NovelToon NovelToon
PAIJO, GIGOLO MENCARI CINTA

PAIJO, GIGOLO MENCARI CINTA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Dikelilingi wanita cantik / Mengubah Takdir / Kebangkitan pecundang / Harem
Popularitas:7k
Nilai: 5
Nama Author: CACING ALASKA

Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.

Senjata andalannya adalah Alvarez.

***

Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

19. Lubang Waktu yang Menyiksa

Setiap kali klien menyentuhnya… setiap kali Claudia memanggil namanya sambil memejamkan mata… Paijo merasa seperti tenggelam lebih dalam ke dalam sumur gelap yang semakin sulit untuk dipanjat kembali.

Ia mulai bermimpi buruk. Tentang dirinya di atas panggung, ditonton ratusan orang dengan tubuh telanjang dan wajah ditutup topeng. Dan di tengah kerumunan, berdiri Suzy… memandangnya dengan mata kecewa.

Malam itu, Claudia kembali menghubunginya.

“Datang ke apartemenku. Sekarang. Aku butuh kamu.”

Tapi Paijo memandangi notifikasi itu dengan tangan gemetar.

Ia menutup matanya.

Memikirkan Mbok Sarni.

Lalu memikirkan Suzy.

Lalu dirinya sendiri—yang tak pernah tahu bagaimana caranya berkata “tidak”.

Satu jam kemudian, ia sudah duduk di mobil menuju apartemen Claudia. Tapi untuk pertama kalinya, Paijo mengirim pesan pendek.

"Besok aku mau ke kampung. Menengok Mbok Sarni. Beberapa hari nggak bisa dihubungi."

Claudia tidak membalas.

Tapi dalam hati Paijo, ada sesuatu yang muncul perlahan… semacam keberanian kecil yang tumbuh seperti tunas di tanah becek: harapan bahwa suatu hari, dia bisa benar-benar berhenti.

Benar-benar bebas.

Dan bisa kembali… jadi Mas Paijo-nya Mbak Suzy.

...****************...

Petang baru saja menguasai langit ketika bus tua berhenti di tikungan pasar Wonosari. Paijo turun dengan ransel di punggung dan masker yang masih menempel, meski udara desa tak mengenal polusi. Angin membawa aroma tanah basah dan suara jangkrik menyambutnya seperti teman lama.

Ia menarik napas dalam-dalam.

Sudah lama sekali dia tak kembali ke sini—ke jalanan sempit dengan warung kopi di tikungan, ke lapangan bola tempat ia dulu bermain tanpa alas kaki, ke deretan rumah kayu yang catnya mulai pudar tapi penuh kenangan.

Kampung kecil ini seolah tidak berubah. Tapi Paijo tahu, dirinya sudah jauh berubah. Mungkin terlalu jauh.

Mbok Sarni menyambutnya di ambang pintu dengan kain jarik dan suara serak yang sudah lama tak ia dengar.

"Lho, Le... kok pulang ora ngabar-ngabari dhisik?"

Paijo menunduk dan memeluk wanita tua itu erat. Pelukannya terasa lebih dalam daripada biasanya, seperti ingin mengambil kembali semua waktu yang telah hilang.

“Pengen ketemu Mbok,” jawabnya pelan. “Aku kangen.”

Mbok Sarni menepuk-nepuk punggungnya sambil tersenyum. “Kowe kelaparan? Mbok masakke sayur asem karo tempe goreng kesukaanmu.”

Mereka duduk di ruang tengah. Radio butut di pojokan masih setia memutar tembang campursari. Paijo memandangi interior rumah yang hampir tak berubah. Meja kayu bulukan, foto keluarga di dinding, dan kalender dari koperasi simpan pinjam dua tahun lalu.

Di sinilah ia tumbuh.

Di sinilah ia pernah bermimpi jadi orang sukses di kota besar.

Dan di sinilah ia sekarang… kembali membawa luka yang tak bisa ia bagi.

Malam itu, setelah makan malam dan Mbok Sarni tidur, Paijo duduk di teras.

Langit desa cerah. Ribuan bintang seperti berlomba menatapnya.

