berfokus pada kisah Satya, seorang anak dari mantan seorang narapidana dari novel berjudul "Dendamnya seorang pewaris" atau bisa di cek di profil saya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nemonia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
"Silakan." Alexa meletakkan segelas minuman ke atas meja di depan Satya. Saat ini keduanya telah berada di rumah Alexa.
Sebelumnya, Satya mengantar Alexa pulang karena wanita itu lupa mematikan kompor. Dan saat mereka sampai di rumah, panci Alexa telah nyaris habis. Untung saja tidak terjadi kebakaran.
"Kau hanya tinggal dengan ayamu?" tanya Satya.
Alexa yang baru saja duduk menjawab, " Sebenarnya aku punya pembantu. Tapi hari ini dia minta izin pulang. Dia bilang anaknya sakit."
Satya hanya diam sampai akhirnya perhatiannya teralihkan pada ponselnya yang berdering. Mengambil ponsel dari saku celana, diangkatnya panggilan dari Faro.
["Mobilnya sudah selesai."]
Saat ini Faro tengah berada di bengkel. Sebelumnya ia membawa mobil Alexa dan Satya yang mengantar Alexa pulang. Seperti keinginan Alexa, ia berhasil membuat Satya mengantarnya ke rumah. Bahkan drama lupa mematikan kompor adalah bagian dari rencananya agar punya lebih banyak waktu dengan Satya dan memperakrab hubungan mereka.
"Hm. Aku share loc," jawab Satya kemudian mematikan sambungan telepon dan mengirim lokasinya saat ini.
"Maaf, ya, jadi merepotkan kalian terutama Faro," ucap Alexa dengan menyelipkan anak rambut ke belakang telinga.
Hanya gumaman tak jelas yang lolos dari mulut Satya. Jika bukan karena menunggu Faro, ia sudah bergegas pulang.
Sementara itu di tempat lain, tepatnya di rumah Shintia, ia tengah duduk termenung di tepi ranjang. la masih memikirkan apa yang baru saja dialaminya juga ucapan Raska yang membuatnya tertohok.
Perlahan Shintia merebahkan tubuhnya dalam posisi miring. Kedua tangannya menyatu dan dijadikannya bantal pipi di mana arah tatapannya yang kosong mengarah ke arah jendela kamarnya. la masih tak mengerti kenapa Yoga tak mau menemuinya. Sekarang kepalanya terasa penuh memikirkan pikiran-pikiran itu.
Prang!
Shintia begitu terkejut hingga bangun menegakkan punggungnya saat kaca jendelanya pecah karena sebuah batu yang kini teronggok di lantai. Batu sebesar kepalan tangan itu terbungkus sebuah kertas yang sontak membuat Shintia gemetar ketakutan.
Shintia segera mengambil ponselnya di tas nakas dekat tempat tidur dan menghubungi Satya.
["Halo. Ada apa, Bu?"]
"Sat, kau di mana? Sudah mau pulang?" tanya Shintia dengan suara bergetar. la tidak mau langsung mengatakan apa yang terjadi tak ingin Satya khawatir.
["Apa yang terjadi? Suara ibu seperti orang ketakutan."]
"Sat, bisa kau segera pulang?"
Di tempat Satya, ia segera bangkit dari duduknya membuat Alexa terheran.
"Aku harus segera pergi. Ibu menyuruhku pulang," ucap Satya setelah mematikan sambungan telepon.
"Eh? Tapi Faro belum sampai," cegah Alexa.
"Nanti kalau dia sudah sampai, suruh pulang naik taksi." Setelah mengatakan itu, Satya bergegas karena khawatir dengan sang ibu.
Alexa berdiri di depan rumah menatap kepergian mobil yang Satya kemudikan. Padahal ia ingin bicara lebih banyak dengan Satya tapi kesempatan yang telah ia atur serapi mungkin ini tak dapat ia manfaatkan dengan baik.
Dalam perjalanan, Satya menghubungi Faro mengatakan apa yang terjadi dan menyuruhnya pulang sendiri nanti. Dan tentu saja Faro mengerti.
["Baiklah. Aku bisa pesan taksi nanti. Kau berhati-hatilah. Meski khawatir jangan terlalu gegabah saat mengemudi."]
Setelahnya panggilan terputus dan Satya kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Tak berselang lama akhirnya Satya sampai di rumah. la pun segera bergegas mencari ibunya dan benar saja, ia menemukan sang ibu meringkuk di tempat tidurnya.
