Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 19
Dianti merasakan geli saat bibir Alif menyentuh tengkuk lehernya. Senyum tipis tersungging meski hatinya sempat digelayuti rasa waswas.
“Maafkan aku sayang,” bisik Alif sambil mempererat pelukannya, “sore ini aku harus buru-buru ke rumah sakit. Kalau aku tidak menjenguk anakku, nanti suami dan mertuamu bisa curiga.”
Ada sensasi aneh yang menyelinap di tubuh Dian setiap kali Alif memperlakukannya seperti itu. Bukan sekadar cinta terlarang, melainkan candu yang sudah mereka rawat sejak delapan tahun lalu.
“Putriku Bilqis jangan pernah kamu sia-siakan,” tukas Alif tiba-tiba dengan nada keras, tangannya menelusup masuk ke balik kemeja Dianti. “Cukup anak suamimu saja yang menderita akibat keteledoran mamanya.”
Dian berbalik, menatap mata lelaki itu dalam-dalam. “Bilqis itu anak kita, Bang. Putri yang aku lahirkan dengan keinginanku sendiri, bukan karena paksaan siapa pun. Jangan samakan Bilqis dengan Berliana. Aku selalu mengutamakan dia… karena dia darah dagingmu.”
Wajah Alif melunak, senyum puas terbit di bibirnya. “Kalau begitu bahagiakan aku dulu. Mumpung pegawai lain sibuk dengan urusan mereka. Tak ada yang tahu apa yang kita lakukan di sini.”
Tanpa aba-aba, Alif membuka satu persatu kancing kemeja Dian. Gadis itu memejamkan mata, menahan desir yang bercampur takut. Suara samar seperti bisikan ghaib terdengar dari sudut ruangan, tapi Alif tak peduli. Ia sudah mengantisipasi dengan alat peredam suara yang dipasang diam-diam.
Hubungan ini terlalu jauh untuk dihentikan. Dian tahu, bahkan sejak sebelum ia menikah dengan Azhar, Alif sudah menjadi dunianya.
Sementara itu, Azhar yang menjaga Berliana di rumah, tidak pernah tahu kalau istrinya mengonsumsi pil KB secara diam-diam. Ia hanya tahu bahwa cintanya semakin tak terbalas.
Beberapa menit kemudian, setelah rutinitas harian mereka di kantor selesai dengan peluh yang sama, Alif membelai rambut panjang kekasihnya.
“Kamu makin cantik, sayang,” pujinya.
Dian terkekeh angkuh. “Kalau dibandingkan dengan istri kampunganmu, siapa yang lebih bisa bahagiain kamu? Aku atau dia?”
Alif mendekapnya semakin erat. “Kamu, Dian. Nggak ada yang bisa menandingi kamu. Fitri itu hanya kewajiban. Tapi kamu… kamu nomor satu.”
Dian tersenyum puas, lalu tiba-tiba teringat sesuatu. “Bang, gimana kalau aku usul sama Azhar untuk cari pengasuh anak-anak? Aku ada kenalan dari kampung, orang Takalar. Mereka bisa lebih baik daripada ibuku yang sering lalai.”
Alif mengangguk sambil memainkan helaian rambut Dian. “Ide bagus. Tapi ingat, jangan pakai uangku. Biar suami miskinmu yang bayar. Aku cukup biayai kamu saja.”
Dian mengangguk cepat, hatinya senang karena rencananya disetujui. Ia langsung mengambil ponselnya dan menekan nomor seorang perempuan bernama Nisa.
Aku tahu risikonya besar setiap kali tubuhku berada dalam dekapan Alif. Tapi candu ini sudah lama merasuk, delapan tahun bukan waktu singkat. Lelaki ini bukan hanya kekasih gelap, ia adalah nyawa keduaku.
Bibirnya menyentuh tengkukku, membuat aku bergetar sekaligus waswas. Bayangan Azhar dan mertuaku terlintas sekilas, tapi hilang saat jemarinya menelusup ke balik kemejaku.
“Bilqis jangan pernah kamu sia-siakan…” ucapannya menusuk. Aku menatapnya balik, ingin memastikan bahwa anak itu bukan sekadar alasan baginya.
“Bilqis itu anak kita, Bang. Aku melahirkannya dengan cinta, bukan paksaan. Dia berbeda dengan Berliana. Jangan ragukan aku.” Kata-kataku keluar dengan nada yakin, meski dalam hati aku bergetar takut bila ia menyinggung Azhar lagi.
