Setelah enam tahun menjalani hubungan jarak jauh, Raka dan Viola kembali dipertemukan. Namun cinta tak selalu berjalan mulus, mereka harus menghadapi tantangan dan rintangan yang menguji kekuatan cinta mereka.
Apakah cinta mereka akan tetap kuat dan bertahan, ataukah jarak akan kembali memisahkan mereka selamanya?
"Nggak ada yang berubah. Love only for you, Viola. Hanya kamu..." ~Raka.
🍁🍁🍁
Novel ini merupakan Sequel dari novel yang berjudul 'Sumpah, I Love You'. Selamat menyimak dan jangan lupa tinggalkan jejak. 😇😇😇
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : LOFY
Kasus yang menimpa Hendra mulai menjadi perhatian publik, bagi mereka yang mengenal mungkin akan merasa iba dan kasihan, tapi bagi mereka yang tidak mengenal akan langsung memaki dan menghina.
Dian menggulir layar ponselnya, mengamati satu persatu berita yang sedang dia baca. Dia mulai khawatir akan pemberitaan yang beredar, sudah sejak pagi dia mencoba menghubungi nomor Viola, tapi handphonenya tidak aktif. Dan sahabatnya itu juga belum menunjukkan wajahnya dikantor, padahal hari ini seharusnya Viola sudah mulai masuk kerja lagi.
"Eh, ini Hendra Baskara itu papanya si Viola bukan sih?"
"Ah, masa sih?"
"Iya, gue pernah lihat wajah papanya Vio pas nganterin Vio waktu itu, persis banget sama yang ada difoto ini."
"Coba tanya sama Dian tuh. Dia kan sahabatan sama Viola, pasti tahu."
Dian mengangkat kelopak matanya saat melihat ketiga rekan kerjanya itu berjalan mendekatinya. Dia menurunkan ponselnya, menatap tiga orang yang kini sedang berdiri di depan meja kerjanya. Mereka menatap seolah sedang menuntut jawaban.
"Di."
"Apa?!" jawab Dian sedikit sewot, seakan paham apa yang akan ditanyakan oleh tiga rekannya itu.
"Sewot banget sih, Di. Kita mau nanya dong juga."
"Nggak ada nanya-nanya," jawabnya dengan raut dan nada kesal. "Mending kalian balik kerja deh. Udah sana-sana, pergi."
Ketiganya saling menatap dan saling mengangguk, lalu kembali ke meja kerja mereka masing-masing. Sementara Dian, dia langsung menghubungi Amel, memintanya untuk bertemu sepulang kerja nanti.
"Jam lima jemput gue, Mel. Urgent!"
_
_
_
Viola membuka kopernya, melihat boneka teddy bear pemberian dari Raka yang dia bawa. Diambilnya boneka itu dari dalam sana, ditatapnya, lalu dipeluknya erat saat air matanya kembali menetes.
Wajah cantiknya terlihat letih dan lelah, semalaman dia tidak tidur sama sekali, terus menangisi apa yang terjadi pada papanya. Rasanya sulit dipercaya, papanya bisa melakukan perbuatan seperti itu, menggelapkan uang perusahaan.
"Ka, aku kangen..."
Viola menatap ponselnya yang tergeletak di atas nakas, sengaja dia mematikan ponselnya supaya tidak ada yang menghubunginya. Saat ini dia merasa belum siap, belum siap untuk ditanya dan belum siap untuk menceritakan tentang apa yang terjadi pada siapapun, termasuk pada Raka.
"Vi!" Dian membuka pintu kamar Viola, dia datang bersama dengan Amel dibelakangnya. Mereka berdua langsung memeluk Viola begitu melihat sahabatnya itu sedang menangis.
"Vio, jangan sedih. Kita selalu ada buat Lo, support Lo." Amel melepaskan pelukannya lebih dulu, disusul oleh Dian. Mata mereka ikut berkaca-kaca.
"Makasih ya, kalian udah mau datang."
Amel mengusap air mata diwajah Viola, "Lo ngomong apa sih, Vi. Kita ini kan sahabat, kita nggak mungkin ngebiarin Lo sendirian."
Dian mengangguk setuju, "Iya Vi, kita akan selalu ada buat Lo, baik itu senang maupun susah." mengusap lembut lengan Viola. "Oya, Raka udah tahu tentang musibah yang menimpa papa Lo ini?"
Viola terdiam, merenung, lalu menggeleng pelan. "Nggak, dia belum tahu. Please, jangan kasih tahu dia dulu, gue nggak mau ganggu kerjaan dia disana, gue nggak mau dia ikut kepikiran."
Dian dan Amel saling menatap, lalu mereka mengangguk. Ketiganya duduk di tepian ranjang.
