Judul: Suamiku Tak Pernah Kenyang
Genre: Drama Rumah Tangga | Realistis | Emosional
Laila Andini tak pernah membayangkan bahwa kehidupan rumah tangganya akan menjadi penjara tanpa pintu keluar. Menikah dengan Arfan Nugraha, pria mapan dan tampak bertanggung jawab di mata orang luar, ternyata justru menyeretnya ke dalam pusaran lelah yang tak berkesudahan.
Arfan bukan suami biasa. Ia memiliki hasrat yang tak terkendali—seakan Laila hanyalah tubuh, bukan hati, bukan jiwa, bukan manusia. Tiap malam adalah medan perang, bukan pelukan cinta. Tiap pagi dimulai dengan luka yang tak terlihat. Laila mencoba bertahan, karena “istri harus melayani suami,” begitu kata orang-orang.
Tapi sampai kapan perempuan harus diam demi mempertahankan rumah tangga yang hanya menguras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Euis Setiawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
peluang di stengah malam
Malam itu sunyi. Rumah besar Arfan dan Laila hanya diterangi oleh cahaya temaram dari lampu-lampu sudut ruang. Jam sudah menunjukkan pukul 23.45. Laila sudah tertidur pulas setelah menuruti permintaan Arfan yang lagi-lagi menginginkan dirinya di malam itu. Tubuh Laila lelah, dan pikirannya pun masih belum tenang memikirkan banyak hal, terutama tentang Bi Ratmi yang makin hari makin membuatnya tidak nyaman.
Sementara itu, Arfan belum bisa tidur. Tenggorokannya terasa kering setelah aktivitas mereka di kamar tadi. Dengan langkah malas dan perut kosong, ia bangkit dari tempat tidur. Kemeja tipis yang masih dikenakannya sudah kusut, rambutnya acak-acakan. Ia berjalan keluar kamar menuju dapur untuk mengambil air minum.
Langkahnya tak begitu terdengar. Rumah itu memang didesain senyap. Ia tidak ingin membangunkan Laila, meski sebenarnya sang istri sudah terlelap karena kelelahan.
Di waktu yang sama, Bi Ratmi yang tidur di bilik kecil dekat dapur, juga terbangun karena merasa haus. Ia mengenakan daster tipis warna merah muda yang agak longgar, rambutnya diikat ke belakang sembarangan, dan wajahnya terlihat agak lusuh karena belum membersihkan make-up tipis yang dikenakannya siang tadi.
Saat Bi Ratmi membuka pintu biliknya dan melangkah ke dapur, langkahnya terhenti.
Ia melihat sosok Arfan dari belakang. Pria itu tengah membuka kulkas dan mengambil botol air dingin. Cahaya dari kulkas yang terbuka menerangi tubuh Arfan, memperlihatkan lekuk otot lengannya yang terpapar dari balik kemeja tipis. Rambutnya basah oleh keringat.
Bi Ratmi terpaku.
Denyut jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Hemmm... saat yang pas...” bisiknya dalam hati.
Ia menata ekspresi wajahnya, menarik nafas panjang, lalu melangkah ringan seolah-olah baru saja bangun dari tidur.
“Oh... maaf, Pak... saya tidak tahu Bapak juga sedang ke dapur,” ucap Bi Ratmi dengan suara setengah dibuat-buat, seperti suara orang mengantuk namun dibuat manja.
Arfan menoleh. Ia tidak langsung menjawab.
“Oh... nggak apa-apa,bi Ratmi. Saya cuma ambil minum,” jawabnya santai.
Bi Ratmi tersenyum manis, mendekat dan ikut membuka lemari gelas. Ia pura-pura tak menemukan gelas yang biasa ia pakai.
“Pak... gelas yang biasa saya pakai kok nggak ada, ya? Mungkin ketuker waktu cuci,” ucap Bi Ratmi sambil sedikit membungkuk di depan Arfan, sengaja memperlihatkan lekuk tubuhnya.
Arfan mengernyit.
“Itu gelasnya di rak atas, bi Ratmi. Saya tadi pindahkan karena rak bawah penuh,” jawab Arfan, tak menunjukkan ekspresi apa pun.
“Oh gitu... saya pendek, Pak. Nggak nyampe...” jawab Bi Ratmi dengan nada menggoda.
Ia kemudian berusaha menjinjit, dengan sengaja membiarkan tubuhnya menempel di sisi lemari, menampakkan siluet tubuhnya dari daster tipis yang ia kenakan.
Arfan sempat melirik, tapi dengan cepat kembali menatap ke botol minum di tangannya.
Melihat Arfan tidak terpancing, Bi Ratmi makin penasaran. Ia tahu Arfan bukan pria biasa. Sudah banyak laki-laki yang dengan mudah tergoda padanya, tapi Arfan?
“Pak, boleh saya minta tolong ambilin gelasnya?” pinta Bi Ratmi dengan suara lembut, senyuman kecil tak lepas dari bibirnya.
Arfan menghela napas pendek, lalu mengambil gelas di rak atas dan menyerahkannya.
“Nih,” ucapnya singkat.
Bi Ratmi menerima gelas itu dengan sengaja menyentuh tangan Arfan lebih lama dari seharusnya. Sentuhan itu dingin, tapi cukup terasa. Arfan segera menarik tangannya dan menatap Bi Ratmi dengan tatapan aneh, seolah ingin mengatakan: "Apa maksudmu?"
