Noah Wisesa, pewaris konglomerat properti, terjebak dalam perjodohan demi bisnis keluarga. Saat dari rumah usai bertengkar dengan sang ibu, dia justru menabrak Ivy Liora—mantan rekan kerja yang kini berubah menjadi perempuan penuh tuntutan dan ancaman. Untuk menyelamatkan reputasi, Noah menawarkan pernikahan kontrak selama satu tahun.
Ivy menerima, asal bayarannya sepadan. Rumah tangga pura-pura mereka pun dimulai: penuh sandiwara, pertengkaran, dan batasan. Namun perlahan, di balik segala kepalsuan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Ketika cinta mulai mengetuk, masa lalu datang membawa badai yang menguji: apakah mereka masih bertahan saat kontrak berubah jadi rasa yang tak bisa dituliskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Tak Ingin Rapuh
Perlahan suara Gendis menjauh. Setelah memastikan Gendis benar-benar pergi, Noah kembali muncul. Dia berjalan gontai dan masuk ke kamar.
Lelaki tersebut mendapati Ivy sedang meringkuk di atas kasur. Langkahnya senyap, tetapi hati dan pikirannya berisik. Hatinya begitu sakit ketika mendapati Ivy tertidur dalam keadaan mata yang basah.
"Vy, sudah tidur?" tanya Noah sambil mendaratkan bokong ke tepi ranjang.
Ivy mulai menggeliat. Matanya terlihat merah dan sembab. Bibirnya gemetar, bukan karena lipstik melainkan isak yang ditahan.
"No, bagaimana bisa aku tidur saat orang lain mengancamku dengan surat kontrak pernikahan kita?" Suara Ivy mulai bergetar.
Perempuan tersebut mati-matian menahan tangis agar tak terlihat rapuh. Namun, begitu Noah menariknya ke dalam pelukan, pertahannya runtuh. Ivy menangis sejadi-jadinya.
"Maafkan aku, No. Aku tidak sekuat itu menahan tekanan yang Gendis berikan. Bagaimana dia bisa menemukan dokumen sepenting itu."
Noah seakan tertampar. Rasa bersalah kini menghantam dadanya. Lelaki tersebut menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
"Kamu nggak salah,Vy. Aku yang teledor. Seharusnya aku tidak meninggalkan dokumen penting dan meminta Gendis mengambilnya. Aku juga sudah menyepelekan kontrak itu sehingga hanya meletakkannya begitu saja di dalam laci. Aku yang salah. Maaf," Noah menghujani Ivy dengan ciuman pada puncak kepalanya.
Ivy mendongak menatap Noah. Jemari Noah mulai menghapus sisa tangis sang istri. Tatapan keduanya seakan tengah bicara bahwa semua akan baik-baik saja. Mereka saling menguatkan dalam diam.
"Bagaimana ini, No? Saat kita ingin melangkah jauh dan lebih serius, kenapa mereka berusaha menghancurkan kita. Seakan orang tidak ingin aku hidup bahagia. Apa dosaku di kehidupan sebelumnya sehingga hanya luka yang kudapatkan di kehidupan sekarang." Lagi-lagi air mata Ivy mengalir, suaranya bergetar, dan perempuan itu tampak sangat rapuh.
"Aku akan cari cara untuk menyelesaikan semuanya." Noah kembali memberikan pelukan kepada Ivy.
Malam itu keduanya hanya bisa saling menguatkan dengan genggaman tangan yang tidak lepas. Mata berat, tetapi enggan terpejam. Dada terasa sesak, tetapi tak bisa berteriak.
***
"Semoga proyek kita berjalan lancar dan banyak peminatnya." Hiro menatap Noah dan Ivy secara bergantian.
"Terima kasih sudah percaya untuk menanamkan modal kepada perusahaan kami, Pak. Saya berharap semuanya berlanjut untuk proyek-proyek selanjutnya." Noah mengulurkan tangan dan disambut dengan baik oleh Hiro.
Mereka pun berjalan ke ruang tunggu untuk menunggu keberangkatan pesawat. Sepanjang waktu, Gendis terus menatap Ivy. Senyuman licik terukir di bibir perempuan tersebut. Ketika tatapannya beradu dengan Ivy, Gendis menaikkan sebelah alisnya.
Ivy tidak gentar. Meski jantungnya berdetak kencang, dia balas menatap Gendis dengan tenang. Senyumannya tipis, penuh makna, seolah berkata bahwa Gendis tidak akan pernah menang.
Gendis mendekat dengan langkah gemulai, menarik koper kecilnya sambil memamerkan gaya anggun penuh percaya diri. Dia berhenti tepat di hadapan Ivy, hanya beberapa langkah dari tempat Noah dan Tama berbincang.
“Apa kamu tidur nyenyak semala?” tanya Gendis, tetapi Ivy hanya diam tak merespons.
