NovelToon NovelToon
ISTRI GEMUK CEO DINGIN

ISTRI GEMUK CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Hamil di luar nikah / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PAHLAWAN KESIANGAN

Dion terbatuk keras saat semburan air dingin menyentuh wajah dan tubuhnya. Nafasnya memburu, dadanya naik turun dengan cepat mencari udara di ruang pengap itu. Tubuhnya menggigil hebat, luka di pahanya berdenyut nyeri, dan pakaian lusuhnya kini basah kuyup.

"Sudah bangun rupanya," suara berat itu menyusup dari balik asap rokok yang mengepul di udara.

Dion mengangkat wajahnya perlahan. Di hadapannya, duduk Mateo Velasco dengan tatapan dingin dan penuh kemarahan. Mata pria itu menyala bukan karena emosi semata, tapi karena keyakinan bahwa orang yang duduk terikat di hadapannya adalah pengkhianat sejati.

"Selamat datang kembali di neraka, Dion," ujar Mateo, menyeringai miring. "Kita punya banyak hal yang perlu dibicarakan."

Dion mencoba bicara, tapi suaranya tertahan oleh rasa sakit dan dingin yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Mateo berdiri, melangkah mendekat dengan sepatu kulitnya menginjak lantai keras, menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga Dion yang masih setengah sadar.

"Aku ingin kau jujur malam ini," ucap Mateo perlahan. "Kalau tidak... aku pastikan kau akan menyesal pernah mengenalku."

Mateo menarik kursi di hadapannya dengan kasar. Bunyi gesekannya mengisi ruang bawah tanah yang senyap dan penuh tekanan. Ia duduk, menyilangkan kaki dengan dingin, lalu menatap Dion seolah pria itu adalah sampah paling menjijikkan yang pernah dilihatnya.

“Kau tahu sendiri, Dion…” suaranya tenang namun mengandung ancaman yang nyata, “aku bukan tipe atasan yang suka dipermainkan apalagi oleh bawahan pengkhianat sepertimu.”

Dion menunduk takut. Tubuhnya menggigil, bukan hanya karena dingin, tapi juga rasa takut yang mencengkeram dari kepala hingga kaki. Paha kirinya masih berdenyut hebat, nyeri akibat peluru yang bersarang di sana.

“Saya... saya tidak melakukannya, bos. Demi Tuhan, saya bersumpah...” ucap Dion dengan suara lirih, nyaris seperti bisikan.

Mateo tertawa pendek, penuh ejekan.

“Maling mana yang pernah ngaku, hah?” katanya sinis. “Sama seperti kau sekarang. Bermuka dua dan berani bersumpah atas nama Tuhan untuk kejahatan yang kau lakukan.”

Dengan satu gerakan cepat, Mateo meraih dagu Dion, memaksanya menatap lurus ke arah wajahnya. Tatapan mereka bertemu. Tatapan dingin dengan tatapan ketakutan.

“Sekarang aku tahu,” gumam Mateo perlahan, suaranya berubah rendah dan mematikan, “siapa dalang di balik skandal sialan itu. Skandal yang nyaris menghancurkan reputasiku. Itu semua rencana kau dan wanita jalang itu, bukan?”

“Bukan… bukan saya…” Dion bergetar, mencoba menjelaskan. “Saya tidak tahu apa-apa tentang skandal itu. Saya bahkan tidak tahu maksud anda…”

Mateo mendorong wajah Dion hingga kepalanya terbentur ke dinding. Tidak keras, tapi cukup untuk menyakitkan.

“Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku tidak tahu kalau kau dan Livia punya sejarah? Kau yang memasukkannya ke kantor, kau yang atur semua. Sekarang semua mulai masuk akal.”

Dion terisak tertahan. Ia tahu, apa pun yang ia katakan saat ini tidak akan menghentikan kemarahan Mateo.

“Tidak perlu menangis,” desis Mateo dingin. “Ini bukan waktunya menjual air matamu.”

Dion masih terisak, tubuhnya gemetar tak berdaya, tapi Mateo tak memberi ampun. Pria itu mencondongkan tubuh, menatapnya seolah ingin melubangi tengkoraknya dengan tatapan saja.

“Sekarang jawab aku di mana uangku, hah?” bentaknya, suaranya menggema di ruang bawah tanah yang sempit dan pengap. “Kau kemanakan hampir setengah triliun milikku, Dion?!”

Dion hanya menggeleng lemah, air matanya mengalir tanpa bisa dicegah.

“Saya... saya tidak tahu, saya tidak melakukannya,” katanya parau.

Mateo meraung marah. Ia mencengkeram wajah Dion, memaksa pria yang lebih muda itu menatap langsung ke arahnya.

“Kau pikir aku akan percaya?” dengusnya tajam. “Kau mencuri uangku, kau memanipulasi data dan membuat semuanya seolah-olah berjalan normal. Luar biasa, Dion ternyata orang rendahan sepertimu begitu ahli dalam pengkhianatan.”

Genggaman Mateo mengencang. Dion meringis, rahangnya nyaris retak.

