Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
EPISODE 19
Voni menatap refleksi dirinya di cermin, sebuah senyuman tipis terukir di bibirnya. Gadis itu mengenakan gaun berwarna cokelat susu yang lembut, rambut panjangnya dibiarkan terurai indah, dan ia menggunakan sepatu hak yang tidak terlalu tinggi, dipadukan dengan tas tangan putih kecil. Wajahnya tidak lupa diolesi riasan tipasan ala Korea yang membuat penampilannya semakin manis dan segar.
“Ternyata aku sangat manis,” ujarnya, melengkungkan bibirnya dengan sempurna. Ia sangat senang dengan paras manisnya hari itu, merasa percaya diri dan siap menghadapi hari Minggu yang cerah. Dengan langkah ringan, ia bergegas menuju rumah Dion, seperti rutinitas mereka setiap Minggu pagi. Ya, mau apa lagi kalau bukan mengajak Dion untuk pergi ke gereja bersama seperti biasanya? Sebuah tradisi yang sudah mereka jalani bertahun-tahun. Namun, baru saja Voni melangkah masuk ke area garasi rumah Dion, gadis itu melihat mobil Dion sudah tidak ada di tempatnya. Senyuman di wajahnya perlahan luntur. Ia segera mencari Dion ke kamarnya, berharap menemukan sahabatnya itu masih tertidur atau bersiap-siap. Akan tetapi, yang ditemuinya malah Mama Dion yang sedang meletakkan segelas jus beri di meja ruang tamu. Ya, seperti biasanya, Mama Dion selalu menyiapkan jus favoritnya setiap Minggu pagi.
“Eh, Tante?” ujar Voni terkejut melihat wanita paruh baya itu. Suasana hatinya yang tadi bersemangat sedikit terguncang.
“Hai, Voni. Wah, kamu sangat cantik, Nak!” ujar ibu paruh baya itu memuji Voni dengan tulus. Gadis itu memang tampak cantik, imut, bahkan manis. Mama Dion merasa Voni adalah paket lengkap yang selalu menyenangkan hati.
“Ah, Tante, selalu saja menggombal,” ujar Voni tersipu malu, pipinya merona tipis. Ia sudah sangat akrab dengan Mama Dion, layaknya anak sendiri.
“Kamu mencari Dion, ya? Dion sudah pergi bersama pacarnya,” ujar Mama Dion dengan nada lembut, namun kalimat itu seketika meruntuhkan senyuman di wajah Voni.
Voni sontak teringat bahwa Dion sudah berpacaran dengan Reta. Sebuah rasa sedih yang tajam menusuk hatinya. Ia mencoba menutupi kekecewaannya, berusaha tetap tersenyum tipis. Gadis itu pun pamit kepada Mama Dion.
“Ya, lupa kalau Dion sudah punya pacar, Tante. Ya sudah, deh, Voni gereja sendiri saja. Terima kasih, ya, Tante, Voni kembali dulu,” ujar Voni sembari mendekat ke wanita paruh baya itu dan menyalimi tangannya. Namun, Mama Dion mencegat Voni untuk pulang, tangannya meraih bahu Voni.
“Mengapa sendiri? Kamu tidak lihat Tante sudah bersiap-siap, nih? Tante, pas tahu Dion pergi bersama pacarnya, langsung berinisiatif untuk gereja bersamamu, Voni,” ujar Mama Dion sembari merangkul sahabat anaknya itu dengan hangat. Voni seketika tersenyum lebar, kebahagiaan menyelimuti kembali hatinya, dan ia membalas rangkulan Mama Dion. Rasa haru dan bersyukur terpancar jelas dari matanya.
“Ih, Tante, terima kasih, ya, heheheh,” ujar Voni dengan sangat senang, suaranya sedikit bergetar karena emosi. Pagi yang tadinya terasa hampa kini kembali cerah.
……………..
Di sisi lain, Dion dan Reta sudah dalam perjalanan pulang dari gereja. Dion merasa sedikit bingung. Setelah gereja, baiknya ke mana? Ia harus mencari tempat yang romantis namun tenang, tempat yang bisa mereka nikmati bersama. "Apa mereka menonton bioskop saja, ya?" pikir Dion, idenya terdengar menarik. Dion pun menanyakan kepada Reta apakah dia setuju atau tidak dengan ide tersebut.
“Sayang, setelah ini kamu mau menonton bioskop, tidak?” tanya Dion sambil menggenggam tangan Reta erat. Reta tersenyum manis melihat perlakuan prianya itu, hatinya menghangat karena perhatian Dion.
