Ziyanada Umaira, biasa dipanggil Nada jatuh cinta untuk pertama kalinya saat dirinya berada di kelas dua belas SMA pada Abyan Elfathan, seorang mahasiswa dari Jakarta yang tengah menjalani KKN di Garut, tepatnya di kecamatan tempat Nada.
Biasanya Nada menolak dengan halus dan ramah setiap ada teman atau kakak kelas yang menyatakan cinta padanya, namun ketika Abyan datang menyatakan rasa sukanya, Nada tak mampu menolak.
Kisah mereka pun dimulai, namun saat KKN berakhir semua seolah dipaksa usai.
Dapatkan Nada dan Biyan mempertahankan cinta mereka?
Kisahnya ada di novel ''Kukira Cinta Tak Butuh Kasta"
Selamat membaca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lailatus Sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dalang Fitnah
Hujan baru saja reda. Aroma tanah basah memenuhi udara, bercampur dengan wangi teh hangat di cangkir Nada.
Dia duduk di teras kontrakannya, mengenakan sweater rajut warna krem, selimut tipis melilit kakinya. Beberapa hari ini tubuhnya lemas demam kembali datang tiba-tiba membuat semua aktivitasnya terhambat.
Ponselnya bergetar. Sebuah notifikasi dari nama yang sudah familiar. Arfan.
“Lagi di Jakarta nih. Kalau sempat, mau ketemu? Lama banget nggak ngobrol"
Nada tersenyum tipis, menghela napas. Arfan memang semakin sering menghubungi Nada sejak pertemuan di hotel. Meski jarak waktu sejak SMA sudah panjang, entah kenapa obrolan dengan Arfan terasa hangat.
“Lagi kurang sehat, Aa. Kalau mau ngobrol, lewat chat aja dulu ya.”
“Oke, nggak apa-apa. Yang penting kamu istirahat. Kalau butuh apa-apa, bilang.”
Nada memandang layar ponsel lama-lama. Ingatannya kembali ke masa SMA, masa di mana Arfan pernah berdiri di bawah pohon mangga di halaman sekolah, menatapnya dengan senyum gugup sambil menyatakan perasaan.
Nada menolaknya waktu itu, dengan alasan tak ingin pacaran. Arfan menerimanya dengan tenang, tapi Nada tahu dari tatapan matanya bahwa penolakan itu bukan sesuatu yang mudah ia terima.
Dan kini, setelah bertahun-tahun, Nada bisa merasakan bahwa rasa itu ternyata belum mati. Namun, sama seperti beberapa tahun silam, hatinya tak sedikit pun terbuka untuk Arfan.
Sore itu, Rosa baru kembali dari mengantar pesanan seblak online, dia membawa dua porsi seblak yang sengaja dimasak lebih untuk mereka nikmati.
Mereka duduk di bangku kayu depan kontrakan, membicarakan hal-hal ringan.
“Eh, A Arfan itu yang dulu nembak kamu waktu SMA, kan?” Nada tersenyum malu.
"Iya… tapi itu udah lama banget. Sekarang bertemu lagi saat sudah sama-sama dewasa, mungkin kita sekarang bisa kembali berteman."
“Temenan kok tiap hari chat. Nggak nyangka ya, rasa lama tuh kayak biji pepaya… susah ilang.” Nada tertawa kecil dengan analogi Rosa.
“Ros… nggak usah aneh-aneh. Aku sama dia udah jelas posisinya.”
Apa yang tidak mereka sadari, di seberang jalan, Abyan baru saja tiba. Dia sempat terhenti saat mendengar percakapan itu—terutama kata “nembak” dan “SMA”.
Dia tidak mendekat, hanya berdiri beberapa detik sebelum akhirnya melangkah masuk ke kontrakan, menyapa mereka dengan senyum tipis. Tapi di dadanya, ada sesuatu yang berubah, rasa ingin tahu, bercampur dengan sedikit rasa perih yang tak ia mengerti.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Nada dan Rosa kompak menjawab sembari menoleh ke asal suara. Beberapa langkah di belakang mereka Abyan tengah berdiri dengan membawa paper bag di tangannya.
"Pak Abyan, silakan masuk." Rosa yang merespon cepat, sejenak dia saling beradu tatap dengan Nada seolah saling melempar tanya, keduanya menerka nerka apakah Abyan mendengar percakapan mereka barusan.
"Tidak perlu, aku hanya mau melihat keadaan kamu, syukurlah, kelihatannya semakin membaik." selesai sidang, Nada belum masuk kerja, izin cutinya diperpanjang agar dia bisa beristirahat pasca sakit.
Setelah tujuan utamanya selesai Abyan pun segera pamit. Ada sesuatu di ruang hati Nada yang tiba-tiba hampa setelah punggung Abyan tak terlihat lagi.
Malamnya, ponsel Nada bergetar. Abyan mengirim pesan.
“Tadi aku dengar kamu sama Rosa ngomongin Arfan.”
Nada menghela nafas, dugaannya benar Abyan mendengar obrolannya dengan Rosa tentang Arfan.
"Kamu dengar, ya? Iya, kami satu sekolah, dia kakak kelasku dulu."
“Kamu yakin cuma kakak kelas?”
"Yakin, kami tidak pernah memiliki hubungan selain senior dan junior di masa lalu, begitu pun masa kini."
