Saddam dan teman-temannya pergi ke desa Lagan untuk praktek lapangan demi tugas sekolah. Namun, mereka segera menyadari bahwa desa itu dihantui oleh kekuatan gaib yang aneh dan menakutkan. Mereka harus mencari cara untuk menghadapi kekuatan gaib dan keluar dari desa itu dengan selamat. Apakah mereka dapat menemukan jalan keluar yang aman atau terjebak dalam desa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Gunjingan Warga
Diro menepuk pundak Saddam. "Dam? Kenapa kau melihat keluar terus, apa kau melihat sesuatu?"
Saddam menoleh pada Diro. "Tidak ada. Karena sudah mulai gelap saja," jawab Saddam.
Ya, Saddam dan lainnya hanya di rumah saja, bahkan mereka salat magrib juga di rumah tadi, tidak ke masjid seperti biasanya, karena keadaan Agung.
Saat Saddam menoleh kembali, gadis itu sudah tak ada dan tak lama terdengar suara motor dengan knalpot racing yang cukup memekakkan telinga.
"Assalamualaikum!"
"Wa'alaikumsalam." Bang Irul menyahut dan langsung membukakan pintu.
Muncullah Hendra bersama temannya. "Tadi den cari ang KA rumah, dek ang ndak ka musajik, kecek bini ang, ang di siko — Aku mencari kamu ke rumahmu tadi, karena kamu tidak salat magrib ke masjid, kata istrimu, kamu ke sini."
"Iyo, tadi di Bao dek Uda Thalik a — Iya, tadi di ajak sama Pak Thalib," jawab Bang Irul.
"Masuaklah dulu —Silahkan masuk ke dalam rumah dulu." Bang Irul mengajak Hendra dan temannya masuk.
Nek Raisyah dibantu oleh Saddam menghidangkan kopi hitam untuk mereka. Mengobrol hingga jam 8 malam sampai ada panggilan telepon dari seseorang masuk.
Malam ini terasa tenang untuk mereka semua, tak ada suara, tak ada gangguan, Saddam dan teman-temannya tidur nyenyak hingga pagi.
Bangun tidur, Saddam memeriksa ponselnya, mereka semua telat bangun, tidak ada satupun dari mereka yang salat subuh. Jam sudah menunjukkan jam 7 pagi, pesan WhatsApp hanya dari Bang Irul, jika Pak Johan menyuruh mereka libur dulu beberapa hari ini, sementara pesan pada Bu Anisa masih centang satu.
[Bu Anisa] Saddam kembali mengirim pesan, memanggil sang guru di aplikasi pesan hijau itu, masih centang abu-abu satu.
Viko juga terbangun, sambil mengucek matanya juga melihat ponsel. "Bu Anisa masih tidak membalas pesan, ya?"
"Ya," jawab Saddam.
Mereka berdua menghela nafas. Kemudian membangunkan Diro dan Agung.
"Kalian mau mandi? Ayo giliran bareng, setelah ini kita cari sarapan!" kata Viko.
Mereka mandi dan berdandan rapi. Tampak Nek Raisyah membersihkan halaman depan, mencabut rumput kecil yang hidup menyalip di rumput sintetis hijau nan cantik.
"Kalian mau kerja sama Johan?" tanya Nek Raisyah.
"Tidak Nek kami diberi libur dulu, mau sarapan, Nenek mau apa?" tawar Viko.
"Tidak, tadi nenek sudah makan nasi dan ngopi, untuk kalian saja. Oh ya, kalian nanti pulang siang?"
"Iya, Nek," jawab Viko.
"Oh, baiklah, kalau begitu setelah ini Nenek memasak. Biasanya kalian pulang sore, jadi nenek masaknya jam dua siang."
"Tidak perlu repot-repot Nek. Kami selalu merepotkan Nenek."
"Tidak, nenek bahagia memasak untuk kalian berempat, rumah ini terasa ramai dan menyenangkan," jawab Nek Raisyah. "Nah, kalau begitu pergilah, nanti keburu lontong si Nur habis."
"Baik, Nek."
Kedai lontong itu cukup ramai, porsinya banyak dan termasuk murah jika dibandingkan sepiring lontong di kota Padang. Sepiring besar dengan telur hanya lima ribu rupiah, jika di kota paling murah sudah 10 ribu. Di sini bahkan gorengan masih lima ratus rupiah perbiji.
"Ramai!" Diro mengernyit melihat tak ada bangku kosong, karena kedai lontong hanya menyediakan tiga kursi panjang yang terbuat dari kayu dengan dua buah meja. Satu meja saling berhadapan kursinya. Sementara satu meja lagi hanya satu kursi dan dindingnya bersandar pada seteleng lemari lontong.
"Tak apa, pesan dulu. Kita bisa makan di bawah pohon itu," tunjuk Viko dengan matanya, yang tak jauh dari kedai lontong.
