NovelToon NovelToon
TUMBAL TERAKHIR

TUMBAL TERAKHIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Horor / Iblis / Fantasi Timur
Popularitas:447
Nilai: 5
Nama Author: pena biru123

Ini adalah kisah wanita bernama Ratih, yang pulang dari merantau tiga tahun yang lalu, dia berniat ingin memberi kejutan pada neneknya yang tinggal disana, namun tanpa dia ketahui desa itu adalah awal dari kisah yang akan merubah seluruh hidup nya

bagaimana kisah selanjutnya, ayok kita baca

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pena biru123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 11

"Ini aneh," bisik Jaya, mencoba mengikat simpul di tenggorokannya yang terasa kaku. "Aku bahkan bisa mendengar detak jantungku sendiri."

" Tunggu, ini bukan jalan menuju desa tiga batu, ini jalan apa..?" Tanya Ratih pada Wijaya bingung.

" Ini adalah desa tiga batu waktu dulu, sebelum desa yang nenek mu tempati itu ada, ini adalah desa yang kau mimpikan itu" ucap Wijaya dingin, tapi sedikit lembut.

Tiba-tiba Ratih merasakan liontinnya berdenyut. Energi api di dalamnya gelisah. Ini bukan keheningan alami. Ini adalah keheningan yang dipaksakan.

Tiba-tiba, Dara tersentak. "Aku mencium sesuatu," katanya, matanya tajam. "Bukan bau busuk, tapi... bau kembang tujuh rupa yang kering dan darah."

Seolah merespons ucapan Dara, lorong itu menyajikan pemandangan yang membuat darah mereka membeku. Mereka tiba di sebuah altar batu kecil yang dihiasi lilin-lilin hitam yang sudah meleleh seluruhnya. Di atas altar, terdapat sesaji berupa buah-buahan busuk dan—yang paling mengerikan—sehelai kain merah yang robek, dihiasi pola sulaman yang sangat Ratih kenal.

"Itu..." Ratih terhuyung mundur. "Itu syal nenekku. Aku pernah melihatnya."

Wijaya segera menarik Ratih. "Jangan sentuh apa pun. Ini adalah jejak mantra Penjaga Kabut. Mereka tidak membunuh nenekmu di sini, tapi mereka mengambil kekuatan-nya di sini."

Saat Wijaya berbicara, lorong itu mulai bermain dengan pikiran mereka. Tiba-tiba, suara-suara aneh mulai berbisik dari dinding batu.

"Nyala api yang lemah..."

"Kau hanya pecahan... bukan keseluruhan..."

"Pengorbanan... adalah penebusan..."

Jaya mencengkeram kepalanya, matanya membelalak. "Aku mendengar suara orang menangis... itu suara ibuku. Dia memanggilku!"

Dara memejamkan mata, wajahnya pucat. "Jangan dengarkan, Jaya! Itu ilusi! Fokus pada belati di tanganmu!"

Ratih melihat ke samping. Wijaya tampak tidak terpengaruh, tetapi kulitnya yang biasanya dingin kini mengeluarkan uap tipis, seolah dia menahan tekanan besar.

"Ini ilusi pendengaran tingkat tinggi," jelas Wijaya. "Mereka menyerang titik lemah di jiwamu. Penjaga Kabut tidak hanya menguasai angin; mereka menguasai apa yang dibawanya: suara, keheningan, dan kebingungan."

Saat Ratih berjuang melawan bisikan yang menuduhnya sebagai kegagalan, matanya tertuju pada sebuah bayangan di ujung lorong—sesosok tubuh yang menggantung terbalik, bergerak perlahan karena angin yang tidak ada.

"Apa itu?" bisik Ratih, suaranya nyaris hilang.

Wijaya menoleh. Wajahnya mengeras. "Itu bukan mayat. Itu adalah Penjaga Bayangan yang gagal melindungimu. Mereka mengubahnya menjadi simbol."

Tiba-tiba, bayangan itu menoleh, memperlihatkan mata kosong dan mulut yang menganga. Dari mulut itu, alih-alih suara tangisan, keluarlah lolongan yang jauh lebih mengerikan—tawa sinis yang bergaung memecah keheningan.

GREG! GREG! GREG!

Di saat yang sama, Jaya berteriak dan ambruk, tangannya memegangi kakinya. "Kaki... kakiku diikat! Simpulnya! Simpulnya mengencang!" Di pergelangan kakinya, simpul tali panjat darurat yang ia buat kemarin tiba-tiba mengikat dengan kuat dan mencekik.

"Jaya!" Dara bergerak refleks, menarik belatinya untuk memotong tali.

"Tahan!" teriak Wijaya. "Itu juga ilusi! Jika kau potong, Jaya akan merasakan sakit yang sesungguhnya di tempat yang sama!"

Ratih melihat situasinya: Jaya sekarat karena ilusi simpulnya sendiri, dan mereka dikepung oleh bisikan yang merobek jiwa. Ia ingat kata-kata Wijaya: "Pisau bedah, Ratih. Bukan bom."