Ia menyalakan rokok linting, sesuatu yang hanya ia lakukan ketika benar-benar gelisah. Ia memejamkan mata, dan bayangan demi bayangan datang menghantam pikirannya.

Bayangan tubuhnya sendiri di ranjang hotel.

Bayangan Claudia yang memeluknya dengan mata penuh obsesi.

Bayangan Suzy… duduk di lantai depan apartemennya, dengan mata sembab dan suara retak.

"Mas Paijo nggak kayak dulu."

"Apa Mas bener-bener kembali ke dunia itu?"

Paijo menunduk.

Giginya merapat.

Dadanya sesak.

“Gusti Allah… aku kudu piye?” gumamnya dalam bahasa Jawa lirih.

Ia ingin berhenti. Tapi hidup tak pernah sesederhana itu.

Ada Claudia, ada ancaman soal Mbok Sarni.

Dan ada dirinya sendiri—yang telah terlalu lama hidup dalam kebohongan.

Esok paginya, Mbok Sarni duduk di teras dengan teh manis dan kacang rebus.

“Kowe kerasa capek, yo, Le?”

Paijo hanya mengangguk. Lalu menatap wanita tua itu lama. “Mbok... misalnya, aku pingin ganti urip... ning metu saka jurang sing peteng banget... iso, to?”

Mbok Sarni memicingkan mata, lalu tertawa pelan. “Le, selama kowe isih urip, Gusti Allah isih maringi dalan. Kowe kudu wani milih.”

“Tapi pilihan ku nyakitin orang, Mbok... nyakitin wong sing aku tresnani...”

Mbok Sarni menatap langit, lalu mengelus kepala cucunya itu.

“Sing penting kowe jujur, Le. Kadang, jujur kuwi luwih penting ketimbang dadi sempurna.”

Paijo menunduk.

Tangannya mengepal.

Di hatinya, suara kecil mulai berbicara:

Suzy berhak tahu siapa diriku. Bahkan kalau akhirnya dia ninggalin aku... setidaknya aku berhenti jadi pengecut.

Tiga hari kemudian.

Paijo berdiri di stasiun bus, ransel kembali di punggungnya. Ia menatap bukit di kejauhan dan mendesah pelan.

“Matur nuwun, Mbok…” bisiknya dalam hati.

Dia tak tahu apa yang menantinya di Jakarta.

Tapi untuk pertama kalinya, dia merasa siap menghadapi semuanya—termasuk kebenaran yang selama ini ia hindari.

Apapun yang terjadi, dia ingin menjadi Mas Paijo lagi.

Bukan Joe Gregorius.

Bukan Alvarez.

Tapi lelaki kampung yang punya keberanian untuk mencintai dengan jujur.

Sudah dua hari sejak Paijo kembali ke Jakarta. Langkahnya terasa lebih ringan, meski hatinya masih dihimpit gelisah. Ia belum bertemu Suzy. Belum membicarakan kebenaran. Tapi ia sudah bersiap. Sudah siap menjadi lelaki yang tidak sembunyi lagi.

Namun kenyataan, seperti biasa, bukan hal yang lunak.

Pagi itu, apartemennya diketuk. Bukan oleh kurir makanan, bukan oleh Suzy.

Tapi Claudia.

Wanita itu berdiri di ambang pintu dengan blazer mahal dan lipstik warna darah anggur. Matanya menyipit, senyumnya tajam. Di tangannya, sebuah tas Hermes tergantung, seperti pertanda bahwa ia datang bukan sebagai teman.

“Bisa aku masuk, Alvarez?” katanya dengan nada sinis. “Atau… harus kuundang polisi karena kamu melanggar kontrak eksklusif sebagai properti Claudia Mayesa?”

Paijo mengerutkan dahi. “Saya enggak melanggar apa-apa. Saya cuma pulang ke kampung. Mbok Sarni—”

“Stop,” Claudia mengangkat tangan. “Jangan mainkan kartu ‘ibu tua yang sakit’ lagi. Aku tahu kamu ke kampung tanpa izin. Dan aku juga tahu... kamu mulai berniat keluar dari dunia kita.”