“Ingin sekali, Sayang, hanya saja hari ini aku harus cuci darah,” ujar Reta, menatap wajah Dion dengan senyuman yang sedikit getir. Ada bayangan kesedihan di matanya, namun ia berusaha menyembunyikannya.
“Oh, kamu hari ini ada jadwal ke rumah sakit, ya? Ya sudah, aku temani, ya,” ucap Dion, nada suaranya berubah menjadi khawatir dan penuh perhatian. Rencana romantisnya seketika buyar, tergantikan oleh rasa cemas.
“Tidak usah. Nanti Voni mencarimu, kamu tahu. Aku juga sudah ada Bibi yang mengasuhku, dan nanti sopir Papa aku juga akan datang ke apartemen,” ujar Reta memberi penjelasan, mencoba meyakinkan Dion. "Ya, Voni." Nama itu seketika memicu kesadaran Dion. Ia lupa mengabari gadis kecil di matanya itu.
“Astaga! Iya, aku lupa mengabari Voni kalau aku gereja bersamamu. Orang tua Voni kan pergi, aduh, celakalah aku,” ujar Dion tersadar dan merasa bersalah, raut wajahnya menunjukkan kepanikan yang mendadak. Ia tahu Voni akan menunggunya, dan pasti akan merasa khawatir atau kecewa.
“Ya sudah, silakan kamu pergi saja. Nanti aku sama Bibi naik ojek saja,” ujar Reta, memberikan izin kepada Dion dengan senyum tulus, menunjukkan pengertiannya. Reta tidak ingin menjadi beban bagi Dion. Namun, Dion menggelengkan kepalanya tegas.
“Tidak, Reta, aku mengantar kamu dulu, Sayang, baru aku kembali. Ayo,” ujar Dion yang sudah berada di dekat mobil dan membukakan pintu mobilnya untuk Reta. Raut wajah Reta seketika berubah cerah, hatinya dipenuhi rasa senang yang meluap-luap. Ia merasa diperlakukan layaknya seorang putri, seperti orang yang benar-benar berpacaran. Dion memperlakukannya seakan-akan Reta memang istimewa di hatinya, padahal satu sekolah tahu kalau Dion itu suka kepada Voni. Mungkin jika ada satu hal yang Reta syukuri dalam hidupnya, mungkin Dion salah satunya. Kehadiran Dion adalah keajaiban tak terduga yang mengisi hari-harinya.
Setelah semuanya masuk, Dion pun melajukan mobilnya dengan tenang, menghidupkan lagu rohani yang mengalun syahdu. Reta melihat beberapa jepit rambut dan ikat rambut ada di mobil Dion. "Mungkin itu punya Voni," batinnya, sebuah pikiran yang melintas tanpa rasa cemburu, hanya sebuah pengingat akan kehadiran Voni dalam hidup Dion. Reta menikmati perjalanannya, memejamkan mata sesaat, meresapi setiap detik kebersamaan itu. Ia bahkan merasa tidak akan melupakan hari itu.
Namun, seketika Voni merasa pusing yang menusuk, dan gadis itu juga merasa ada sesuatu yang keluar dari hidungnya. Sontak ia mengambil tisu, dan ya, seperti beberapa hari terakhir, yang keluar adalah darah. Mimisan kembali menyerang. Dion menyadarinya melalui pantulan di kaca spion, begitu juga pengasuh Reta yang duduk di kursi belakang. Ekspresi Dion seketika berubah menjadi serius, fokusnya beralih dari jalanan ke kondisi Reta.
“Sepertinya kita langsung ke rumah sakit saja, ya,” ujar Dion, memegang tangan kanan Reta dengan satu tangan sementara tangan sebelahnya lagi fokus menyetir. Reta menghapus darah yang ada di hidungnya dengan tangan kirinya dan menggelengkan kepalanya.
“Tidak, Dion, kamu harus kembali. Kasihan Voni menunggumu pastinya.” Voni masih memikirkan Dion dan Voni. Namun, Dion menggelengkan kepalanya lagi, lebih tegas.
“Tidak, Reta, kamu harus diantar ke rumah sakit. Voni juga akan paham hal ini,” ujar Dion dengan lembut namun bersikeras, tidak ada ruang untuk perdebatan. Pengasuh Reta juga mendukung keputusan Dion, mengangguk setuju. Akhirnya Reta pun mengizinkan Dion mengantar mereka ke rumah sakit, hatinya sedikit lega karena Dion begitu peduli.