NovelToon NovelToon
Sengketa Di Balik Digital

Sengketa Di Balik Digital

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Balas Dendam / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Wanita Karir / Romansa
Popularitas:483
Nilai: 5
Nama Author: Black _Pen2024

Di tengah duka yang belum usai, tahta digital Sasha mulai retak. Kematian sang kekasih, Bara, yang seharusnya menjadi akhir dari sebuah cerita cinta, justru menjadi awal dari mimpi buruknya. Sebagai CEO tunggal super-aplikasi raksasa Digital Raya, ia tak punya waktu untuk meratap. Dari ruang rapat yang dingin, keluarga yang seharusnya menjadi pelindung kini menjelma menjadi predator, mengincar mahakarya yang mereka bangun bersama.

Namun, ancaman tidak hanya datang dari dalam. Saat serangan siber global mengoyak benteng pertahanan DigiRaya, Sasha terpaksa bersekutu dengan sosok yang paling ia hindari: Zega, seorang peretas jenius yang sinis dan memandang dunianya dengan penuh kebencian. Aliansi penuh percik api ini menyeret mereka ke dalam labirin digital yang gelap.

Di antara barisan kode dan serangan tak kasat mata, Sasha menemukan sesuatu yang lebih mengerikan: serpihan kebenaran yang sengaja ditinggalkan Bara. Sebuah bisikan dari balik kubur yang mengisyaratkan rahasia kematiannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Bab 22

Suara ledakan itu bukanlah bom, tetapi lebih mirip raungan keras dari baja yang dirobek paksa. Flashbang. Atau mungkin peledak kecil untuk membobol kunci. Sasha, yang baru saja dilemparkan Risa ke balik tumpukan jaring ikan yang berbau amis, merasakan telinganya berdenging dan debu tua menghujani mereka. Udara di gudang penyimpanan yang pengap itu langsung dipenuhi dengan bau mesiu dan ketegangan.

“Mereka datang dari pintu belakang!” Risa berbisik, mengambil posisi di balik karung beras yang sudah berjamur. Busurnya sudah siap, anak panah diarahkan ke pintu yang baru saja runtuh.

Sasha berusaha menenangkan napasnya. Lututnya masih berdenyut sakit karena hantaman batu sebelumnya. Ia meraih ranselnya, memeluk laptop Bara erat-erat. “Berapa banyak?”

“Tiga. Perlengkapan lengkap,” jawab Risa, matanya tajam. “Jangan bergerak. Mereka akan mengira gudang ini kosong.”

Tiga bayangan gelap, mengenakan kacamata taktis malam yang memantulkan cahaya redup dari celah atap, memasuki gudang. Mereka bergerak dengan efisiensi yang mengerikan, menyisir lorong demi lorong di antara tumpukan barang-barang maritim yang tidak terpakai.

“Area A bersih,” terdengar suara serak dari komunikasi radio. “Target pasti ada di sini. Cari indikasi fisik. Dia tidak mungkin menghilang ke udara tipis.”

Saat salah satu tentara bayaran itu bergerak melewati celah di antara rak-rak, pandangan matanya berhenti pada jejak lumpur basah yang ditinggalkan Sasha. Ia berjongkok, menyentuh lumpur itu, dan tersenyum sinis.

“Ketemu,” bisiknya. Ia memberi isyarat kepada rekannya. Mereka mulai mendekat perlahan ke arah persembunyian Sasha dan Risa.

Risa menarik napas, siap melepaskan panahnya. Namun, Sasha meraih tangannya. “Jangan. Panahmu akan membunuh satu, tapi dua lainnya akan menembak kita mati. Mereka mau laptop ini.”

Sasha melihat ke atas. Tepat di atas tiga tentara bayaran itu, ada rak kayu tua yang menahan tumpukan ember besi berkarat. Ia tidak perlu menembak mereka; ia hanya perlu menciptakan kekacauan.

Sasha melepaskan genggaman Risa, mengambil napas dalam-dalam, dan melompat keluar dari persembunyiannya. “Hei! Cari ini!” teriaknya, mengalihkan perhatian.

Ketiga tentara bayaran itu segera mengarahkan senjata mereka ke arahnya. Ini adalah pertarungan yang tidak adil. Sasha, seorang CEO berlumuran lumpur, melawan tiga profesional bersenjata lengkap.

“Jangan tembak! Amankan target!” perintah pemimpin tim.