Paijo terdiam.

Claudia melangkah masuk tanpa diundang. Sepatunya berdetak-detak keras di lantai kayu. Ia berdiri di depan jendela apartemen, lalu membuka gorden seolah ia pemilik tempat itu.

“Kamu pikir aku bodoh, Paijo?” katanya dingin. “Sejak kamu kerja di toko buku itu, aku sudah tahu ada yang berubah. Lalu kamu memutuskan pergi ke desa diam-diam. Lalu—surprise!—kamu kembali dengan tatapan kosong penuh pertobatan. Kamu pikir aku akan diam saja?”

Paijo menarik napas panjang. “Madam... saya capek.”

“Semua orang capek!” Claudia membalikkan badan dengan suara meninggi. “Tapi kita semua punya tanggung jawab! Kamu milikku, Alvarez. Kita punya kontrak. Aku yang mengorbitkanmu, mengangkatmu dari gigolo kampung jadi primadona elite!”

“Saya nggak minta itu,” jawab Paijo lirih.

“Oh ya?” Claudia melangkah mendekat. “Tapi kamu nikmati semuanya, bukan? Mobil, uang, hotel bintang lima, klien kaya, jam tangan mewah, dan… tubuhku.”

Paijo memejamkan mata. Ia merasa muak. Muak pada dirinya sendiri. Pada hidup palsu yang ia jalani. Pada dunia di mana cinta diperdagangkan dan kelembutan adalah akting.

“Madam, saya mau berhenti,” katanya akhirnya. “Saya sudah cukup. Saya nggak mau jual diri lagi. Saya nggak peduli film atau proyek apapun itu. Saya cuma mau hidup sebagai diri sendiri.”

Claudia tertawa sinis. “Dan jadi apa? Tukang bersihin rak buku di toko sewaan? Atau… lelaki bodoh yang dikhianati wanita UI yang bahkan tak tahu siapa dirimu sebenarnya?”

Nada itu membuat darah Paijo mendidih.

“Jangan bawa-bawa Mbak Suzy,” katanya dengan rahang mengeras.

Claudia melipat tangan. Matanya memicing penuh ancaman.

“Oke. Kalau kamu benar-benar mau berhenti, Paijo... aku akan pastikan Suzy tahu semuanya. Mulai dari siapa itu Alvarez, hingga setiap klien yang pernah kamu layani. Aku punya video. Aku punya catatan. Kamu pikir bisa menyembunyikan semuanya darinya?”

Paijo terdiam. Dunia seakan berhenti berputar sejenak.

Dia menatap Claudia—wanita ambisius, terluka, dan berbahaya.

“Kenapa kamu ngelakuin ini?” gumam Paijo lirih. “Apa karena kamu… cemburu?”

Claudia mendekat. Tangannya mengelus pipi Paijo, tapi bukan dengan kelembutan. Dengan tatapan penuh luka.

“Kamu mirip dengan seseorang dari masa laluku, Paijo. Lelaki pertama yang membuatku percaya cinta itu nyata. Tapi dia pergi... dan sekarang, kau menggantikan tempat itu. Aku tidak akan kehilangan dua kali.”

Paijo menepis tangan itu dengan halus.

“Saya bukan dia, Madam. Saya bukan milikmu. Dan saya bukan Alvarez selamanya.”

Claudia terdiam.

Tatapannya berubah. Dari kemarahan menjadi kesedihan yang dalam. Tapi hanya sejenak.

“Baiklah,” katanya pelan. “Aku beri kau waktu tiga hari. Kalau dalam tiga hari kau benar-benar keluar dari semua kontrak, dan tidak kembali padaku... maka bersiaplah. Suzy akan tahu siapa dirimu. Dunia akan tahu.”

Lalu dia berjalan keluar. Tak ada pelukan. Tak ada salam perpisahan. Hanya ancaman yang menggantung seperti guillotine di atas kepala Paijo.

Paijo terduduk di sofa, menatap tangannya sendiri. Dulu tangan itu bekerja di sawah, menanam padi. Membantu Mbok Sarni menggoreng bakwan. Lalu berubah jadi alat penjualan nafsu.