Senyumnya puas. Dan di situlah aku menyerah lagi. Seperti biasa, ia selalu tahu cara menundukkan aku.
Setelah semuanya usai, aku bersandar di dadanya. Rasanya hangat, meski penuh dosa. Aku menatap wajahnya yang masih menempel di rambutku.
“Bang, gimana kalau aku minta Azhar nyari pengasuh anak-anak? Aku ada kenalan di Takalar. Biar aku bisa lebih bebas.” usulnya Alif sambil memainkan bagian aset terpenting Dianti.
Aku menunggu reaksinya dengan cemas, takut kalau ideku ditolak. Tapi Alif mengangguk santai. “Ide bagus. Jangan pakai uangku. Biar suamimu yang tanggung semua. Aku cukup biayai kamu saja.”
Aku tersenyum lega. Inilah alasan aku tetap bertahan di sisinya: dia selalu membuatku merasa ditopang, meski dengan cara yang egois. Tanganku refleks meraih ponsel. Aku sudah tahu siapa yang harus kutelpon Nisa.
---
POV Alif
Dianti selalu membuatku ketagihan. Ada yang berbeda darinya dibanding perempuan mana pun, termasuk istriku sendiri. Dia berani, keras kepala, tapi juga tahu bagaimana menenangkan egoku.
Saat kulihat matanya menantangku ketika aku menyebut Bilqis, aku justru makin yakin dia perempuan yang tepat. “Anak kita,” katanya penuh keyakinan. Itu kalimat yang ingin kudengar. Dia selalu bisa menyalakan rasa bangga di dalam diriku.
Ketika aku memeluknya lagi dan merasakan tubuhnya luluh, aku tahu aku masih menguasainya. “Fitri itu cuma kewajiban. Kamu nomor satu,” kataku, dan senyumnya mengembang. Benar, itulah yang dia mau dengar.
Lalu tiba-tiba dia mengusulkan soal pengasuh anak-anak. Aku sempat heran, tapi setelah kupikirkan, itu justru menguntungkan. Dian bisa lebih leluasa menemuiku. Dia bebas, aku pun tenang. “Ide bagus,” jawabku.
Aku tidak peduli siapa perempuan yang akan datang nanti. Selama bukan aku yang keluar uang, aku tak masalah. Suami bodohnya biar menanggung semua.
Aku melihat Dian mengambil ponselnya dan menekan sebuah nomor. Bibirnya tersenyum penuh keyakinan. Dia pikir semua kendali ada di tangannya. Yang dia tidak tahu, kendali sebenarnya ada di tanganku dan selamanya akan selalu begitu.
---
Di rumah sakit kamar perawatan VIP, Nisa baru saja selesai shalat dzuhur. HP-nya berdering di atas meja. Ia tersenyum, menyangka ayahnya yang menelepon. Namun langkahnya terhenti ketika Azhar lebih dulu meraih HP itu.
Wajah Azhar menegang ketika melihat layar. “Dian…,” gumamnya pelan.
“Mas, siapa yang telepon? Bapak ya?” tanya Nisa sambil mengerutkan kening.
Azhar menatap istrinya yang masih mengenakan mukena. Suaranya bergetar.
“Ini… Dian. Kenapa tiba-tiba dia telepon kamu? Jangan-jangan… dia sudah curiga.”
Darah Nisa serasa berhenti mengalir. “Ya Allah… mas, jangan bilang dia tahu pernikahan kita.”
Azhar menggenggam tangan istrinya, mencoba menenangkan meski hatinya pun kalut. “Semoga tidak. Mungkin hanya kebetulan.”
Nisa menggeleng, air matanya menetes. “Kalau dia tahu… kalau dia lapor ke atasan mas… gimana? Mas bisa dipecat, masa depan kita bisa hancur.”
“Tenang, Nis,” bisik Azhar. “Angkat saja teleponnya. Jangan tunjukkan rasa takutmu. Bicara seperti biasa. Aku di sini.”
Nisa menutup matanya sejenak, berdoa lirih. “Ya Allah, lindungi kami. Jangan biarkan rahasia ini terbongkar.”
Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol hijau. “Assalamualaikum, Mbak Dian,” sapanya pelan.
Dari seberang, suara Dian terdengar tenang. “Nisa, aku ada penawaran untukmu. Semoga kamu setuju.”
Azhar dan Nisa saling pandang. Ada sedikit kelegaan, tapi tetap saja dada mereka bergemuruh.