Abyan menatap lama tulisan itu. Ada rasa lega, tapi juga ada bayangan wajah Arfan yang seakan mengintip dari lorong waktu.
Dalam hati, Abyan tahu Nada punya daya tarik yang tak hanya memikatnya, tapi juga orang-orang yang pernah singgah di masa lalunya.
Sementara itu, di sisi lain kota, Rendi dan Arya bergerak senyap. Mereka sudah berhari-hari menelusuri sumber fitnah yang sempat menghantam reputasi Nada di lingkungan kerja hotel.
Fitnah itu membuat banyak orang memandangnya dengan tatapan curiga dan Abyan, meski membela mati-matian, tetap ingin tahu siapa dalangnya.
Di ruang kerja kecil di apartemen Rendi, laptop terbuka menampilkan tumpukan data.
“Nih, akun fake yang nyebar fitnah itu terhubung ke satu nomor ponsel. Nomor ini atas nama salah satu karyawan rumahnya Indira.”
“Dan dari riwayat chat, jelas dia disuruh sama Indira. Lihat, ini ada pesan: ‘Sebar ini di grup, jangan sebut nama aku.’”
Rendi menambahkan,
“Bukan cuma itu, ada log IP address yang nyambung ke WiFi rumah Indira. Gak mungkin kebetulan.”
Mereka saling pandang, mengangguk. Bukti itu terlalu kuat untuk diabaikan.
Keesokan paginya, Rendi dan Arya datang ke kantor Abyan. Rendi menyerahkan flashdisk berisi semua temuan.
"Bos, kita sudah menemukannya, semua yang terjadi dalangnya adalah Indira.”
“Kamu yakin?” Tanya Abyan menatap.serius.
"Seratus persen. Semua jejak digitalnya jelas.” sahut Arya.
Abyan mengepalkan tangan, urat di rahangnya menegang. Marah, kecewa, dan… jijik. Ia tak percaya, wanita yang selama ini diagung-agungkan keluarganya sebagai calon istri ideal, sanggup menjatuhkan orang lain demi ego.
“Terima kasih. Aku yang akan urus ini ke Kakek.” pungkas Abyan.
Hari itu juga, Abyan membawa semua bukti ke rumah Kakek Akbar. Ruang kerja kakeknya selalu sama, temaram, penuh aroma kayu jati dan buku-buku tua.
“Kek, ini bukti kalau Indira yang menyebar fitnah tentang Nada. Aku harap… setelah ini, Kek nggak lagi memaksa aku menikah dengannya.” Abyan to the point pada tujuan utamanya, tentunya setelah dia berucap salam dan mencium.punggung tangan sang kakek.
“Kamu yakin ini valid?” tanya Kakek Akbar, sambil.mengambil berkas yang di serahkan Abyan.
“Rendi dan Arya yang cari. Semua bisa diverifikasi.” tegas Abyan.
Kakek Akbar tak langsung bicara. Ia hanya mengangguk pelan, lalu memanggil salah satu orang kepercayaannya. .
Dua hari kemudian, hasil verifikasi keluar dan semuanya mengarah pada Indira.
Amarah Kakek Akbar meledak seperti petir di siang bolong. Ia memanggil kedua orang tua Indira ke rumah.
“Didik anak kalian! Dia membuat fitnah keji, mencemarkan nama orang yang tak bersalah. Ini memalukan keluarga besar!”
“Indira! Apa yang kamu lakukan?! Kamu sadar akibatnya?!” Ayah Indira langsung mengkonfirmasi fakta yang baru saja diketahuinya melalui data-data yang diserahkan Kakek Akbar.
“Nak, kamu bikin malu. Semua orang bisa tahu ini!” Ibu Indira turut bicara.
Indira berdiri di sana, wajahnya pucat tapi matanya menyala. Bukannya minta maaf, bibirnya justru mengulas senyum tipis senyum yang lebih mirip belati.
"Semua ini salah dia. Kalau dia nggak ada, aku nggak perlu melakukan ini.” Nada adalah dia yang dimaksud Indira.
Kakek Akbar menggebrak meja.
"Diam! Jangan sekali-kali menyalahkan korban.”
Kedua orang tua Indira meminta maaf atas nama putrinya, keduanya berjanji akan membuat Indira menyadari kesalahannya.
Setelah pertemuan itu, Indira justru mengunci diri di kamarnya. Air matanya jatuh, tapi bukan karena penyesalan melainkan dendam yang semakin mengakar.
“Nada… kamu pikir ini selesai? Aku akan pastikan kamu nggak akan pernah bahagia. Bahkan kalau itu taruhannya nyawa.” monolog Indira dengan tatapan menyala.
Di saat yang sama, Abyan memilih tak memberi tahu Nada. Dia tahu, wanita itu sedang berjuang untuk sembuh. Tapi dalam hati, Abyan sadar badai belum berakhir. Dan kali ini, ia harus lebih siap dari sebelumnya.
Sementara itu, Nada masih membalas chat Arfan sekali-kali, menjaga jarak agar tidak memberi harapan. Namun, entah kenapa, setiap kali layar ponselnya menyala dengan nama “Arfan”, ada sedikit rasa hangat yang tak bisa ia sangkal.
Dan di kejauhan, Indira mulai menyusun rencana barunya rencana yang akan membawa semua orang ke pusaran masalah yang lebih besar.
terimakasih double up nya kak🥰
kira kira apa lagi rencana indira
lanjut kak