Tapi Bi Ratmi hanya tersenyum.
“Terima kasih, Pak,” ucapnya lembut.
Arfan meneguk air dari gelasnya dan duduk di kursi bar dekat meja dapur. Ia tampak lelah. Bi Ratmi melihatnya sebagai peluang.
“Bapak kelihatan capek ya...?” ucapnya sambil berdiri di dekat meja.
“Yah, lumayan. Kerjaan lagi banyak,” jawab Arfan.
“Kalau Bapak capek, harus banyak istirahat... jangan terlalu sering begadang. Kasihan juga Ibu Laila, dia juga pasti kecapekan kalau... yah... Bapak tiap malam minta dilayani,” celetuk Bi Ratmi berani, setengah menggoda.
Arfan memandang tajam.
“Apa maksudmu, bi Ratmi?”
Bi Ratmi tersenyum kecil, menunduk pura-pura malu.
“Maaf, Pak... saya cuma bicara berdasarkan pengamatan saya saja. Saya ini perempuan juga, Pak... saya bisa lihat gimana Ibu Laila kadang tampak sangat lelah... Tapi ya namanya istri ya... harus patuh.”
Arfan masih menatapnya, tapi tidak menjawab.
Bi Ratmi pun duduk perlahan di kursi seberang. Ia memeluk gelasnya, membuat posisi duduknya terlihat lebih sensual.
“Pak Arfan tahu nggak? Saya ini sebenernya sudah lama nggak tinggal serumah sama laki-laki... sejak saya bercerai Kadang, ya kangen juga... suasana seperti ini. Malam sunyi, duduk bareng, ngobrol ringan...”
Arfan hanya mendengarkan, tidak membalas.
Bi Ratmi melanjutkan.
“Dulu suami saya tuh nggak setia, Pak. Tapi saya tetap setia sama dia. Saya pikir, jadi perempuan itu yang penting bisa menerima keadaan. Kalau suami mau sama yang lain, ya... kenapa enggak? Asal saya tetap di rumah. Tapi dia malah pergi ninggalin saya.”
Arfan mulai terlihat tidak nyaman. Ia berdiri, mengangkat gelasnya ke wastafel.
“Sudah malam. Kamu tidur sana,bi Ratmi. Jangan banyak pikir yang aneh-aneh,” ucapnya dingin.
Bi Ratmi berdiri juga. Tapi kali ini ia nekat. Ia melangkah mendekati Arfan dan berdiri tepat di belakangnya.
“Pak Arfan... saya tahu mungkin saya nggak secantik Bu Laila. Tapi saya perempuan juga, Pak. Saya tahu Bapak pasti capek, Bapak pasti kadang butuh... tempat curhat... atau... pelampiasan...”
“Cukup, Ratmi!” bentak Arfan tiba-tiba, berbalik menghadapnya.
Bi Ratmi tersentak.
“Apa kamu nggak tahu batas, hah? Saya majikan kamu, istri saya di dalam kamar. Kamu pikir saya ini lelaki macam apa? Sembarangan sama pembantu sendiri?” suara Arfan rendah, tajam, namun tertahan agar tak terdengar oleh Laila.
Bi Ratmi terdiam, wajahnya merah menahan malu.
“Saya sudah anggap kamu baik. Saya percaya kamu untuk jaga rumah ini. Tapi kalau kamu mulai punya niat yang nggak beres, mending kamu angkat kaki dari sini!” lanjut Arfan.
Bi Ratmi hampir menangis. Tapi dia menahan dirinya.
“Maaf, Pak... saya hanya bercanda. Saya tidak ada maksud apa-apa...” ucapnya lirih.
Arfan menatapnya sebentar, lalu membalikkan badan dan berjalan keluar dari dapur.
Bi Ratmi menggigit bibirnya, menahan rasa malu dan marah yang bergumul dalam hatinya.
“Kenapa sih... kenapa dia susah banget digoda? Apa aku segitu tidak menariknya?” gerutunya dalam hati.
Ia lalu berjalan kembali ke biliknya dengan langkah pelan dan hati yang kacau.
Sementara itu, Arfan berdiri di depan jendela kamar, memandang langit malam dari balik tirai. Ia menghela napas berat.
Dalam benaknya, ia tahu. Bi Ratmi bukan perempuan sembarangan. Tapi ia tidak ingin membuat kesalahan. Rumah tangganya dengan Laila memang dingin, tapi bukan berarti ia bisa seenaknya mencari pelampiasan.
Ia masuk ke kamar perlahan. Laila masih tertidur pulas di tempat tidur. Wajah istrinya terlihat damai, meski tubuhnya masih tampak lelah. Arfan duduk di pinggir ranjang, mengusap pelan rambut istrinya.
“Maafkan aku kalau kadang terlalu menuntut...” bisiknya pelan.
Ia tahu, jika ia tak menjaga batas, rumah tangga mereka bisa benar-benar hancur — apalagi jika Bi Ratmi terus bermain api.
Namun yang Arfan tak tahu, malam itu adalah awal dari sesuatu yang lebih rumit. Bi Ratmi yang merasa ditolak bukan berarti menyerah. Hatinya yang terluka justru mulai merancang cara lain... cara yang bisa membuat Arfan akhirnya menyerah padanya — entah secara sadar, atau tidak.