Dieksekusi oleh suamiku sendiri, Marquess Tyran, aku mendapat kesempatan untuk kembali ke masa lalu.
Kali ini, aku tidak akan menjadi korban. Aku akan menghancurkan semua orang yang telah mengkhianatiku dan merebut kembali semua yang menjadi milikku.
Di sisiku ada Duke Raymond yang tulus, namun bayangan Marquess yang kejam terus menghantuiku dengan obsesi yang tak kumengerti. Lihat saja, permainan ini sekarang menjadi milikku!
Tapi... siapa dua hantu anak kecil itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlackMail, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 : Vonis Mati
Aku memaksakan tubuhku untuk pulih selama empat hari berikutnya di Silverwood. Setiap suapan makanan adalah bahan bakar. Setiap jam tidur adalah waktu untuk menyusun strategi.
Aku tidak bisa hanya berbaring di sini, atau semua yang telah aku siapkan akan sia-sia.
Mawar yang diawetkan dalam kristal dari Duke Raymond kuletakkan di meja samping tempat tidur, sebuah pengingat akan kehangatan yang rapuh di tengah dunia yang mulai membeku.
Pada hari keempat, tubuhku cukup pulih untuk beraktifitas, aku pun memutuskan kalau sudah waktunya untuk pulang.
"Tapi Nona, tabib bilang Anda butuh setidaknya dua minggu lagi!" protes Lila saat aku mengenakan pakaian berkudaku yang kokoh, bukan gaun sutra yang lembut. Suaranya dipenuhi kecemasan yang tulus.
Aku menatap pantulanku di cermin. Wajahku masih pucat, dan ada lingkaran hitam di bawah mataku yang tidak bisa disembunyikan. Tapi tatapanku tajam. "Kediaman Hartwin tidak punya waktu dua minggu, Lila," jawabku, mengencangkan ikat pinggangku di mana belati Cedric tergantung. "Dan aku juga tidak."
Perjalanan kembali ke kediaman Hartwin adalah sebuah kontras yang tajam. Semakin jauh kami dari Atika, semakin sedikit salju aneh yang turun.
Namun, jejak perang terlihat di mana-mana. Jalanan dipenuhi oleh para pengungsi yang berjalan ke utara dengan tatapan kosong, dan pos-pos militer dan medis yang didirikan di setiap persimpangan jalan memancarkan aura ketegangan.
Saat kereta kuda kami yang berbendera rusa memasuki wilayah County Hartwin, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Di kota pertama yang kami lewati, orang-orang mulai keluar dari rumah mereka. Para petani, perajin, para ibu yang menggendong anak-anak mereka. Awalnya mereka hanya menatap, lalu seseorang mengenali lambang di kereta kami.
"Itu... itu bendera Hartwin!"
"Nona Mawar Besi! Nona Elira telah kembali!"
"Pahlawan kita, Nona Hartwin!"
"Pahlawan Selatan!"
Sorakan mulai terdengar, awalnya pelan, lalu semakin keras seperti gelombang pasang. Orang-orang berlari di samping kereta kami, melambaikan tangan, beberapa melemparkan bunga-bunga liar ke jalan.
Mereka tidak meneriakkan namaku dengan hormat yang kaku. Mereka meneriakkannya dengan kehangatan dan rasa terima kasih... sepertinya cukup tulus.
Aku membuka tirai jendela dan menatap wajah-wajah mereka. Wajah-wajah yang sama lelahnya dengan para pengungsi, tetapi di mata mereka ada secercah harapan. Harapan yang, entah bagaimana, telah kuberikan pada mereka.
Tiba-tiba, pemandangan itu tumpang tindih dengan ingatan lain. Ingatan yang menusuk. Wajah-wajah yang sama, atau mungkin berbeda, yang melemparku dengan batu, meludahiku, dan meneriakkan "Pembunuh!" saat aku diseret ke panggung eksekusi.
Kontras itu begitu tajam, begitu menyakitkan, hingga membuat napasku tercekat.
Dulu aku mati dicerca oleh rakyat. Hari ini, di kehidupan keduaku, aku disambut sebagai pahlawan oleh mereka.
Bukan batu... tapi bunga mawar...
Sebuah perasaan aneh yang bergetar menghangatkan dadaku. Perasaan yang lebih kuat dari kemenangan, lebih memuaskan dari kekuasaan.
Ini adalah... tanggung jawab. Dan untuk pertama kalinya, beban itu tidak terasa berat. Justru, itu memberiku kekuatan. Semangatku yang tadinya rapuh, kini bangkit kembali, ditempa oleh sorakan mereka.
Jangan khawatir... Musim dingin panjang tahun ini... aku berjanji tidak akan membuat kalian sampai kelaparan...
Aku menutup tirai jendela, tetapi sorak-sorai itu masih bergema di kepalaku. Jari-jariku, yang tadi gemetar, kini mengepal erat di atas lutut. Ya. Inilah yang kuperjuangkan.
"Lila, perintahkan kusir untuk mempercepat laju kereta!"
***
Sambutan di kediaman Hartwin lebih sunyi, tetapi tidak kalah emosional.