"Uni, pesan lontong biasa dua, lotek satu, sama soto nasi satu. Kami duduk di sana boleh uni?" Viko menunjuk pohon.
"Ngapain di sana, di sudut sini saja," jawabnya. Kemudian, dia menoleh pada suaminya. "Uda tolong bantangan lapiak untuak paja-paja ko ciek, Da —Abang tolong kembangkan tikar untuk mereka!"
Tikar direntangkan di sisi yang berteduh, disamping kedai lontong. Suaminya meletakkan teko air penuh beserta gelas, kerupuk dan gorengan, kemudian disusul oleh 4 piring pesanan Viko tadi.
"Ondeh Rina, malam patang sikulin manampak hantu di jalan ka sawah— Aduh Rina, kemarin malam Kulin melihat hantu di jalan ke sawahnya." Terdengar seorang ibu berbicara dengan muka julid.
"Hah? Di sawah? Manga sikulin tu malam di sawah? Mancari parkaro! —Di sawah? Ngapain Kulin malam hari di sawah, mencari perkara saja!" Teman bicaranya menyahut.
"Inyo talalok sampai mugarik, sudah mugarik nyo jo anak gadihnya capek-capek pai ka sawah tu, takuik mangalua aia tinanggang beko, kabaunyo tapawuik di subarang, Dari sanjo kan cuaca galok. — Dia tertidur sampai waktu magrib, setelah magrib dia dan anak gadisnya segera pergi ke sawah, takut jika hujan di hulu, bisa banjir sungai, soalnya kerbaunya diikat di seberang sungai, cuaca sejak sore kan memang menggelap," jelasnya.
"Oh, Iyo lo yo. Sudah tu ba a lai? —oh iya, trus bagaimana?" Dia bertanya.
"Untuang Ndak ba a, tapi sudah tu Mirna kesurupan siap isya — untung saja tidak apa-apa, tapi setelahnya Mirna kesurupan usai waktu salat isya."
"Oh, tu ba kaba Mirna tu kini? —Sekarang, bagaimana kabarnya Mirna?"
"Alah diubek Pak Thalik! —Sudah diobati Pak Thalib."
"Ah, antah iyo maubek antah indak, nan baulah dunsanaknyo, si Riska tu! —Ah, entah iya ingin mengobati atau tidak, yang jelas keluarganya si riska itu hantu penyebabnya!" Salah satu diantara pembeli lontong menimpali obrolan dua orang ibu itu.
Saddam dan teman-temannya hanya diam menyimak, mereka tidak terlalu paham, karena bahasa Minang mereka terlalu daerah untuk mereka yang tinggal di kota. Jadi, bahasanya sedikit berbeda. Namun, itu dari ucapan pembeli yang sejak tadi bicara menyalahkan anak bungsu Nek Raisyah yang bernama Riska.
"Ba gakti Uni Nur tu? Iyo Ndak? —Bagaimana menurut Kak Nur? Iya kan?" Diantara pembeli minta pendapat.
"Awak kurang paham, Ndak tau awak doh! —Aku tidak tahu pasti, kurang jelas!" jawab si penjual lontong.
Untungnya, dari ucapan para pembeli di sana, tidak ada yang tahu jika Agung juga kesurupan magrib kemarin. Jika tahu, mungkin mereka akan bicara semakin jadi.
Usai makan, mereka memilih tetap duduk di kedai lontong sampai kedai sepi pembeli dan dagangannya hampir habis, hanya tersisa sedikit.
"Bagaimana keadaan kalian di Rumah Tek Raisyah? Aman kan?" Suami penjual lontong duduk dekat mereka.
"Alhamdulillah, aman saja Bang," jawab Viko.
"Syukurlah. Jangan terlalu dipikirkan ucapan para warga. Saya pribadi tidak pernah melihat wujud hantu Riska itu, bahkan saya sengaja malam-malam berkeliaran dan menantang agar bertemu. Saya ingin memastikan, kasihan saya sama Tek Raisyah selalu menjadi bahan gunjingan, anaknya dituduh menjadi hantu pembunuh yang menyesatkan para pemuda."
"Tapi, Mirna itu nama perempuan kan Bang?" Diro bertanya.
"Iya, seorang janda yang tidak punya anak," jawabnya.
"Berarti bukan hanya pemuda, tapi hampir seluruh warga berbeda umur dan jenis kelamin," sambung Saddam karena yang meninggal waktu itu adalah ibu-ibu dan yg kesurupan semalam seorang janda muda.
"Iya, sekarang merata, kalau tahun-tahun sebelumnya itu laki-laki, lebih lagi berusia remaja begitu."
"Apakah mungkin ada yang melihat penampakan selain wajah almarhum Riska itu, Bang?" tanya Saddam. Suami penjual lontong itu menatap Saddam lama, kemudian melihat sekitar.