Naomi harus menjalani hari-harinya sebagai sekretaris di perusahaan ternama. Tugasnya tak hanya mengurus jadwal dan keperluan sang CEO yang terkenal dingin dan arogan yang disegani sekaligus ditakuti seantero kantor.
Xander Federick. Nama itu bagai mantra yang menggetarkan Naomi. Ketampanan, tatapan matanya yang tajam, dan aura kekuasaan yang menguar darinya mampu membuat Naomi gugup sekaligus penasaran.
Naomi berusaha keras untuk bersikap profesional, menepis debaran aneh yang selalu muncul setiap kali berinteraksi dengan bosnya itu.
Sementara bagi Xander sendiri, kehadiran Naomi di setiap harinya perlahan menjadi candu yang sulit dihindari.
Akan seperti apa kisah mereka selanjutnya? Mari langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 19 Alergi Makanan
Naomi kembali dari luar, dengan menenteng beberapa kantong plastik berisi makanan. Aroma sedap langsung menyeruak begitu ia meletakkannya di sofa sudut ruangan Xander.
Xander yang sedang duduk di kursi kebanggaannya, langsung beranjak, matanya tertuju pada makanan.
“Ini makanan anda, Tuan,” ucap Naomi, sedikit canggung. Ia masih kesal dengan sikap Xander yang seenaknya tadi.
“Bagus,” jawab Xander tanpa ekspresi. Ia mengambil satu kotak, membukanya, dan mulai makan dengan lahap.
Naomi memperhatikan, berharap Xander tidak protes lagi.
Xander makan dengan cepat, seolah tidak pernah makan seharian. Namun, tiba-tiba, makanan yang berada di tangannya seketika jatuh ke lantai.
Xander memekik, tubuhnya menegang. Wajahnya langsung memerah, dan ia mulai terbatuk-batuk hebat. Tenggorokannya terasa panas, dan tubuhnya gatal-gatal.
Tentu saja melihat itu, Naomi menjadi panik luar biasa.
“Tuan Xander! Anda kenapa?!” Ia segera mendekat dengan wajah dipenuhi kekhawatiran.
Xander mencengkram dadanya, nafasnya tersengal.
“Obatku... di laci... Naomi... cepat!” suaranya parau, nyaris tak terdengar.
Naomi dengan sigap membuka laci meja Xander, mencari obat yang dimaksud. Ia menemukan sebuah botol kecil, lalu segera memberikannya pada Xander. Xander menelannya tanpa air, lalu batuk-batuk lagi.
Naomi mengambil segelas air dari dispenser, lalu memapah Xander agar bisa duduk dengan benar di sofa.
Ia menepuk-nepuk punggung Xander perlahan. Melihat keadaan Xander dengan wajah yang semakin memerah, napas tersengal, dan tubuh yang gatal-gatal, membuat Naomi merasa bersalah.
Air matanya mulai menggenang. Ia benar-benar mengira Xander akan mati.
“Kenapa menangis, bodoh!” kata Xander, suaranya masih parau, namun sudah lebih jelas. Ia mendongak, menatap Naomi yang sudah menangis sesenggukan.
“Saya kira Anda akan mati, hiks…” isak Naomi, air matanya tak terbendung. Ia merasa sangat bersalah karena memesan makanan itu.
“Apa kamu benar-benar ingin aku mati?!” pekik Xander, meskipun wajahnya masih merah, nada suaranya sudah kembali ke mode ketus seperti biasa.
Naomi menggeleng, lalu menghapus air matanya. “Tidak! Tentu saja tidak! Syukurlah anda sudah bicara normal dan marah-marah lagi pada saya.” Naomi tersenyum tipis, lega karena Xander sudah kembali ke sifat aslinya.
Xander menatap Naomi, seringai tipis muncul di bibirnya. Tanpa peringatan, ia menarik tengkuk leher Naomi. Naomi membelalak kaget. Dan dalam sekejap, bibir Xander sudah menyentuh bibirnya. Ciuman singkat yang mengejutkan.
Naomi seketika membeku. Ia tidak menyangka Xander akan melakukan hal itu.
“Apa dia sedang modus dengan berpura-pura sakit lalu mencari kesempatan dalam kesempitan?” batin Naomi, wajahnya langsung merona.
Xander melepaskan ciumannya, menatap Naomi dengan tatapan yang sulit diartikan. Bibirnya sedikit bengkak karena reaksi alergi, namun senyumnya semakin lebar.