Para pelayan dan staf berbaris di aula utama, menundukkan kepala mereka lebih rendah dari biasanya. Di mata mereka, aku melihat rasa hormat yang baru, yang lahir bukan karena garis keturunan, tetapi karena tindakanku.
Aku berhasil.
Semua perjuangan itu tidak sia-sia.
Count menungguku di puncak tangga. Dia tampak lebih tua, tetapi tatapannya lebih jernih. Dia hanya mengangguk pelan. "Selamat datang kembali, Elira." Tidak ada lagi amarah. Hanya kepasrahan dan mungkin, secercah kebanggaan yang enggan.
Ada koper di tangannya. Dia sepertinya hendak keluar untuk mengurus sesuatu. Saat dia melewatiku, dia berbisik, "Terimakasih sudah pulang dengan selamat."
Dia masih peduli.
Setidaknya sedikit.
Atau itu batas terendah bagi orang dengan harga diri akan keyakinan yang tinggi?
Entahlah. Aku tidak perlu memikirkannya terlalu rumit. Aku harus segera bekerja.
Keesokan paginya, aku sudah berada di ruang dewan, yang kini terasa seperti wilayah pribadiku.
Aku memanggil semua manajer senior. Aku menyapu pandanganku ke sekeliling ruangan. Wajah-wajah yang dulu memandangku dengan skeptis sekarang terpancar ketegangan. Beberapa bahkan duduk sedikit lebih tegak, matanya berbinar.
Apa itu antisipasi? Atau ketakutan akan apa yang akan kukatakan selanjutnya?
"Selamat pagi, Tuan-tuan," kataku, suaraku tenang dan bergema di ruangan yang sunyi. Aku melirik tumpukan perkamen di depan mereka. "Saya lihat Anda semua sudah bekerja keras. Saya menghargai itu."
Mereka tampak sedikit rileks mendengar pujianku.
"Berita tentang bencana Latona telah membuka mata kita semua," lanjutku. "Dan sekarang, bencana yang lebih besar sedang membayangi kita. Bencana Atika. Ini adalah momen krisis, tapi bagi mereka yang siap, krisis adalah nama lain dari kesempatan. Sayangnya kita punya modal dan sumberdaya untuk itu."
Sir Aldric, kepala divisi perdagangan, berdiri. Dia tampak bersemangat, jelas telah mempersiapkan ini. "Tepat sekali, Nona Elira. Saya telah menyusun strategi awal." Dia membentangkan sebuah peta wilayah selatan kemudian menandai Atika dengan silang merah.
Dia menjelaskan dengan rinci perkiraan dampak ekonomi, potensi jatuhnya harga aset, dan bagaimana lumbung pangan Hartwin bisa dimanfaatkan untuk mengakuisisi aset-aset tersebut dengan harga murah.
Strateginya bagus, logis, dan benar-benar salah.
Itu adalah strategi yang didasarkan pada asumsi bahwa bencana ini bersifat sementara. Dia, seperti bangsawan lainnya, berpikir es itu akan mencair dalam beberapa bulan atau tahun.
Sayangnya, meski seluruh penyihir api di kekaisaran sudah dikumpulkan, mereka gagal membersihkan Atika.
Aku membiarkannya selesai, mendengarkan dengan seksama setiap detail rencananya. Para manajer lain mengangguk setuju, tampak terkesan dengan analisis Sir Aldric.
Setelah dia selesai, keheningan menyelimuti ruangan. Sir Aldric menatapku, wajahnya seperti penuh harap, seolah menantikan persetujuanku. Sayangnya aku harus menghancurkan harapannya.
"Kerja bagus, Sir Aldric,"kataku. Aku melihat bahunya yang tegang sedikit merileks. Seorang manajer lain bahkan tersenyum. "Anda telah menyusun sebuah rencana yang solid berdasarkan semua informasi yang tersedia untuk umum."
Aku berjalan perlahan ke depan peta, membiarkan keheningan yang penuh harap itu menggantung. Lalu, aku berbalik.
"Dan itulah mengapa,"ucapku, memastikan tatapanku bertemu dengan setiap orang di ruangan itu, "Rencana ini adalah hal paling berbahaya yang bisa kita lakukan."
Wajah Aldric bukan hanya jatuh; itu berkerut dalam kebingungan yang nyaris memalukan.
"Rencana Anda, adalah persis seperti apa yang akan dipikirkan dan dilakukan oleh setiap keluarga bangsawan lain yang cukup pintar dan punya modal besar. Ini akan membuat kita bersaing langsung dengan mereka untuk remah-remah kue yang sama. Keluarga Hartwin tidak lagi memakan remah-remah. Kita akan mengambil seluruh kuenya. Ingat itu!"
"Akan kami ingat, Nona!"
"Bagus!" Aku mengambil pena tinta merah dari meja. "Lalu, ada satu informasi krusial yang tidak kalian miliki, yang kudapatkan langsung dari medan perang. Informasi yang akan mengubah rencana strategis ini secara keseluruhan."
Semua mata tertuju padaku. Ruangan itu begitu sunyi hingga aku bisa mendengar suara detak jantungku sendiri.
"Pemulihan Atika," kataku pelan, suaraku terdengar seperti vonis mati. "Tidak akan pernah terjadi."