“Jawab!” bentak Mateo, suaranya kini seperti auman binatang buas. “Siapa yang bekerja sama denganmu? Livia? Atau ada orang lain di dalam timku?!”

Dion menggeleng cepat, air mata dan peluh bercampur membasahi wajahnya yang penuh luka. Suaranya bergetar, lemah, tapi masih menyimpan sisa-sisa keberanian yang tersisa.

“Tidak ada seorang pun, Bos…” lirihnya. “Saya tidak mengambil uang Anda. Saya bahkan tidak punya keberanian untuk melakukan itu.”

Mateo memandangi Dion beberapa detik, napasnya memburu karena amarah yang menyesakkan dada. Lalu, ia melepaskan cengkeramannya dengan kasar hingga kepala Dion terhempas ke belakang.

“Tak punya keberanian?” ejek Mateo. “Jadi maksudmu uang itu bisa jalan sendiri ke rekening palsu? Atau sistem perusahaan rusak karena kebetulan?”

Mateo berdiri, menghentakkan kursi dengan keras. Ia berjalan mondar-mandir, mencoba menahan diri agar tidak melepaskan amarahnya dengan lebih brutal.

“Kau tau, Dion,” gumamnya, suaranya rendah namun mengancam, “dulu aku pikir kau orang yang setia, bisa kupercaya. Tapi ternyata kau cuma sampah. Dan kau akan kubuat mengaku, cepat atau lambat.”

Ia berhenti, menatap Dion tajam.

“Katakan satu nama saja. Siapa yang membantumu?”

Dion tetap bungkam, wajahnya tertunduk, napasnya sesak menahan rasa sakit dan dingin yang mencengkeram tubuhnya. Diamnya bukan karena ingin melawan, melainkan karena sudah tak tahu harus menjelaskan apalagi. Semuanya sudah tak ada artinya di hadapan pria sekejam Mateo.

Mateo menyipitkan mata, kesabarannya habis. Dalam satu gerakan cepat dan kasar, ia menendang kaki kursi yang diduduki Dion, membuat tubuh pria itu terjatuh menghantam lantai basah dan lembab dengan suara keras.

“Jawab aku, bajingan!” teriak Mateo, nadanya meledak-ledak, menggema di ruangan bawah tanah yang pengap dan sunyi. “Kau pikir aku main-main?!”

Dion terbatuk, darah mengalir dari sudut bibirnya. Ia mencoba mengangkat wajah, menatap Mateo dengan pandangan buram, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Mateo mendekat, menunduk di samping Dion yang masih tersungkur.

“Kau lebih memilih mati daripada mengaku, ya?” desisnya. “Baik. Kita akan lihat seberapa kuat kau menahan rasa sakit.”

Mateo berdiri tegak, lalu memberi isyarat pada anak buahnya yang sejak tadi berdiri menunggu perintah di sudut ruangan. Seseorang segera maju membawa sebuah kotak hitam berisi alat-alat yang jelas tidak digunakan untuk pengobatan.

Mateo tersenyum dingin, penuh ancaman. “Kita akan bermain-main sedikit, Dion. Semoga kau cepat sadar bahwa diam bukan pilihan yang cerdas.”

Mateo membuka kotak hitam di atas meja besi berkarat. Di dalamnya, berbagai alat tersusun rapi beberapa dengan ujung tajam, lainnya dengan kabel yang menggulung seperti ular siap menyengat. Ia mengambil salah satunya, sebatang logam tipis yang ujungnya memerah setelah disentuh bara api kecil.

Dion menggeliat pelan, tubuhnya tak berdaya, hanya bisa mengerang lemah saat logam panas itu menyentuh kulitnya, meninggalkan luka yang membuatnya nyaris pingsan lagi.

Tepat saat Mateo hendak menyentuhkan alat lain ke tubuh Dion lagi, pintu ruang bawah tanah mendadak terbuka dengan suara menggemuruh. Livia masuk, napasnya tersengal, wajahnya pucat dan mata sembab. Ia menuruni anak tangga dengan cepat dan langsung berlari ke arah Dion yang terkulai tak berdaya di lantai.

"Tuan, saya mohon… jangan sakiti Dion lagi," pintanya dengan suara gemetar.

Mateo membeku sesaat, matanya menyipit penuh amarah. Livia menunduk, lalu memeluk tubuh Dion yang bersimbah luka, mencoba melindunginya dengan tubuh ringkihnya yang lemah.

"Apa yang kau lakukan di sini, hah?!" bentak Mateo, suaranya menggema di seluruh ruangan.

"Saya mohon, cukup sampai di sini... Dion tidak bersalah. Dia bukan pencuri itu. Saya tahu dia… dia tidak akan pernah melakukan hal sekeji itu."

Mateo menatap Livia dengan tatapan membunuh. Hatinya mendidih melihat wanita itu melindungi pria yang ia anggap pengkhianat. Ia meraih lengan Livia, menariknya kasar menjauh dari Dion.

"Kau bela dia sekarang?! Kau pikir akting menyedihkanmu bisa menghentikanku, hah?"