Saat tentara bayaran itu melangkah maju, Sasha menendang salah satu tiang penyangga rak dengan kekuatan penuh, memanfaatkan dorongan adrenalinnya. Rak itu berderak, dan ratusan kilogram ember besi tua, jaring, dan kayu lapuk runtuh menimpa kepala mereka dengan suara gemuruh yang memekakkan.

Dua tentara bayaran terjatuh, terlindungi oleh helm mereka, tetapi tertindih oleh puing-puing. Yang ketiga, yang berada sedikit di luar jangkauan, mengangkat senjatanya ke arah Sasha.

Namun, sebelum ia sempat menarik pelatuk, sebuah panah kayu melesat dari kegelapan, menghantam lengan penembak itu dengan presisi mematikan. Pria itu menjerit, senjatanya terlepas.

Risa sudah pindah posisi, busurnya ditarik untuk tembakan kedua. Sasha menggunakan kesempatan itu untuk berlari ke sisi gudang yang berlawanan, di mana ia melihat pintu kayu kecil yang tersembunyi di balik karung goni.

Tiba-tiba, teriakan lain terdengar, kali ini bukan dari para pengejar, melainkan dari luar. “Sasha! Tetap di dalam!”

Itu adalah suara Zega.

Zega, mengenakan kemeja gelap dan celana kargo, berlari ke arah pintu belakang yang rusak, diikuti oleh Sesepuh dan empat pemuda lokal bersenjata golok dan tombak. Kontras antara peralatan taktis Express Teknologi dan persenjataan tradisional komunitas itu sangat mencolok.

Zega tidak membawa senjata fisik. Ia membawa laptopnya. Ia segera berjongkok di balik sisa-sisa tembok, membuka perangkatnya, dan mulai mengetik dengan kecepatan gila. Ia tidak menyerang manusia; ia menyerang jaringan mereka.

“Bapak Tua, mereka menggunakan frekuensi radio terenkripsi!” teriak Zega, tanpa mengalihkan pandangan dari layar. “Mereka terhubung ke satelit. Aku harus memotong sinyal mereka dari pulau ini!”

Saat itu, salah satu tentara bayaran yang tertindih berhasil membebaskan diri. Ia mengarahkan pistolnya ke Zega.

“Jaka, awas!” teriak Risa.

Tepat saat peluru ditembakkan, Zega berhasil menekan tombol ‘Enter’. Gudang itu tiba-tiba dipenuhi dengan kebisingan statis yang keras dan melengking. Lampu-lampu darurat yang berkedip-kedip padam. Sinyal radio di tangan tentara bayaran yang menembak itu mati seketika. Sistem komunikasi mereka lumpuh.

Zega telah melancarkan serangan siber lokal, mengubah gudang itu menjadi zona mati digital. Peluru itu meleset, hanya menghantam tembok di belakang Zega.

“Mereka tidak bisa berkomunikasi! Serang!” teriak Sesepuh. Para penjaga lokal, dipimpin oleh Bapak Tua, bergerak cepat, menggunakan celah-celah gudang dan kegelapan untuk melumpuhkan tentara bayaran yang kebingungan karena kehilangan koordinasi digital mereka.

Pertarungan berlangsung cepat dan brutal. Golok melawan belati, kecepatan lokal melawan pelatihan militer. Dalam waktu kurang dari dua menit, tim Alpha berhasil dilumpuhkan, diikat dengan tali tambang tebal. Mereka masih hidup, tetapi terkejut dan terputus dari dunia luar.

Sasha keluar dari persembunyiannya, terhuyung-huyung menuju Zega. Zega segera menutup laptopnya, dan berdiri. Matanya bertemu dengan mata Sasha, sepasang mata yang penuh kekaguman, ketakutan, dan relief yang mendalam.

Zega tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia hanya menarik Sasha ke dalam pelukan yang keras dan mendesak. Tubuh Sasha yang basah dan berlumuran lumpur menempel erat pada kemeja Zega yang juga kotor.

“Kau gila, Sasha,” bisik Zega di telinga Sasha, suaranya parau karena emosi. “Kau seharusnya tidak keluar. Kau mempertaruhkan semuanya.”

“Aku harus melakukannya. Aku tidak bisa hanya menonton,” balas Sasha, suaranya tercekat. Ia bisa merasakan detak jantung Zega yang berdebar kencang di balik lapisan kemejanya. Dalam pelukan yang kasar dan mendesak ini, semua jarak profesional yang mereka bangun selama ini runtuh. Ada api di sana—api yang bukan hanya gairah, tetapi juga ikatan yang terbentuk di bawah ancaman kematian.