“Penawaran? Maksud Mbak apa?” tanya Nisa.
“Aku ingin kamu jadi pengasuh anak-anakku. Gajinya lumayan. Kalau kamu setuju, kamu bisa berangkat ke Makassar hari ini juga.”
Azhar terdiam, hanya bisa menghela napas panjang. Dian, kamu memang tak pernah berubah. Karirmu segalanya, sementara anak-anakmu dititipkan pada orang lain.
Aku mendengar jelas suara Dian dari speaker HP. Tawaran itu terdengar seperti jebakan. Dia bilang ingin Nisa mengasuh anak-anak kami, tapi aku tahu, Dian bukan perempuan polos. Dia licik.
Dadaku sesak. Kenapa harus Nisa yang dia pilih? Apakah ini cara Allah menyingkap rahasia kami perlahan?
Aku menatap Nisa, istriku yang sedang menunduk dengan wajah pucat. Aku ingin memeluknya, menenangkannya, mengatakan kalau semua akan baik-baik saja. Tapi apa yang bisa kujanjikan? Aku sendiri ketakutan.
“Bismillah, terima saja tawaran itu, Nis,” bisikku sambil menggenggam tangannya.
“Kalau kita lari dari keadaan, justru rahasia kita makin cepat terbongkar.”
Tapi dalam hati aku berteriak,”Ya Allah, lindungi aku. Jangan biarkan karirku, rumah tanggaku, dan cintaku runtuh sekaligus. Aku sudah salah, tapi jangan hukum istri siriku yang tak tahu apa-apa.”
Nisa menunduk, menatap suaminya. “Mas…”
Azhar menggenggam erat tangannya, memberi isyarat agar mengiyakan.
“Bismillah…” Nisa akhirnya menjawab.
“Baik, Mbak Dian. Aku terima tawaran itu.”
Dian tersenyum puas di ujung telepon, tanpa tahu betapa kalutnya dua insan yang kini menutupi rahasia besar dari dirinya.
POV Dianti
Puas. Itu yang kurasakan ketika Nisa akhirnya mengiyakan tawaranku. Senyumku merekah, meski Alif di belakangku masih sibuk membelai dan memelukku dengan nakalnya.
“Aku akan kirim alamat rumah dan rumah sakit tempat anakku dirawat,” kataku santai, seolah tak terjadi apa-apa.
Dalam hatiku ada rasa lega akhirnya aku bisa menyerahkan beban mengurus anak ke orang lain. Aku butuh ruang untuk karir, untuk kebebasanku, dan tentu saja untuk bersama Alif.
Aku tidak pernah tahu, di balik suara lembut Nisa tadi, ada kegugupan yang disembunyikan. Aku hanya mengira dia perempuan kampung yang sedang butuh pekerjaan.
“Sayang, masalah anak beres sekarang,” ujarku sambil menoleh pada Alif. “Kita bisa lebih bebas, kan?”
Aku tidak tahu, rencana ini justru akan menyeretku ke dalam rahasia besar yang selama ini tersembunyi rapat.
Sedangkan di Rumah Sakit..
Azhar menatap kosong ke arah Berliana yang tertidur pulas. Hatinyalah yang kini bergejolak.
“Demi pekerjaanmu, kamu tega memasukkan Nisa ke rumah kita sendiri, Dian. Sampai kapan kamu menutup matamu dari kewajibanmu sebagai istri?”
Ponsel di tanganku masih terasa bergetar, padahal panggilannya sudah terhubung. Suara Dian di seberang sana membuat tengkukku dingin. Ada nada perintah, nada yang selama ini aku tahu milik seorang istri pertama.
“Aku ingin kamu menjaga anak-anakku. Kalau kamu setuju, aku akan transfer uang transport sekarang juga. Malam ini kamu sudah harus ada di Makassar.”
Aku menelan ludah. Ya Allah, inikah jalan-Mu untuk menguji aku? Menjadi pengasuh anak-anak suami yang diam-diam juga suamiku. Air mataku jatuh tanpa suara, tapi aku berusaha keras agar nadaku tetap terdengar biasa.
“Insya Allah, Mbak… aku bersedia.”
Hatiku terbelah. Aku ingin berkata “aku sudah menikah dengan suamimu,” tapi lidahku kelu. Demi cinta, demi menjaga marwah suamiku, aku memilih diam. Aku tahu, langkah ini akan membawa aku masuk ke dalam sarang badai.
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor