Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
"Bi, keluarkan kertas yang diberikan kang Sumar dan lihat apa semua ini sudah sesuai dengan barang-barang yang hilang itu?" titah Wulan kepada Bi Sumi.
Mendengar itu ketegangan kembali mereka rasakan, terlebih Sari yang mencuri lebih banyak barang-barang milik Wulan. Istri juragan Nata itu tersenyum melihat wajah ketiganya yang semakin pucat pasi.
"Baik, Nyai!"
Bi Sumi mengeluarkan kertas dari selipan pinggangnya, mencocokkan barang-barang yang mereka ambil dan yang hilang dari kotak pribadi milik Wulan.
"Ini belum semuanya, Nyai," ucap Bi Sumi.
Ketiga manusia yang sudah tak berdaya itu membelalak. Rasa takut jelas terpancar di wajah mereka, dan rasa malu lebih mendominasi.
"Oh?" Wulan membulatkan bibir, menatap mereka bertiga yang terdiam dalam cemas.
"Apa saja yang belum ada, Bi? Sebutkan!" titah Wulan lagi terus menambah ketegangan.
Keadaan semakin mencekam, membuat mereka tak bisa berkutik.
"Sial, aku lupa kalau masih ada kertas itu." Patma menggeram pelan.
"Bu!" Sari berbisik pelan, meremas pergelangan tangan Patma dengan cemas.
"Kain brukat, tas dan sepatu yang terbuat dari kulit khusus dikerjakan oleh pengrajin terbaik di dusun ini. Mutiara merah delima, dan sejumlah uang yang juga turut hilang dari kotak yang dibawa Nyai," jawab Bi Sumi seraya melipat kertas tersebut dan menyimpannya kembali.
"Kalian sudah mendengarnya. Sekarang, apa kalian ingin menyerahkannya sendiri atau perlu penduduk yang menggeledah rumah kalian. Saya rasa tidak akan ada orang yang membela kalian," ucap Wulan menatap ketiganya dengan tatapan tajam dan dingin meski senyum tersemat di bibir.
"Bu!" Sari semakin ketakutan, jika penduduk tahu maka sulit baginya untuk menikah kelak. Apalagi gosip di dusun lebih cepat menyebar dari mulut ke mulut.
"Wulan, itu semua barang-barang tidak berharga. Sudahlah ikhlaskan saja untuk ibu dan adikmu," pinta Asep dengan suara serak dan lemah.
Wulan mengernyit, mengangkat sebelah alisnya mendengar ucapan Asep. Begitu pula dengan Bi Sumi, semakin tidak senang melihat sikap pilih kasih Asep.
"Tidak berharga? Kalian menganggap barang-barang pemberian juragan itu tidak berharga? Ck-ck-ck!" Wulan berdecak sembari menggelengkan kepala.
"Bi, sebutkan apa saja barang-barang yang mereka anggap tidak berharga itu!" Wulan mulai geram, tak ada lagi senyuman.
"Kain brokat adalah juragan sendiri yang membelinya langsung dari kota. Tas dan sepatu, dibuat khusus dari kulit hewan terbaik untuk Nyai Wulan sebelum menikah. Batu merah delima juragan harus membayar dengan nyawa saat mendapatkannya. Jangan lupa sejumlah uang yang tidak sedikit. Bagaimana mungkin dikatakan tidak berharga?" ungkap Bi Sumi membuat dada Asep semakin sesak.
"Semua barang yang diberikan juragan kepada Nyai Wulan memiliki tanda khusus yang sudah menyebar ke seluruh pelosok dusun. Jika kalian menjualnya atau membelanjakannya maka semua orang akan tahu itu adalah barang curian!" lanjut Bi Sumi terus terang.
Ketiga manusia serakah itu membuka mulut lebar-lebar karena terkejut. Tubuh mereka bergetar, apa yang akan terjadi setelah barang-barang itu keluar?
Sial! Saya sudah membelanjakan sebagian uang itu. Pantas saja mereka terlihat aneh saat melihat uang yang saya berikan.
Patma dilanda rasa takut, begitu juga Sari yang sempat menyombongkan barang berharga milik Wulan kepada tetangga. Mereka memang memuji, tapi ekspresi wajah mereka lebih seperti mengejek. Sari baru menyadarinya.
"Nyai, karena mereka tidak ingin mengembalikan barang-barang itu maka saya akan pergi ke rumah tetua adat dan memanggilnya untuk datang ke sini. Kita tidak bisa bertindak sembarangan, tapi jika ada tetua adat semua itu bisa kembali kepada kita," ucap Bi Sumi seraya berpamitan hendak pergi.
"Tu-tunggu!" Patma mencegah, tapi Sari enggan beranjak, dan Asep tak tahu harus melakukan apa.
"Tidak perlu pergi, Bi. Melihat ekspresi mereka, tetua adat pasti akan segera datang ke sini." Wulan mencibirkan senyum, sedangkan Patma dan Sari membeliak nyaris pingsan.
Apa yang akan terjadi pada mereka?
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa