Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.
Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.
Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.
Bab 19: Arena
“Semua kru udah siap,” kara Rahgav sambil menyender di tembok samping pintu belakang. Terdapat batang rokok yang baru dinyalakan terselip di antara jarinya.
Leonhard hanya mengangguk sambil menghisap rokok di tangannya. Asap rokok keluar dari mulutnya, mengepul tipis sebelum hilang di udara. Matanya menatap lurus lintasan yang sedang dipersiapkan oleh kru lain. Malam ini, dia terlihat lebih tenang, namun tetap waspada.
“Gua udah suruh mereka pasang CCTV tambahan di tikungan utara,” kara Raghav, menghembuskan asap rokok.
“Good. Gua gak mau denger laporan penyusup lewat tikungan utara lagi,” ujar Raghav, pandangannya masih terkunci pada lintasan seolah di otaknya memainkan skenario balapan nanti.
“Lo yakin buka arena malem ini? Terlalu mendadak untuk dapet keamanan ketat,” ucap Raghav sedikit khawatir dengan aksi yang akan berlangsung malam ini.
“A hundred percent sure. Gak perlu mikirin keamanan—semua udah gua urus. Kalo mau khawatir, mending khawatirin nasib lu di lintasan nanti,” ujar Leonhard sedikit mengejek Raghav. Dia melirik jam tangannya, masih dua puluh menit sebelum arena dibuka. Semuanya harus sinkron: timing pembalap, arus penonton, dan keamanan.
“Performa gua gak perlu lo raguin. Selama gua jadi tim balap di sini, pernahkah gua kalah?” jawab sini Raghav sambil menghisap rokoknya lagi.
Leonhard tertawa sarkas. “No. Tapi, lo hampir bikin keributan keluar dari arena ini,” ujar Leonhard, balik menatap tajam Raghav.
Raghav mengangkat bahunya. “It was a one time mistake.”
“Malam ini gua gak matok jumlah volunter balap. Just stop it once it gets too messy,” perintah Leonhard. Dia berjalan mendekat tenda kecil yang isinya jejeran motor balap, diikut dinge Raghav yang terkesiap.
“Wah… lo jadiin gua sapi perah malam ini?” tanyanya tidak percaya.
“Kenapa? Gak sanggup?” tanya Leonhard, tersnyum miring dan menantang. Raghav menatapnya dengan penuh semangat tertantang.
“Bayaran gua harus double kalo gitu,” pinta Raghav.
Leonhard mengeringai. “Okay. Selama uang taruhan masuk dan melebihi rekor sebelumnya, I don’t care.”
Raghav tertawa pendek. Dia menepuk bahu Leonhard sebagai tanda setuju.
Suara berlari kecil terdengar menghampiri Leonhard dan Raghav. Mereka menoleh ke arah suara, melihat Selina muncul dengan crop top hitam bermotif cherry, celana jeans, dan tambutnya diikat setengah. Tatapan Selina menyapu arena dengan rasa ingin tahu.
“Oh, shit! What is she doing in here,” gumam Raghav, dia menatap Leonhard.
“It’s fine. Dia sudab tau.”
Mata Raghav membesar seperti tidak percaya kalau Selina sudah tahu rahasianya.
“Well… hello?” sapa Selina dengan senyum manisnya.
Raghav menggaruk lengannya yang tidak gatal. “Gua gak salah liat kan? Anak kuliahan ngapain main di kandang singa?” celetuk Raghav, sambim membuang puntung rokok yang sudah mengecil.
Selina tertawa kecil. “Anak kuliah yang lagi butuh uang,” balasnya enteng sambil berjalan mendekat.
“So…gak ada yang mau jelasin ke gua?” tanya Raghav yang bingung kapan Selina bisa tahu tentang arena ini.
Selina mengangkat bahunya seolah tidak mau menjawab dan menatap Leonhard. Tatapan itu seperti tatapan melempar pertanyaan. Leonhard menghela nafas pelan, kakinya menginjak sisa rokok yang baru saja dia buang.
“Dia butuh shift tambahan, so I let her in.”
“Shift tambahan?” tanga Raghav masih penasaran.
Selina mengangguk setuju. Masih belum membuka mulut untuk mejelaskan.
“Kenapa gak tambahin di bar? I mean… lo cuma seminggu tiga kali, bisa aja ambil full seminggu.” Raghav menatap Selina, sekarang perlu jawaban langsung dari bibir gadis itu.
“Mungkin… gua gak sengaja nemuin tempat ini dan… tertarik?” jawab Selina, matanya kembali meyapu lintadan di depannya.
“Why didn’t I know this?” tanya Raghav sedikit terkejut.
“Di hari lo taruhan sama dua orang rusuh di bar,” ujar Leonhard datar. Matanya menatap Selina seakan kehadirannya bisa membuat kehebohan orang lama.