"Aaahhh, dilihat dari kondisimu yang kusut dan kacau ... sepertinya kamu tidak tidur semalaman!" seru Gendis manis, tetapi nada bicaranya seperti pisau belati yang menyusup pelan ke dalam kulit.
Ivy membalas senyuman itu, matanya tidak berkedip. “Kamu tidak perlu mengurusi urusanku, Ndis. Apa kamu segabut itu sampai repot-repot mencampuri tidurku segala?”
“Ah, aku hanya perhatian dan mengkhawatirkanmu. Apalagi dengan status sebagai … istri kontrak pasti hidupmu penuh tekanan dan kepalsuan!” bisik Gendis sambil tertawa pelan.
Ivy menegang sejenak, tetapi kembali rileks. Dia tahu, Gendis sedang mencoba memancing emosinya.
“Kamu tahu, Gendis. Aku tidak perlu status permanen untuk membuktikan siapa aku. Kontrak atau tidak, aku tetap di sini. Berdiri di samping Noah. Yang paling penting kami sebentar lagi benar-benar menikah dan otomatis kontrak itu batal,” jawab Ivy dengan suara datar dan menohok.
Gendis terdiam. Senyum di bibirnya masih ada, tetapi sorot matanya berubah. Tidak menyangka Ivy membalas secepat dan sekuat itu. Namun, dia tak menyerah.
“Kamu bicara seolah punya kekuasaan. Sebentar lagi semua orang tahu kenapa Noah menikahimu, Ivy. Kasihan.”
Belum sempat Gendis menyelesaikan kalimatnya, Ivy menunduk sedikit dan melangkah lebih dekat. Suaranya nyaris seperti bisikan, tetapi nadanya kuat dan tajam.
“Kalau kamu punya cukup keberanian, sebutkan saja sekarang, di depan semua orang. Tapi, aku tahu kamu tidak akan melakukannya. Kamu hanya bisa menyerang dari belakang. Kamu takut dengan bayanganmu sendiri, Gendis.”
Kata-kata itu membuat wajah Gendis memucat seketika. Dia membuka mulut, tetapi tak ada suara yang keluar. Perempuan tersebut segera membalikkan tubuh dan melangkah cepat ke arah Noah, pura-pura tertawa seperti tak terjadi apa-apa.
Noah yang memperhatikan dari jauh, sudah cukup membaca situasi. Dia tahu Ivy baru saja diprovokasi, dan tahu istrinya berhasil bertahan. Akan tetapi, itu tidak berarti dia tenang. Noah semakin merasa bersalah karena telah membiarkan situasi menjadi serumit ini.
**
Perjalanan kembali ke Surabaya berlangsung tanpa insiden. Namun, ketegangan antara Ivy dan Gendis makin terasa. Setiap kali mereka harus berinteraksi, hawa dingin seperti menyelimuti mereka. Gendis selalu mencoba menusuk Ivy dengan sindiran halus, tetapi Ivy tetap tenang, menunjukkan kelasnya sebagai seorang istri.
Sesampainya di Surabaya, mereka berpisah dan pulang ke rumah masing-masing. Sepanjang perjalanan pulang, Ivy terus bersandar pada bahu Noah. Dia kembali menyampaikan keresahannya kepada sang suami.
“No, aku nggak bisa tenang kalau Gendis terus seperti ini. Dia semakin agresif.”
Noah menggenggam tangan Ivy. “Aku tahu. Tapi kamu hebat, Vy. Kamu menahan semuanya dengan kepala tegak.”
Ivy menatap mata Noah. “Aku nggak takut padanya. Tapi aku takut pada kemungkinan dia akan menghancurkan semua yang sudah kita bangun. Termasuk pernikahan dan juga karier kita.”
Noah mengangguk. “Aku akan pasang batasan yang jelas. Kalau perlu, Gendis tidak perlu ikut proyek ini sampai akhir.”
Namun Ivy menggeleng. “Jangan. Itu yang dia inginkan. Kalau dia pergi sekarang, dia bisa memainkan narasi sebagai korban. Biar aku yang hadapi. Aku tidak akan lari.”
Hari demi hari proyek berjalan. Ivy menjadi pusat perhatian karena desain interiornya yang unik dan menawan. Bahkan Hiro sempat memuji langsung karyanya di depan semua tim.
Gendis mulai gelisah. Keberhasilan Ivy seperti cambuk yang menyakitkan. Dia merasa terpojok, dan akhirnya mengambil langkah ekstrem.
Suatu malam, Gendis menyelinap ke ruang kerja tempat semua dokumen proyek disimpan. Dia menyalin beberapa file, termasuk rencana desain Ivy yang belum dipublikasikan. Gendis bermaksud mengirimkan desain itu ke perusahaan lain untuk menjatuhkan reputasi Ivy. Beruntungnya, Ivy memergoki Gendis.
“Apa yang kamu lakukan di sini malam-malam, Gendis?” Suara Ivy tenang, tetapi penuh kewaspadaan.