Ia menutup mata, mengabaikan bisikan dan lolongan. Ia membayangkan jari kakinya yang dicengkeram, lalu memfokuskan jiwa Api Merahnya ke satu titik—ke simpul tali yang tidak terlihat.

Sesaat kemudian, dari jari kakinya, bukan nyala api yang muncul, melainkan panas ekstrem yang tidak bercahaya. Panas itu menguap dan menyentuh simpul ilusi tersebut.

Pfft...

Jaya tersentak. Rasa sakitnya menghilang, berganti menjadi rasa gatal. Simpul ilusi itu hilang, dan Jaya langsung bangkit, terengah-engah.

Tawa di ujung lorong mereda. Keheningan kembali, kali ini lebih dingin.

"Kau membakar ilusi itu," puji Wijaya, singkat. "Ayo. Desa Tiga Batu ada di ujung lorong ini. Bersiaplah. Mereka tahu kita datang."

Mereka bergerak lagi, meninggalkan altar dan bayangan menggantung yang kembali sunyi. Setelah beberapa langkah, lorong itu terbuka ke lembah yang gelap. Di tengah lembah, tampaklah sebuah desa kuno, diselimuti kabut tebal dan dikelilingi tiga batu besar yang memancarkan cahaya redup—Desa Tiga Batu.

Di gerbang desa, tertancap tombak kayu tua. Di ujung tombak itu, tertancap selembar kertas lusuh, dengan tulisan tinta darah:

"Wadah sedang menunggu. Pengorbanan telah dibuat."

Ratih menatap Wijaya, wajahnya bertekad. "Nenekku ada di sana."

"Mungkin," jawab Wijaya, tangannya terangkat memberikan sinyal berhenti. "Tapi sekarang, bukan hanya Penjaga Kabut. Aku merasakan kehadiran lain. Sesuatu yang tua dan sangat lapar."

Mereka melangkah melewati gerbang. Jalanan desa kosong. Rumah-rumah beratap jerami tampak seperti mata kosong di dalam kabut. Begitu Ratih menginjakkan kaki di tanah desa, liontinnya bersinar terang, dan dia merasakan memori yang asing dan kuat membanjiri kepalanya. Itu adalah ingatan neneknya saat diserang.

Tiba-tiba, suara derit kayu terdengar dari sumur tua di tengah desa. Perlahan, sesosok tubuh naik dari sumur, basah kuyup, dengan pakaian compang-camping dan kulit seputih mayat. Matanya merah menyala. Itu bukan Penjaga Kabut. Itu adalah Penghuni Jurang, makhluk yang seharusnya hanya ada dalam dongeng horor.

Makhluk itu mendesis, "Api Merah... Bau darahmu sudah lama tidak tercium di sini."

Wijaya mendorong Ratih ke belakang. "Lari! Ini tugasku!"

"Tidak!" teriak Ratih. Ia menarik napas, memfokuskan jiwanya, dan untuk pertama kalinya, ia tidak memanggil api. Dia memanggil panas yang tidak terlihat, memfokuskan kekuatannya ke liontinnya.

Liontin itu bergetar hebat. Panas itu menyebar ke udara di sekitarnya, membuat kabut di Desa Tiga Batu mulai menguap. Penghuni Jurang itu menyipitkan matanya, seolah cahaya yang tidak ada itu menyakitinya.

"Dara! Jaya! Cari nenekku! Aku akan mengulur waktu!" perintah Ratih.

Dara mengangguk, menarik Jaya yang masih gemetar, dan mereka berdua berlari menuju salah satu rumah terbesar yang tampak seperti balai pertemuan.

Ratih berdiri di depan Wijaya, siap menghadapi kengerian yang baru.

Dengan kabut yang menipis, sosok Penghuni Jurang terlihat lebih jelas: kurus kering, dengan kuku panjang melengkung dan rambut hitam lepek menempel di wajah pucatnya. Matanya yang merah menatap Ratih dengan rasa lapar yang tak terbendung.

"Kau berani sekali, gadis kecil," desis makhluk itu, suaranya seperti batu yang digerinda. "Panasmu hanya akan membuatku lebih haus."

Wijaya maju selangkah, melindungi Ratih. "Kau tidak akan menyentuhnya. Jiwa Api Merah adalah milikku untuk dilindungi."

"Oh, sang Pelindung Jiwa," ejek Penghuni Jurang, "sudah berapa lama kau bersembunyi di balik bayangan? Sekarang, saatnya kau kembali ke jurang tempatmu berasal!"

Makhluk itu melesat, bergerak dengan kecepatan yang menipu penampilannya. Wijaya tidak gentar. Dia mengeluarkan dua belati pendek dari balik jubahnya, bilahnya memancarkan cahaya biru redup. Belati itu beradu dengan kuku Penghuni Jurang, menghasilkan percikan api dan suara dentingan logam.

Ratih merasakan energi panas dari liontinnya berdenyut. Dia tahu dia harus bertindak, tetapi bagaimana? Wijaya bertarung dengan sangat cepat, menangkis setiap serangan dengan presisi yang mematikan. Namun, Penghuni Jurang itu tampaknya kebal. Setiap luka kecil yang dibuat Wijaya segera menutup kembali.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!