sekitarnya mulai berputar pelan.
WUSSS—
Api biru muncul, meliuk di telapak tangannya seperti makhluk hidup. Sihir itu berdesir liar, hampir seperti ingin meledak, tapi Valerian menahannya dengan tenang.
“Stabilkan inti mana… tahan… jangan biarkan meluber,” gumamnya.
Suhu halaman meningkat ketika api biru membesar menjadi bola api yang hampir setinggi kepala. Udara bergetar.
Namun Valerian melangkah mundur satu langkah, menarik napas panjang… dan menekan energinya.
BRAK!
Bola api tiba-tiba menyusut setengah, berubah padat, warnanya menjadi lebih pekat.
Pustakawan yang melihat dari jendela hampir menjatuhkan buku saking terkejutnya.
Valerian menatap bola api itu, wajahnya memerah bukan karena panas, tapi karena ia menahan fokus yang sangat besar.
“Masih belum cukup…”
Ia membuka kedua tangan.
Api biru terbelah menjadi dua, lalu tiga, lalu empat—semua melayang di udara, bentuknya stabil namun liar.
Keringat mulai menetes dari pelipis Valerian, tapi ia tidak menghentikan latihan. Matahari sudah menyengat keras, membuat tanah di bawahnya tampak beruap.
DARRR!!!
Empat bola api melesat ke empat arah, menghantam target kayu hingga meleleh sebagian. Aroma kayu terbakar memenuhi udara.
Valerian menurunkan tangan, dadanya naik turun, tapi matanya masih tajam.
“Panas sekali…” Alaric yang baru keluar membawa handuk langsung panik melihat kondisi halaman. “Pangeran! Anda tidak apa-apa?”
Valerian mengambil handuk itu seadanya, mengusap keringat tipis di dahinya.
“Aku baik-baik saja. Inti api biruku mulai stabil.”
“Pangeran, matahari terlalu terik. Anda harus istirahat sebentar,” ujar Alaric cemas.
Valerian menggeleng.
“Tidak. Ujian akademi juga akan menguji stamina dan kontrol. Aku harus menembus batas.”
Ia kembali mengangkat tangan. Mana berputar di sekelilingnya, kali ini lebih cepat.
WUSH— WUSH— WUSH—
Udara bergetar.
Di sekitar Valerian, lingkaran sihir terbentuk perlahan. Garis-garis biru terang muncul di tanah, membentuk pola phoenix bersayap.
Alaric menelan ludah. “Pangeran… jangan bilang Anda ingin—”
FWOOM!
Valerian melepaskan sihirnya.
Seekor phoenix api biru setinggi dua meter muncul, mengepakkan sayap dari api yang berderak. Panasnya membuat beberapa pelayan yang lewat langsung mundur ketakutan.
Burung itu mengepak perlahan, energinya stabil dan anggun, tidak liar seperti sebelumnya.
Valerian tersenyum kecil.
“Akhirnya… bentuknya sempurna.”
Begitu ia menurunkan tangan, phoenix itu menghilang perlahan menjadi percikan cahaya biru.
Valerian berdiri di tengah cahaya panas siang hari, tubuhnya tampak kecil namun aura kekuatannya membuat tanah dan udara seakan tunduk padanya.
Alaric mendekat pelan, matanya masih terbelalak.
“Pangeran… ini… sihir tingkat tinggi. Bahkan putra mahkota tidak—”
Valerian menyela pelan, mengambil buku catatannya.
“Itu sebabnya aku harus melampaui mereka, Alaric. Akademi tidak boleh menjadi tempat aku hanya masuk… tapi tempat aku mengguncang segalanya.”
Ia berjalan meninggalkan arena latihan, masih mengatur nafas namun terlihat puas.
“Sekarang… waktunya melatih teknik pedang.”
Matahari sudah benar-benar terik, membuat udara bergetar di atas tanah latihan. Setelah sihir phoenix birunya lenyap, Valerian tidak memberi dirinya waktu istirahat. Ia langsung mengambil pedang latihan yang terbuat dari baja ringan, mengibaskannya sekali untuk mengukur keseimbangan.
Alaric yang mengikuti dari belakang langsung panik.
“Pa—pangeran… anda baru saja menguras mana dalam jumlah besar. Anda harus istirahat!”
Valerian tidak menggubris.
Ia melangkah ke tengah arena, menarik kuda-kuda rendah.
SYUT—!!
Pedangnya bergerak cepat, membelah udara.
Gerakannya begitu presisi, setiap ayunan menghasilkan suara tajam seperti angin terpotong. Meski tubuhnya kecil, setiap gerakan memiliki kekuatan terfokus, memotong udara dengan efisiensi mengerikan.
Ia menurunkan tubuh, memutar pinggul, lalu—
BRAGGH!!
Pedangnya menghantam tiang kayu hingga kayunya terbelah retak.
Alaric terlonjak.
“Pangeran! Itu tiang yang baru diganti!”
Valerian tidak menjawab.
Keringat turun di rahangnya, tapi tatapannya fokus—dingin, terarah, seperti ia sedang membayangkan wajah musuhnya.
Ia menekuk lutut sedikit, lalu bergerak secepat kilat.
SYUT! SYUT! SYUT!
Ayunan, tusukan, potongan diagonal.
Setiap gerakan mulus seperti air tapi tajam seperti api. Tanah di sekitar kakinya berdebu, berputar karena tekanan mana yang ia alirkan sedikit ke pedangnya.
“Pangeran… tolong istirahat sebentar saja…” suara Alaric terdengar putus asa.
Valerian berhenti sejenak, meraih beberapa gulungan kertas berisi catatan strategi yang ia letakkan di pinggir arena, lalu melemparkannya ke kaki Alaric.
“Aku tidak boleh lemah. Dengan kekuatan ini, aku akan memaksa mereka melihat siapa aku sebenarnya.”
Matanya memerah oleh tekad.
“Jika aku ingin mengguncang akademi—dan kerajaan—aku harus sempurna.”
Ia kembali berlatih.
Kali ini gerakannya jauh lebih cepat, membuat bayangan-bayangan pedang muncul di udara. Debu terangkat membentuk pusaran kecil di bawah kakinya.
TARRR!
Tiang kayu kedua hancur sepenuhnya.
Alaric menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Haaa… nanti kepala istana marah lagi…”
Valerian menyelipkan pedangnya, napasnya berat tapi matanya berbinar.
“Kekuatan pedangku baru 30% dari targetku.”
“P-pangeran… anda mau jadi apa kalau 30% saja sudah begini…?”
Valerian menatap langit yang panas, namun senyumnya muncul pelan.
“Aku mau memastikan… mereka tidak akan pernah bisa menginjakku lagi.”
Angin panas berhembus melewati arena yang kini penuh debu, kayu pecah, dan bekas sihir terbakar.
Valerian berdiri di tengahnya—kecil, berumur 14 tahun, tapi aura penguasa sudah terasa jelas.
“Alaric,” panggil Valerian tanpa menoleh.
“Buatkan minuman dingin. Setelah itu, aku ingin memanggil Lyra dan Raven.”
Alaric langsung lari kecil.
“S-siapp!! Pangeran jangan latihan dulu ya! Tolooong istirahat sebentar!”
Valerian hanya tertawa tipis—dingin, namun entah kenapa tetap polos dalam caranya.