Raghav mengerutkan dahi, tampak berpikir. Saat memori itu muncul di kepalanya, dia langsung menyorot mata Selina.
“Jadi lo udah tau semua?” tanya Raghav, nadanya agak dingin dari biasanya. Selina berhasil masuk ke batas teritorial yang sangat dia jaga.
Selina memegang dagunya, mengetuk-ngetuk pelan dagu dengan jari telunjuk.
“Hmm… I don’t know…? Mungkin gua dapet hal baru di sini, iya kan?” jawab Selina menantang.
Raghav mengalihkan pandangannya, lalu menunjuk Leonhard.
“Lo ngebiarin trouble masuk ke arena ini,” katanya tajam. Leonhard tidak menatapnya, dia malah menatap langit malam yang sepi—tidak ada bintang atau bulan.
“Buka gua yang bawa,” sahut Leonhard tidak kalah dingin. Pandangannya beralih ke Selina. “Dia yang masuk sendiri.”
Ketegangan mulai terbentuk. Selina yang tidak mau kalah, Raghav yang kepo, dan Leonhard yang tetap tenang walaupun jelas badannya tetap waspada.
“Selina.” Leonhard memanggil nama itu, dari suaranya seperti ada aliran listrik yang menyengat diri Selina. Selina mengangguk pelan.
Leonhard melirik ke meja panjang di sisi kanan arena—tempat beberapa orang sudah mulai berbaris menunggu pengumuman kandidat taruhan.
“Karnea baru kali ini kamu handle arena, saya tugaskan kamu ngumpukin uang taruhan di meja itu. Catat semua yang masuk, jangan sampai ada miss. Kalau ada yang maksa main tanpa bayar, kasih kode ke security. Jangan coba-coba kamu handle sendiri—saya tahu watak kamu.”
Kalimat yang keluar barusan setengahnya terdengar seperti informasi penting, setengahnya seperti ancaman. Tapi, Selina fokus pada informasi baru itu, merasa punya tugas yang penting.
“Noted.” Terdengar antusias yang besar dari suara Selina.
“Setiap taruhan ditutup lima menit sebelum pertandingan mulai. Tetap waspada, karena banyak orang yang mungkin nyuri uang taruhan. Kalau ada selisih, tanggung jawab kamu,” jelas Leonhard.
Raghav bersiul pelan. “Berat juga tugas debutan.”
Leonhard mengabaikannya. “Kalau ada yang buat ribut di meja taruhan, langsung panggil saya. Jangan nekat.”
Selina mengangguk di setiap kalimat Leonhard. Dia bukan gadis lugu dan naif yang tidak menherti hal beginian.
“Ralax. Saya bisa handle.”
Leonhard menatapnya, memastikan dia benar-benar paham. “Good. Meja taruhan di sana. Catatan dan cash box sudah tersedia.”
“By the way, bos… ngomong santaj bisa kali—sama Raghav bisa kok sama saya gak bisa?” tambah Selina, kini nadanya mengejek.
Raghav mengeluarkan suara aneh dari mulunya—dia menahan ketawa. Leonhard menatapnya datar.
“Saya masih bos kamu,” katanya.
Selina mengerucutkan bibirnya, pura-pura ngambek. “Iya… iya… si paling bos.”
Raghav akhirnya mengeluarkan ketawa yang tadi ditahan. “Gila. Lo emang berani banget sama… si paling bos.”
Leonhard menatapnya sinis. “Say whatever you like if you don’t want your payment anymore.”
“Woah… chill. Relax. I was kidding. Nothing serious,” ujar Raghav sedikit panik tidak dapat bayaran.
“Selina. Buka taruhan di $250, kalau ada yang mau naikin, silahkan—tapi, jangan sampai terima dibawah itu,” perintah Leonhard. Selina melakukan gaya hormat pada Leonhard.
Tidak lama dari itu, suara kerumunan perlahan mulai terdengar. Pelanggan di bar satu persatu memasuk arena dan menuju meja panjang itu. Selina pamit untuk melakukan tugasnya, Raghav berlari kecil ke tenda motor untuk mengecek motornya, dan Leonhard terlihat sibuk dengan ponselnya.
Kru motor mulai memanaskan motor-motor yang akan dipakai untuk balapan. Raghav berlari kecil ke arah podium untuk membuka acara.
“Ladies and gentlemen! Welcome back to the arena!” teriaknya, disambut teriakan liar dari oara penonton. “Malam ini, gua akan turun ke lintasan! Yang punya nyali, kalian semua boleh maju!” tambahnya.
Selina menperhatikan Raghav yang sangat percaya diri itu. Dia sudah merasakan adrenalin mengalir di darahnya. Penasaran apa yang akan dia temukan malam ini.