Zega menarik diri sedikit, tetapi tangannya tetap menangkup wajah Sasha yang dipenuhi lumpur. Ia melihat lecet di lutut Sasha, kelelahan di matanya. Rasa bersalah dan kekaguman bercampur aduk. Ia tidak menyangka CEO yang biasanya rapi itu memiliki naluri bertahan hidup yang begitu liar.

“Kau terluka,” katanya, menyentuh pipinya dengan lembut, menggeser sedikit lumpur. Sentuhan itu sangat kontras dengan kekerasan yang baru saja terjadi. Sasha merasakan getaran di sekujur tubuhnya, melupakan rasa sakit di kakinya.

“Aku baik-baik saja,” Sasha berbisik, lalu matanya beralih ke Bapak Tua yang sedang mengawasi mereka dengan ekspresi serius. “Kita harus pergi. Mereka akan mengirim tim lain.”

Sesepuh, Bapak Tua, berjalan mendekat. Ia menatap Zega, atau Jaka, dengan pandangan menghakimi, lalu beralih ke Sasha.

“Kau membawa badai, Jaka,” kata Bapak Tua, suaranya tenang tetapi mengandung otoritas yang tak terbantahkan. “Dan badai ini tidak bisa dihentikan hanya dengan mematikan beberapa radio. Express Teknologi telah menutup semua jalur air di sekitar pulau. Mereka mengerahkan kapal-kapal yang tidak kita kenali. Mereka tahu kau ada di sini.”

Zega menggigit bibirnya. “Aku tahu. Itu sebabnya kita harus pergi ke ‘Tebing Senyap’. Jalur itu aman, Bapak Tua.”

Tebing Senyap. Sasha ingat Zega menyebutkannya—tempat rahasia di mana mereka menyimpan perahu cepat yang tidak terdeteksi radar.

Bapak Tua menggeleng. “Tebing Senyap terlalu jauh. Kita tidak punya waktu. Mata-mata mereka sudah ada di gunung.” Ia menoleh ke Risa. “Risa, kau dan tiga pemuda bawa yang tertangkap ke gua utara. Kunci mereka.”

Kemudian, ia menatap Zega dan Sasha. “Ada satu jalur keluar yang belum pernah mereka ketahui, karena jalur itu tidak pernah digunakan sejak kakekku. Jalur bawah air. Kau akan menggunakan terowongan tua di dermaga yang rusak. Terowongan itu mengarah ke teluk timur, tempat perahu nelayan tua menunggu.”

Sasha merasa dingin menjalar. Terowongan bawah air? Setelah berlari di lumpur dan berjuang di sungai? Ini terdengar mustahil dan sangat berbahaya.

“Tapi terowongan itu sudah runtuh, Bapak Tua,” bantah Zega. “Aku ingat. Terlalu berisiko.”

“Risiko lebih baik daripada ditangkap dan diserahkan ke agen asing, Jaka,” balas Sesepuh tegas. “Kau membawa DigiRaya ke pulau ini. Sekarang, DigiRaya harus membawa dirimu dan kebenaran itu keluar dari sini. Terowongan itu kotor dan sempit, tapi itu satu-satunya cara kita bisa melewati perimeter Express Teknologi.”

Sasha mengangguk, mengambil keputusan. Ia mempercayai Zega, dan ia harus mempercayai Sesepuh ini. “Baiklah. Tunjukkan jalannya.”

“Kita harus cepat. Sinyal radio mereka akan pulih dalam beberapa menit, dan mereka akan tahu kita berhasil lolos,” ujar Zega, meraih ranselnya dan mengaitkan jarinya dengan jari Sasha.

Mereka berlari keluar dari gudang yang sunyi, menuju garis pantai yang kini diselimuti kegelapan malam. Udara di luar lebih dingin, dan suara ombak terasa lebih menakutkan.

Sesepuh memimpin mereka ke sebuah dermaga kayu yang sudah lapuk, tertutup lumut. Di bawah dermaga itu, air laut berwarna gelap berputar-putar dengan ganas. Bapak Tua menunjuk ke sebuah lubang persegi yang nyaris tidak terlihat di bawah permukaan air.

“Masuklah. Terowongan itu akan membawamu ke teluk. Aku akan mengalihkan perhatian mereka di sisi ini,” perintah Bapak Tua.

