Aruna pernah memiliki segalanya — cinta, sahabat, dan kehidupan yang ia kira sempurna.
Namun segalanya hancur pada malam ketika Andrian, pria yang ia cintai sepenuh hati, menusukkan pisau ke dadanya… sementara Naya, sahabat yang ia percaya, hanya tersenyum puas di balik pengkhianatan itu.
Kematian seharusnya menjadi akhir. Tapi ketika Aruna membuka mata, ia justru terbangun tiga tahun sebelum kematiannya — di saat semuanya belum terjadi. Dunia yang sama, orang-orang yang sama, tapi kali ini hatinya berbeda.
Ia bersumpah: tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan mempercayai siapa pun lagi.
Namun takdir mempermainkannya ketika ia diminta menjadi istri seorang pria yang sedang koma — Leo Adikara, pewaris keluarga ternama yang hidupnya menggantung di antara hidup dan mati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Novia na1806, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 28 -- obsessed or love??
Ruangan itu sunyi. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar, pelan tapi menghantui. Cahaya dari layar komputer menyinari sebagian wajah seorang pria yang duduk di kursi kulit, tubuhnya rileks tapi matanya menatap tajam seolah bisa menembus layar itu.
Di sana, terlihat wajah Aruna — senyum lembutnya, tawa canggungnya saat menyuguhkan teh, gerak matanya yang penuh sopan santun.
Wajah itu seolah menjadi pusat perhatian dunia kecil miliknya malam ini.
Dia menatap lama, jemarinya mengetuk pelan meja di depannya. Satu, dua, tiga kali. Setiap ketukan disertai dengan pikiran yang melintas tajam, seperti pisau yang diasah tanpa suara.
Menarik, katanya pelan.
Nada suaranya begitu tenang, tapi di ujung bibirnya terselip senyum tipis yang sulit ditebak maknanya.
Ia mencondongkan tubuh, memperhatikan ekspresi Aruna di layar yang tertawa bersama keluarga Adikara.
Polos, lembut, tapi matanya… tidak seperti dulu.
Kau menyimpan sesuatu, kan?
Matanya menatap dalam, seolah berbicara pada sosok di layar. Kau bukan perempuan yang sama. Bukan yang mudah dikendalikan. Tapi justru itu yang membuatmu lebih berharga.
Ia bersandar ke kursi, menutup sebagian wajahnya dengan tangan. Pikirannya bergerak cepat, teratur, seperti papan catur yang sudah disusun sejak lama.
Catur. Permainan kesabaran, strategi, dan pengorbanan.
Dan kali ini, Aruna bukan ratu yang perlu dilindungi.
Dia adalah bidak utama yang akan membuka jalan menuju kehancuran keluarga Adikara—jika dimainkan dengan benar.
Namun untuk menjatuhkan bidak, kadang perlu menyentuh hatinya dulu.
Senyum itu kembali muncul. Dingin. Menggoda. Penuh keyakinan.
Kau pikir kau sedang membangun kekuatan, Aruna.
Padahal yang sebenarnya terjadi, kau sedang berjalan menuju panggungku.
Ia memejamkan mata sebentar, menikmati rasa puas yang perlahan muncul di dadanya. Baginya, tidak ada yang lebih indah daripada mengatur seseorang tanpa mereka sadari.
Menyentuh titik rapuh mereka, menggoyahkan kepercayaan, dan menunggu semuanya runtuh perlahan—tanpa darah, tanpa suara.
Tapi dalam pikirannya, satu nama berputar pelan.
Liam Adikara.
Ia tersenyum kecil.
Tentu saja, permainan ini akan lebih menarik denganmu di dalamnya. Mari lihat, siapa yang lebih dulu kehilangan kendali.
Ia menatap layar sekali lagi, lalu mematikan semua lampu. Ruangan tenggelam dalam gelap, hanya tersisa bayangan samar di kursi, dan senyum yang masih menggantung di udara.
...----------------...
“Huufff… akhirnya bisa rebahan juga!”
Aruna menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur besar di kamar tamu rumah Adikara. Suaranya menggaung pelan di ruangan elegan itu. Kasurnya terlalu empuk, terlalu harum, dan entah kenapa… terlalu bikin malas bangun.
Ia menggeliat ke kanan, lalu ke kiri, sambil mendesah puas.
“Ya ampun… hari ini gila banget. Dari tawa, teh madu lemon, sampai jam antik yang kayaknya punya nyawa sendiri… siapa pun yang bikin naskah hidupku, tolong kasih jeda lima menit aja buat napas.”
Ia menatap langit-langit, mengangkat tangan seperti sedang berpidato.
“Aku tuh cuma perempuan normal yang pengen hidup damai. Tapi ternyata hidupku kayak sinetron campur film misteri!”
Senyumnya muncul di ujung bibir, tapi matanya tampak lelah. Ia memejamkan mata sebentar, mengingat kembali momen tadi — suara pintu berderit, jam tua yang jarumnya bergerak mundur, dan… rasa dingin di tengkuknya yang masih belum hilang.
“Angin katanya…” gumamnya pelan, meniru suara lembut Ny. Clarissa.
Ia membuka matanya dan menatap ke arah balkon. Tirainya bergoyang sedikit, pelan sekali, seperti disentuh sesuatu.