“Bibirmu sangat manis,” ucap Xander. “Dan aku menyukainya.”
Pipi Naomi semakin merona merah padam. Ia hendak protes, mengatai Xander mesum, namun Xander kembali mencium Naomi.
Kali ini, ciuman itu berubah semakin intens.
Xander menciumnya dalam, lidahnya mulai bermain, menuntut balasan. Naomi awalnya kaku, namun entah kenapa tubuhnya bereaksi sendiri, membalas sentuhan bibir Xander.
Xander memperdalam ciumannya, tangannya melingkari pinggang Naomi, menariknya semakin dekat. Naomi bisa merasakan detak jantungnya berpacu kencang, dan nafasnya mulai tersengal.
Naomi bergegas mendorong Xander, sekuat tenaga. Wajahnya masih memerah, ia menatap Xander dengan kesal.
“Dasar kurang ajar! Anda pasti sengaja mencari kesempatan dalam kesempitan, bukan?!” tuduh Naomi, ia menyeka bibirnya kasar.
Xander tertawa pelan, tawanya terdengar serak. “Kamu menikmatinya, Naomi.” Matanya menatap Naomi penuh goda. “Jangan munafik!”
“Terserah! Saya mau pulang!” Naomi beranjak, tubuhnya gemetar. Ia tidak bisa bertahan lebih lama lagi di ruangan ini.
Seketika, Xander kembali terbatuk-batuk hebat, tubuhnya membungkuk, menahan rasa sakit. Reaksi alerginya kembali kambuh.
Naomi lagi-lagi panik. Ia lupa Xander baru saja mengalami serangan alergi.
“Tuan Xander! Ada kenapa lagi?”
Xander berusaha bernafas dengan teratur. “Aku punya alergi udang dan kacang-kacangan,” katanya susah payah. “Mungkin di dalam makanan tadi ada itu.”
Ya, Naomi memang memesan nasi goreng seafood yang ada udangnya, dan kacang-kacangan di salad nya.
“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu.” Naomi merasa sangat bersalah.
“Antar aku pulang,” pinta Xander dengan suara lemah.
Bertepatan dengan itu, pintu ruangan terbuka. James masuk, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang begitu jelas.
“Xander! Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?” Ia hendak memapah Xander, namun Xander meliriknya tajam, seolah mengisyaratkan untuk pergi.
James mengerti. Ia mengangguk samar, lalu bergegas keluar, meninggalkan Naomi yang kebingungan sendiri.
Naomi menatap James yang pergi, lalu kembali menatap Xander yang masih terbatuk-batuk.
“Loh dia mau kemana?” batinnya. Situasi ini benar-benar aneh, bukannya membantu James malah meninggalkan mereka berdua begitu saja.
***
Saat berbelok di koridor, James nyaris bertabrakan dengan Clara yang berjalan tergesa-gesa.
“James! Kamu darimana saja?” tanya Clara, tampak sedikit panik. Tangannya memegang setumpuk berkas. “Aku lupa menyerahkan berkas ini pada tuan Xander sebelum dia pulang.”
James langsung menghalangi jalan Clara. “Jangan masuk!” ucapnya tegas, ia menahan lengan Clara.
Clara mengernyit. “Kenapa? Ini penting.”
“Xander butuh waktu dan privasi untuk berduaan,” jelas James.
Mendengar itu, Clara mendengus kesal. “Apa maksudmu? Tuan Xander dan siapa?”
James tak menjawab, sebuah seringai tipis muncul di bibirnya. Ia memegang pinggang Clara, menariknya mendekat, lalu memojokkannya ke tembok koridor yang sepi.
“Kamu juga butuh privasi denganku, Clara,” bisiknya, matanya menatap intens ke arah bibir Clara. Ia hendak mencium wanita itu.
Namun, sebelum bibir James menyentuh Clara, Clara sudah lebih dulu bereaksi. Dengan gerakan cepat, ia menendang aset berharga James.
“AARRGGHH!” James menjerit kesakitan, tubuhnya langsung membungkuk, memegangi selangkangannya. Wajahnya pucat pasi menahan perih yang luar biasa.
“Jangan macam-macam, James! Aku tidak tertarik pada pria mesum sepertimu!” Ia kemudian melangkah melewati James yang masih meringis.
“Astaga, dia galak sekali.”