Zega mengangguk. Ia berbalik ke Sasha, ekspresinya serius. “Kau harus berenang. Kau harus percaya padaku. Aku akan ada di belakangmu.”

Sasha membalas tatapan itu, rasa lelahnya hilang digantikan oleh determinasi yang baru. “Aku percaya padamu, Jaka.”

Zega tersenyum tipis, senyum yang jarang terlihat, dan itu adalah janji diam yang lebih kuat daripada sumpah korporat manapun. Ia meraih ransel Sasha, mengamankannya di punggungnya, lalu melompat ke air hitam di bawah dermaga.

Sasha mengikuti, melompat tanpa ragu. Air dingin itu menyengat, tetapi ia segera berenang mengikuti Zega ke bawah, menuju lubang gelap yang menyerupai mulut gua. Mereka menyelam, mengikuti cahaya samar yang dipancarkan oleh jam tangan Zega yang tahan air. Dan berkilau dalam gelap.

Terowongan itu sempit, berbau lumpur dan koral mati. Sasha harus berjuang melawan arus dan menahan napas. Ia bisa merasakan tangan Zega sesekali menyentuh kakinya, memastikan ia baik-baik saja, bimbingan fisik yang sangat dibutuhkan di kegelapan total ini.

Setelah terasa seperti selamanya, mereka akhirnya muncul, terengah-engah, di sebuah laguna kecil di teluk timur. Di sana, perahu nelayan tua yang dicat biru dan putih sudah menunggu, mesinnya menyala pelan. Seorang nelayan tua memberi isyarat agar mereka segera naik.

Mereka naik ke perahu, bersembunyi di bawah terpal basah. Nelayan itu segera memacu mesin perahu, bergerak menjauh dari pulau itu.

Sasha dan Zega berbaring berdampingan di bawah terpal. Mereka kelelahan, dingin, dan benar-benar sendirian di lautan luas yang terbuka, dikejar oleh kekuatan global, yang menggila.

Zega membalikkan badan, menghadap Sasha. Ia mengangkat tangannya dan menyeka air laut dari mata Sasha. “Kita berhasil, CEO Sasha.”

“Kita berhasil, Jaka,” balas Sasha, senyum kecilnya terlihat bahkan dalam kegelapan. Ia meraih wajah Zega, dan untuk pertama kalinya, ia yang mengambil inisiatif. Ia menciumnya—ciuman yang asin, basah, dan dipenuhi dengan desakan bertahan hidup.

Zega membalas ciuman itu dengan intensitas yang sama, pelukan yang bukan lagi tentang kehati-hatian, melainkan tentang pengakuan bahwa mereka berdua telah melewati batas profesional dan pribadi, menjadi satu tim yang tidak terpisahkan dalam kekacauan ini.

Saat mereka berpisah untuk mengambil napas, Zega melihat ke atas, melirik ke langit malam. Senyumnya segera memudar. Cahaya kecil dan cepat melesat di langit, bergerak lurus menuju garis pantai pulau yang baru saja mereka tinggalkan. Itu adalah drone pengintai militer berkecepatan tinggi, jauh lebih canggih daripada yang mereka bayangkan.

“Sial,” desis Zega, menarik Sasha lebih erat ke bawah terpal. “Mereka tidak hanya mengepung daratan. Mereka mengawasi udara. Kita harus pergi ke tempat yang benar-benar tidak terjangkau.”

Nelayan itu, mendengar desisan Zega, menoleh ke belakang. “Kita tidak bisa pergi jauh dengan perahu ini. Hanya ke Lombok. Tapi Tuan-tuan, ada kapal lain di sana. Lebih besar. Lebih cepat.”

“Kapal apa?” tanya Sasha, panik.

Nelayan itu menunjuk ke kejauhan. Di cakrawala, di bawah bulan sabit yang redup, sebuah bayangan besar berwarna hitam melaju membelah ombak dengan kecepatan yang mengkhawatirkan. Itu bukan kapal nelayan. Itu kapal pesiar mewah, ramping, dan jelas milik korporasi besar.

Di lambung kapal itu, meskipun jaraknya jauh, Sasha bisa melihat logo yang berkilauan di bawah lampu sorot kapal tersebut: logo Express Teknologi.

Mereka tidak lolos. Mereka baru saja berlari dari satu perangkap ke perangkap yang lebih besar, kini terjebak di lautan lepas, menuju kapal musuh.

"Apakah kita dikhianati, dijual lagi?"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!