Aruna menegakkan badan. “Angin lagi, nih? Kalau tiap angin lewat bikin jantungku hampir copot, mending aku beli kipas aja deh.”
Ia menepuk pipinya, mencoba menenangkan diri.
“Aruna Surya… kamu tuh istri seorang tuan muda adikara, bukan anak TK. Tenang. Ini rumah orang kaya, sistem keamanannya pasti ribuan lapis.”
Ia berjalan ke meja, mengambil cermin kecil dan memandang wajahnya.
“Eh tapi bener deh, kenapa tadi jam itu kayak nyala sendiri ya? Apa rumahnya beneran angker?”
Ia langsung menepuk mulutnya sendiri. “Aduh, jangan ngomong begitu! Nanti beneran muncul!”
Mata Aruna melebar saat mendengar suara kecil dari balkon — suara seperti gesekan lembut. Ia menoleh perlahan.
“...Halo? Ada siapa di sana?”
Sunyi. Hanya cahaya bulan yang menyelinap masuk.
Aruna menghela napas lega, lalu menatap dirinya di cermin lagi.
“Udah, cukup drama horor malam ini. Sekarang waktunya tidur cantik. Biar besok kalau ketemu Tuan Darius nggak dikira cucu hilang dari kebun belakang.”
Ia kembali ke kasur, menarik selimut sampai ke dagu, tapi tetap bergumam sendiri.
“Tapi… kalau Liam beneran lagi nggak stabil, apa aku harus jenguk? Cuma lihat sebentar gitu. Hehe… bukan karena kangen ya, tapi biar nggak dibilang menantu nggak perhatian.”
Ia menutup mata, tapi senyum kecil tak bisa ia sembunyikan.
“Cuma… lihat sebentar aja, kan nggak dosa.”
Beberapa detik keheningan. Lalu perutnya berbunyi.
“Ya ampun, lapar lagi. Ini beneran kutukan perempuan stress kayaknya.”
Aruna akhirnya tertidur sambil memeluk bantal, wajahnya masih sedikit tersenyum, rambut berantakan menutupi sebagian pipinya. Di luar, bulan tampak lebih terang dari biasanya.
Udara di taman belakang terasa lembap. Bau tanah basah bercampur dengan wangi bunga malam.
Seorang pria berdiri di bawah pohon besar, mengenakan setengah topeng hitam dengan garis emas yang menutupi sebagian wajahnya. Matanya menatap ke arah jendela kamar di lantai dua.
Dari jendela itu, cahaya lembut terlihat temaram. Ia bisa melihat siluet Aruna yang baru saja tertidur, selimut menutupi tubuh mungilnya.
“Dia masih belum tahu, ya,” suara tenang Darren terdengar melalui alat komunikasi kecil di telinganya.
Leo tidak menjawab. Tatapannya tetap pada jendela itu. Setiap detik terasa lama. Setiap helaan napas mengandung sesuatu yang tidak ia pahami — campuran lega dan kekhawatiran yang ia sembunyikan rapat-rapat.
“Laporan dari tim penjaga sudah masuk,” lanjut Darren. “Area perbatasan aman. Tapi sistem keamanan keluarga kita mendeteksi sinyal asing tadi sore. Kemungkinan, seseorang mencoba menembus jaringan.”
Masih tidak ada jawaban. Hanya suara lembut angin yang berhembus di antara ranting.
Leo akhirnya berkata pelan, suaranya rendah dan berat.
“Teruskan pantauan. Jangan biarkan siapa pun mendekat ke rumah ini tanpa izinku.”
“Baik, Tuan.”
Darren terdiam sejenak sebelum menambahkan dengan nada lebih hati-hati, “Anda… yakin tidak ingin menemui Nyonya Aruna? Dia terlihat sangat kelelahan hari ini.”
Leo menutup matanya sebentar.
Bayangan Aruna menunduk sopan di ruang tamu, tawa kecilnya saat berbicara, dan ekspresi gugupnya ketika jam tua bergerak — semua berkelebat cepat dalam pikirannya.
“Belum saatnya,” katanya akhirnya.
Nada suaranya tenang, tapi ada sesuatu di baliknya — seperti luka lama yang belum sembuh.
“Jika aku muncul sekarang, dia akan curiga. Biarkan dia merasa aman dulu. Baru setelah itu, aku tunjukkan siapa sebenarnya yang selama ini menjaganya.”
Ia berbalik, melangkah meninggalkan taman. Sepatunya menapak pelan di tanah lembap, setiap langkah penuh perhitungan. Namun sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sekali lagi ke arah jendela kamar.
Di balik tirai putih, Aruna menggeliat kecil dalam tidurnya, seolah merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Leo menatap lama, lalu berbisik nyaris tanpa suara,
“Tidurlah tenang, Aruna. Dunia di sekelilingmu tidak seindah yang kau pikir.”
Dan malam pun menelan kepergiannya.
Taman kembali sunyi. Hanya hembusan angin yang tersisa, membawa bayangan samar yang seolah masih menatap jendela tempat Aruna tertidur.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hellowww pada cinta ku😙
Maaf ya baru bisa up sekarang,dan maaf bikin kalian nunggu lama. karna beberapa hri ada kendala,peluk jauh untuk kalian yang masih setia nunggu up🥺🫂
..kok bisa menggerakkan orang2...