Livia terisak. “Kalau tuan ingin menghukum seseorang, hukum saya saja. Tapi lepaskan Dion. Saya mohon…”

Mateo mengepalkan tinjunya. Ruangan itu kini sunyi, hanya isak Livia dan napas berat Dion yang terdengar. Di ambang batas, sebuah pilihan harus dibuat antara melampiaskan dendamnya atau menyadari bahwa sesuatu yang jauh lebih dalam tengah terbentuk di depan matanya.

Mateo mencengkeram lengan Livia dengan kasar, sorot matanya tajam menusuk, penuh kemarahan yang meluap.

"Kau ingin jadi pahlawan rupanya?" desisnya. "Baik. Kita lihat seberapa jauh kau bisa menolong pengkhianat itu."

Tanpa memberi kesempatan bicara, ia menarik paksa Livia keluar dari ruang bawah tanah. Langkahnya cepat, kasar, hingga tubuh Livia hampir terseret mengikuti arah Mateo yang menggenggamnya terlalu erat. Sesampainya di kamar, Mateo membanting pintu dan menguncinya. Suasana berubah tegang, udara di antara mereka terasa berat dan menusuk.

Livia mundur selangkah, menunduk takut. “Tuan, saya mohon... jangan perlakukan saya seperti ini.”

Mateo menatapnya dengan sorot mata penuh kekecewaan dan dendam yang membara. “Jangan berpura-pura tak tahu, Livia. Kau pikir aku bodoh? Dion, kau, dan semua drama ini kalian menghancurkan hidupku bukan!”

Livia menggigit bibirnya, menahan tangis. Suaranya gemetar ketika ia mencoba menjelaskan. “Saya tidak tahu apa-apa... saya tidak pernah merencanakan apa pun...”

Namun Mateo sudah terlanjur tenggelam dalam amarah dan curiga. Ia menghampiri Livia, berdiri begitu dekat hingga nafasnya terasa di wajahnya.

Ciuman Mateo membakar bibir Livia, kasar dan penuh nafsu. Amarahnya, selama ini terpendam, kini meledak dalam sentuhan brutal itu.

Livia mencakar, menendang, namun Mateo tak bergeming. Tubuhnya ditundukkan, dipaksa melayani nafsu suaminya dalam malam yang dingin tanpa cinta.

Cahaya pagi menerobos celah tirai, menerangi wajah Livia yang pucat pasi. Sakit yang amat sangat tiba-tiba menghimpit perutnya.

Ia tersentak, tangan terulur memegangi perut yang terasa seperti diremas. Dengan susah payah, ia membangunkan Mateo.

"Tuan… tolong," bisiknya, suara nyaris tak terdengar. Mateo membuka mata, tatapannya hampa, tanpa ekspresi.

Mateo memungut pakaiannya, gerakannya lambat dan terukur, seperti robot yang menjalankan program. Ia mengenakan bajunya, tatapannya kosong, tertuju pada Livia yang kesakitan. Seakan-akan penderitaan Livia adalah pemandangan biasa, sesuatu yang tak perlu dihiraukan.

Langkah Mateo terhenti di ambang pintu. Ringisan Livia, pilu dan menyayat, mengusik sesuatu di dalam dirinya. Ia menghela napas berat, lalu kembali ke tempat tidur. Dengan gerakan yang kaku, ia membantu Livia mengenakan pakaiannya, perlahan-lahan, namun tanpa sedikit pun kelembutan.

"Tunggu di sini," katanya, suaranya masih berat, "Jangan berteriak. Aku akan memanggil dokter."

Mateo pergi keluar dari kamar, meninggalkan Livia yang meringis kesakitan seorang diri.

1
kayla
lanjut kak..
Milla
next
Aulia Syafa
kpn thor , ada cahaya untuk livia
Uthie
Kapan itik buruk rupa berubah jadi angsa nya 😄
kayla
sampai kapan penderitaan ini thor..
atau apakah tak akan ada kebahagiaan untuk livia sampai akhir..
sampai ikut lelah/Frown/
Uthie
lanjut...masih sangat seruuu 👍
Lailiyah
luar biass
Lailiyah
ceritanya bagus bgtt...gereget dan sedihny dapet bgtttt thour....ditunggu up nya yee /Hey//Grin/
Uthie
ditunggu kelanjutannya lagiiii 👍🤗
Uthie
Kisah yg menarik untuk disimak 👍👍👍👍👍
Uthie
Tuhhh kann.. Nathan yg berkhianat 🤨
Uthie
Mateo terlalu kejam!!
Uthie
Mateo dibodohi dengan menumbalkan orang-orang tak bersalah dari kalangan bawah seperti Dion dan Livia... kasian nya! 😢
Uthie
berarti Nathan itu yaa yg mengkhianati dan menjebak Mateo?!??? 🤔
Uthie
kasiannya 😢
Uthie
kabur juga percuma dengan kekuasaan yg dimiliki keluarga Matteo 😢
Uthie
kasian nya 😢
Uthie
menarik 👍
Uthie
Coba mampir Thor 👍
Nur Adam
CEO si bloon ..ckck mslh ky gtu aja ga bisa selesaiin..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!