Di tengah derasnya hujan di sebuah taman kota, Alana berteduh di bawah sebuah gazebo tua. Hujan bukanlah hal yang asing baginya—setiap tetesnya seolah membawa kenangan akan masa lalunya yang pahit. Namun, hari itu, hujan membawa seseorang yang tak terduga.
Arka, pria dengan senyum hangat dan mata yang teduh, kebetulan berteduh di tempat yang sama. Percakapan ringan di antara derai hujan perlahan membuka kisah hidup mereka. Nayla yang masih terjebak dalam bayang-bayang cinta lamanya, dan Arka yang ternyata juga menyimpan luka hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindi Tati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 28
Halaman 28
Hujan di Ujung Pertanyaan
Malam setelah pentas seni itu, Nayla berbaring di kamarnya. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya jauh dari kata tenang. Suara hujan di luar jendela seakan menyanyikan lagu sendu yang menambah resah hatinya. Ia menggenggam buku harian yang selalu setia menjadi tempat curhatnya.
Tangannya menulis perlahan:
“Hari ini seharusnya menjadi hari paling bahagia. Anak-anak tampil dengan luar biasa, penonton senang, aku bangga. Tapi hatiku tetap kosong. Aku ingin Arka ada sejak awal, bukan hanya di akhir. Aku takut, semakin lama aku akan terbiasa sendiri. Apakah cinta bisa bertahan hanya dengan janji?”
Air matanya menetes, membasahi kertas. Ia menutup buku itu cepat-cepat, lalu memeluk bantalnya. Di kepalanya, wajah Arka muncul jelas. Senyumnya, tatapan matanya, pelukan hangatnya—semua masih membuat Nayla merasa dicintai. Tapi bayangan kosong di kursi penonton sore tadi juga menorehkan luka.
Keesokan paginya, Arka mengajak Nayla sarapan di sebuah kafe kecil dekat stasiun. Ia ingin menebus rasa bersalah.
“Nay, aku tahu aku salah. Aku telat, aku bikin kamu kecewa. Tapi aku beneran berusaha. Aku nggak main-main soal kita,” katanya sambil menatapnya serius.
Nayla menatap secangkir teh hangat di depannya, enggan bertemu mata dengan Arka. “Aku ngerti, Ka. Aku tahu kamu berusaha. Tapi aku juga manusia. Aku butuh kamu hadir, bukan cuma janji.”
Arka terdiam. Kata-kata itu menohok, karena ia tahu Nayla benar. Namun, ia juga merasa terjebak dalam situasi sulit. “Aku nggak bisa ninggalin kerjaanku, Nay. Tapi aku juga nggak bisa ninggalin kamu. Aku pengen keduanya berjalan.”
“Pertanyaannya,” Nayla mendongak, menatapnya dengan mata berkaca-kaca, “apa aku kuat jalan bareng kamu dalam keadaan kayak gini? Apa aku bisa terus nunggu, terus nerima telatmu, terus percaya kamu bakal pulang? Aku takut lama-lama aku sendiri yang hancur.”
Arka menggenggam tangannya di atas meja. “Nay, jangan ngomong gitu. Kita bisa cari cara. Aku bisa ajak kamu ke Jakarta, kamu bisa buka sanggar di sana.”
Nayla terhenyak. “Dan ninggalin semua anak-anak di sini? Ninggalin mimpi yang udah aku bangun dari nol? Itu bukan aku, Ka. Aku nggak bisa.”
Hening meliputi meja itu. Di luar, langit mendung, seakan ikut menimbang beratnya percakapan mereka.
Beberapa hari kemudian, Nayla kembali sibuk di sanggar. Anak-anak masih antusias membicarakan pentas, sebagian meminta kapan lagi mereka bisa tampil. Melihat semangat itu, hati Nayla terasa hangat. Ia tahu, inilah tempatnya. Inilah hidup yang ia pilih.
Namun setiap malam, saat hujan turun, rasa rindu pada Arka selalu mengetuk. Ia ingin Arka ada di sampingnya, mendengar cerita sederhana, berbagi tawa sebelum tidur. Tapi yang ada hanya layar ponsel dengan suara Arka di seberang.
Suatu malam, setelah panggilan video, Nayla menutup ponselnya dengan mata sembab. Ia berbicara sendiri dalam keheningan kamar, “Aku sayang kamu, Ka. Tapi kenapa rasanya aku semakin sendiri?”
Arka pun tidak kalah tersiksa. Di apartemennya yang sepi di Jakarta, ia sering termenung menatap hujan dari balik kaca jendela. Bayangan Nayla selalu muncul. Ia ingin pulang, ingin ada di sisinya. Namun tanggung jawab pekerjaan menahannya.
Dalam hati kecilnya, ia mulai bertanya: Apakah aku egois memaksakan Nayla bertahan? Apakah cinta ini justru menyakitinya?
Suatu malam, ia menelepon Nayla. Suaranya terdengar ragu. “Nay, kalau aku nggak bisa kasih kamu kebahagiaan sekarang, apa kamu masih mau bertahan sama aku?”
Pertanyaan itu membuat Nayla terdiam lama. Hujan deras di luar jendela menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Ia ingin menjawab “iya”, tapi lidahnya kelu. Ia takut berbohong pada dirinya sendiri.
Akhirnya, ia berkata pelan, “Ka, aku pengen bahagia sama kamu. Tapi aku juga nggak mau kehilangan diriku sendiri.”
Kalimat itu menggantung di udara, menyisakan luka dan ketidakpastian.
Malam semakin larut. Hujan terus turun, seakan tak ingin berhenti. Nayla menatap keluar jendela, membiarkan air matanya jatuh tanpa perlawanan.
“Cinta di bawah hujan…” batinnya, “…selalu indah, tapi juga selalu menyakitkan. Sampai kapan aku sanggup?”
Di sisi lain kota, Arka menatap langit yang sama. Hatinya digelayuti pertanyaan yang sama beratnya.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk bertahan? Atau justru hujan akan menjadi pertanda perpisahan?