"Sebenarnya apa yang terjadi, Vi? Ceritain sama kita," tanya Amel, meskipun sudah melihat diberita, dia ingin menanyakan pada sumbernya langsung. Mungkin juga dengan bercerita, Viola merasa lebih plong. "Om Hendra nggak mungkin ngelakuin hal kayak yang diberitakan kan? Ini cuma hoak."
Viola menggeleng pelan, "Gue juga nggak tahu, Mel. Semalam, pas gue pulang, tahu-tahu udah ada polisi di rumah gue, dan mereka bawa papa. Gue... Gue syok, gue juga nggak percaya kalau papa sampai ngelakuin hal yang dituduhkan itu, ini semua pasti nggak bener!"
"Dan rumah ini..." Viola mengedarkan pandangannya, menatap setiap sudut ruangan kamar yang sudah dia tempati sejak lahir. "Gue akan Kehilangan rumah ini juga."
Keduanya saling menatap, Amel membawa Viola ke pelukannya, membiarkannya menangis di bahunya. Dian ikut mengusap-usap punggung Viola untuk menenangkan.
"Lo jangan ngerasa sendiri, kita akan selalu ada buat Lo." ucap Amel, ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh sahabatnya. "Kalau Lo mau, gue bisa cariin rumah buat Lo."
"Makasih Mel." Viola mengangkat kepalanya, menatap Amel. "Makasih, tapi mungkin gue sama mama akan ikut tinggal di rumah kak Leo dulu untuk sementara."
"Oke, tapi kalau Lo butuh apa-apa atau Lo mau cerita, Lo tinggal bilang aja sama kita-kita."
Viola mengangguk, tersenyum tipis. "Thanks, kalian memang sahabat terbaik."
Mereka kembali berpelukan untuk saling memberikan kekuatan. Sekarang Viola merasa sedikit tenang, setidaknya ada dua sahabatnya yang selalu memberi dukungan. Dan dia tidak merasa sendiri lagi sekarang.
_
_
_
"Memalukan! Orang curang seperti ini mau dijadikan besan. Tidak pantas!"
Arman meletakkan kembali handphonenya diatas meja setelah membaca beberapa artikel tentang penangkapan Hendra semalam. Lisa yang duduk di sampingnya mengambil alih handphone suaminya yang ada diatas meja untuk melihat apa yang baru saja di lihat oleh suaminya itu.
Lisa meletakkan kembali ponsel itu diatas meja, lalu menoleh ke arah Dafa yang sedang duduk di sofa berbeda. "Dafa, kamu nonton tv nya dikamar aja ya? Ini sudah malam. Jangan lupa langsung tidur kalau filmnya sudah selesai, besok kan kamu harus sekolah."
Dafa mengangguk malas, "Ya, Ma."
Setelah memastikan putra bungsunya itu pergi, Lisa kembali menoleh ke arah suaminya. "Mas, kamu tidak boleh bicara seperti itu, pemberitaan itu belum tentu benar."
"Belum tentu benar?" Arman tersenyum kecut, "Kamu lihat sendiri kan pemberitaan yang berseliweran hari ini. Pria itu menggelapkan uang perusahaan, mau jadi apa putra kita kalau berhubungan dengan orang-orang seperti mereka, ini tidak bagus untuk masa depan Raka!"
"Mas! Yang melakukan kejahatan itu papanya, bukan anaknya." Lisa mendesah panjang, berusaha untuk sabar dan tidak terpancing emosi. "Ini tidak ada hubungannya dengan hubungan Raka dan Viola..."
"Jelas berhubungan!" bentak Arman, rautnya semakin kesal. "Putra kita pantas mendapatkan masa depan yang lebih cerah, bukan malah ikut mendapatkan hinaan atas sesuatu yang bukan kesalahannya. Apalagi mereka hanya orang lain, bukan siapa-siapa kita."
"Keputusan Papa sudah bulat. Raka akan Papa jodohkan dengan anak teman Papa. Suka tidak suka, mau tidak mau, Raka harus menerima perjodohan ini." Arman meraih ponselnya dan bergegas bangun, pergi meninggalkan ruang tengah dan masuk ke ruangan kerjanya.
Menyenderkan tubuhnya pada punggung sofa, Lisa menghela napas panjang, kepalanya menengadah ke atas, menatap langit-langit ruang tengah. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Putranya pasti akan kembali menjadi pemberontakan, pembangkang seperti dulu jika mengetahui tentang rencana perjodohan yang sudah disiapkan oleh suaminya.
... ♥️♥️♥️...
.covernya kelar juga akhirnya👏👏
aaah bapak nya Raka pasti ini...
pengen sleding si papa 😠😠😠😠😠
so sweet 😍😍😍😍
sosor terus Raka, tunjukan klo di hati kamu hanya Viola satu satu nya...
kalian udah sama sama dewasa bukan anak SMA lagi yang marahan atau ada masalah malah lari...
hadapi bersama sama... apalagi masalah si Arman itu,selagi Raka gak berpindah hati pasti kamu tetap satu satu nya Vio