Kini ia hanya ingin tangan itu menggenggam satu hal saja — tangan Suzy, dalam kejujuran.

Tapi tiga hari terasa seperti lubang waktu.

Dan Paijo tahu, waktunya nyaris habis.

...🪱CACING ALASKA MODE🪱...

1
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
sakarepmu clau🙄
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
lubang bikinan ondel
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
cincin satu"nya petunjuk pun dh hilang
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
jgn bilang Paijo saudara tiri Suzy 🤔🤐
¢ᖱ'D⃤ ̐NOL👀ՇɧeeՐՏ🍻
pdhl aku berharap sakitnya mbok Sarni cuma rekayasa Claudia. tp rupanya.,🤔🤐
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦NOL
duhh gustiii gini amat
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦NOL
karepmu nyemplung dewe Joo
jgn salahkan Suzy aelahh
༄༅⃟𝐐Dena🌹
Sedikit demi sedikit identitas paijo mulai terkuak.

next nell, semakin menarik 😁😁😁
ᝯׁ֒ꫀׁׅܻ݊ᥣᥣіᥒꫀׁׅܻ݊༅𝐎𝐅𝐅🪭
Bagus ceritanya~~~
Tpi bikin greget 😭
Jo terlalu pasrah bet, Jo ga boleh lemah ya kudu kuat lawan dong itu si lambe turah claudia jan mau dijadiin bonekanya😭😭
ᝯׁ֒ꫀׁׅܻ݊ᥣᥣіᥒꫀׁׅܻ݊༅𝐎𝐅𝐅🪭
jan*

adududu typoku selalu tidak tau tempat🚶‍♀️
ᝯׁ֒ꫀׁׅܻ݊ᥣᥣіᥒꫀׁׅܻ݊༅𝐎𝐅𝐅🪭
Nah kan bilang Claudia itu selirnya om Andi😱😱
ᝯׁ֒ꫀׁׅܻ݊ᥣᥣіᥒꫀׁׅܻ݊༅𝐎𝐅𝐅🪭
gubrak😱
bagai petir disiang bolong faktanya😱😱
༄༅⃟𝐐Dena🌹
wah, Claudia pemegang semua kartu paijo, termasuk ibu paijo juga sepertinya 😁😁😁
༄༅⃟𝐐Dena🌹
masuk akal, cincin sdh hilang, karena orang desa ga terlalu ngurusi ngunu kuwi /Joyful//Joyful//Joyful/
༄༅⃟𝐐Dena🌹
pantess, visualnya aduhai, tidak seperti orang desa yg lain, anak ningrat toh😁😁😁
༄༅⃟𝐐Dena🌹
laah diberi teanslate /Joyful//Joyful//Joyful/
▀▄▀▄🪱CACING ALASKA🪱▄▀▄▀: harusnya aman 🙄🙄
༄༅⃟𝐐Dena🌹: nanti double enggak?
total 3 replies
ᝯׁ֒ꫀׁׅܻ݊ᥣᥣіᥒꫀׁׅܻ݊༅𝐎𝐅𝐅🪭
kpan Jo bisa tegas sedikit masa mau jdi patungnya Claudia terus😭
gemes sndiri kan jdinya 😶😶
ᝯׁ֒ꫀׁׅܻ݊ᥣᥣіᥒꫀׁׅܻ݊༅𝐎𝐅𝐅🪭
udah setaun aja ga ada kabar couple hts kita~
🍃⃝⃟𝟰ˢ🫦NOL: cieeee
total 1 replies
ᝯׁ֒ꫀׁׅܻ݊ᥣᥣіᥒꫀׁׅܻ݊༅𝐎𝐅𝐅🪭
wah gilakkk😭🫵

Lu yg terobsesi sama Paijo peak itu bukan cinta lagi namanya dari mana juga pengorbanan disitu 🤯
ᝯׁ֒ꫀׁׅܻ݊ᥣᥣіᥒꫀׁׅܻ݊༅𝐎𝐅𝐅🪭
cih penyelamat paan si claudia😒
yg ada dia tuh yg makin memperkeruh keadaan paijo🚶‍♀️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!