"Ada apa, Bu?!" tanya Satya dengan panik saat telah berdiri di sisi ranjang. la masih melihat tangan ibunya gemetar.
"Seseorang melempar batu, Sat," ujar Shintia dengan menunjuk batu terbungkus sebuah kertas yang tak berani disentuhnya.
Melihat itu, Satya segera mengambil batu itu dan melihat isi tulisan pada kertas.
"Mati." Adalah satu kata yang tertulis.
"A- apa isinya, Sat?" tanya Shintia.
Satya hanya diam dan meremas kertas itu kemudian membuka jendela dan membuang batu tersebut. Setelahnya ia kembali menghampiri sang ibu dan mengatakan, "Bukan apa-apa, Bu. Ini hanya coretan anak kecil." la sengaja berbohong tak ingin membuat ibunya kian ketakutan jika sebenarnya kertas itu berisi ancaman. Dan lagi, ia penasaran, siapa yang telah melakukan ini.
"Ka- kau yakin, Sat?" tanya Shintia kembali.
Satya mengangguk kemudian memasukkan kertas itu ke dalam saku celana. la pun duduk di samping Shintia.
"Sudah, ibu tak perlu khawatir. Sepertinya itu ulah anak kecil yang iseng," ucap Satya kembali untuk meyakinkan ibunya.
Shintia mengangguk pelan kemudian menceritakan apa yang baru dialaminya di taman.
"Sat, tadi seseorang ingin merampok ibu saat ibu di taman. Tapi ada seseorang yang menyelamatkan ibu."
"Apa? Lalu apa yang terjadi dengan ibu? Ibu baik-baik saja, kan?!" tanya Satya dengan cemas. Diperhatikannya sang ibu dengan seksama jikalau ibunya terluka.
Shintia menggeleng. "Tidak, Sat. Ibu baik-baik saja. Saat itu ibu pingsan karena takut melihat perampok itu berdarah. Pria yang menolong ibu membenturkan kepalanya ke tanah." Shintia bergidik saat mengatakannya. Ia mengingatnya dengan jelas dan teringat kejadian di masa lalu. " Setelah itu ibu pingsan dan saat bangun, Raska yang ada di sana, yang membangunkan ibu."
"Jadi, paman Raska yang menolong ibu?"
"Ibu tidak tahu. Pria yang menolong ibu memakai masker dan topi," jawab Shintia. la mencengkram kuat tangan Satya saat sebuah pikiran terlintas. "Bagaimana jika sebenarnya perampok itu ada hubungannya dengan pelemparan batu ini? Seseorang hendak mencelakai ibu, meneror ibu."
"Bu, jangan berpikir yang tidak-tidak. Lagipula baru kali ini kejadian ini terjadi, bukan? Ini hanya kebetulan. Sudah, ibu jangan terlalu memikirkannya ," bujuk Satya agar sang ibu lebih tenang. "
Bagaimana tadi? Ibu menjenguk ayah," tanya Satya berniat mengalihkan pembicaraan. Sayangnya, ia justru melihat raut wajah ibunya menjadi sendu.
"Ayahmu tidak ingin menemui ibu," lirih Shintia.
"Apa?" Satya terkejut mendengarnya. Ini aneh, padahal sebelumnya tidak pernah kecuali saat di awal-awal Yoga di penjara. Tak ingin melihat kesedihan sang ibu, Satya kembali membujuk ibunya agar berpikir positif. "Mungkin ada sesuatu yang membuat ayah melakukan itu. Ibu jangan terlalu memikirkannya. Besok ibu ke sana lagi, aku yakin ayah pasti akan menemui ibu."
"Ibu tidak tahu kenapa, tapi perasaan ibu tidak enak. Kemarin juga ayahmu tidak ingin menemui ibu, meski pada akhirnya ayahmu menemui ibu. Ibu merasa cemas dan takut, tapi ibu tidak tahu apa yang tengah ibu takutkan dan cemaskan. Ada kekhawatiran setiap kali ayahmu tidak mau menemui ibu. Apakah menurutmu ibu terlalu berlebihan?"
Shintia mengutarakan apa isi hatinya, mengatakan apa yang ia pikirkan dan rasakan. Setidaknya dengan bercerita, ia bisa mengurangi kerisauan yang ia rasa.