NovelToon NovelToon
The Painters : Colour Wars

The Painters : Colour Wars

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sci-Fi
Popularitas:830
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.

Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.

Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Spectrum yang tak terbendung

Lampu-lampu ruang isolasi itu berpendar lembut, tapi membosankan. Dingin. Seperti tak pernah dirancang untuk menghibur manusia—hanya untuk mengurung. Dan di tengah ruangan itu, Ajie duduk bersandar di pojok. Diam. Nafasnya berat.

Ia menatap lantai logam yang membosankan, tapi pikirannya jauh lebih ribut. Kenangan menyerbu seperti air pasang, satu demi satu menerjang pertahanannya. Ia tidak tahu apakah ini akibat tekanan mental, efek dari zat radioaktif, atau hanya… rindu.

Dan lalu, semuanya meletup.

SRET

Seketika, tubuhnya terasa ringan. Dunia seperti ditarik ke belakang. Ia tahu ini bukan kenyataan. Tapi juga bukan mimpi.

Kilasan masa lalu…

 

"Ajie! Cepetan, makan dulu! Mama masak kesukaan kamu!"

Suara itu… lembut. Ramah. Penuh kehidupan. Dan ketika ia menoleh, ia melihat sosok wanita paruh baya dengan senyum paling tulus yang pernah ada. Rambutnya terikat asal, tangan masih memegang spatula, dan apron dengan logo ayam goreng lusuh yang dulu selalu ia tertawakan.

"Mama…" bisiknya.

Ia berdiri di ruang makan kecil yang dulu selalu sempit tapi hangat. Dindingnya dipenuhi kalender promosi toko cat, meja makan bundar dengan taplak plastik, dan tumpukan koran bekas di sudut.

Dan di seberang meja… ada seseorang lagi.

Seorang pria. Wajahnya keras, berkerut karena lelah hidup. Mengenakan kaos dalam dan celana pendek sobek. Ia menatap Ajie dengan tatapan dingin, nyaris tanpa ekspresi.

"Ajie. Sudah kubilang. Jangan banyak ngelamun. Hidup itu keras. Kalau nggak kerja, ya nggak makan," kata pria itu—ayahnya.

Ajie kecil duduk sambil menunduk. Tak menjawab. Ia hanya menatap piring nasi goreng di depannya.

"Ayah…" gumam Ajie yang sekarang, berdiri di sudut ruangan seolah tak terlihat.

"Anak ini terlalu lembek, Bu. Main cat mulu. Gambar-gambar nggak penting. Bukannya bantu di bengkel."

"Namanya juga anak-anak, Yah…" suara ibunya, lembut menenangkan.

"Dia itu laki-laki! Bukan seniman! Dunia nggak butuh gambar warna-warni—dunia butuh otot, otak, dan kerja keras!"

Ajie menutup mata. Tubuhnya bergetar.

Kilas balik itu melompat—secepat letusan peluru.

 

Sore yang hujan. Ajie remaja duduk di atap rumah, menggambar dengan cat semprot di selembar triplek. Tangannya cekatan, meski bajunya basah.

Tiba-tiba, suara langkah berat. Dan kemudian…

PLAK!

Kaleng cat semprotnya disepak jatuh. Ia terkejut.

"Apa ini, ha!? Buang-buang waktu!"

Ayahnya berdiri dengan wajah marah. Hujan tak membuatnya surut. Ia rebut papan itu dan melemparkannya ke halaman.

"Sudah kubilang! Hapus mimpi bodohmu, Ajie! Dunia ini nggak akan ngerti warna!"

Dan Ajie… hanya diam. Tak melawan. Tapi air matanya bercampur hujan.

 

Adegan lain melesat. Rumah sakit. Suara monitor berdetak. Dan ibunya—terbaring lemah di ranjang. Wajahnya pucat. Tapi masih tersenyum.

Ajie menggenggam tangannya. "Ma, aku janji. Aku bakal jadi orang yang mama banggakan. Aku… akan terus gambar. Terus warnai dunia."

Ibunya mengangguk pelan. "Jangan padam, ya, Ji… Warna kamu itu penting."

Itu hari terakhir ia melihat ibunya bernyawa.

Ajie menjerit. Bukan karena sakit—tapi karena tumpukan emosi itu tak lagi bisa dibendung. Ia terjatuh ke lantai, menggertakkan gigi.

"Aku bukan senjata kalian! Aku juga bukan produk gagal ayahku!" teriaknya.

Tapi tubuhnya… mulai bereaksi.

Warna-warna meledak dari pori-porinya. Tapi tak seperti sebelumnya—kali ini, warnanya gelap, berputar dalam spektrum liar. Merah menyala seperti magma. Ungu berkilat seperti petir. Hijau membara seperti racun.

Lampu di ruang isolasi berkedip. Alarm menyala.

"Peringatan! Peningkatan energi biomagnetik! Zat cat tak terkendali!"

Para ilmuwan di ruang kontrol panik.

"Apa yang terjadi?!"

"Dia... mengalami ledakan emosional! Struktur zatnya bereaksi terhadap trauma psikologis!"

Cain masuk dengan cepat. "Bius dia! Sekarang juga!"

Namun sebelum perintah itu dilaksanakan, sesuatu pecah.

KRAK!!

Lantai di bawah Ajie retak. Cat menembus lapisan logam dan menyebar seperti akar pohon—tapi dalam warna yang tak dikenal. Sesuatu antara terang dan kegelapan.

Ajie berdiri, meski tubuhnya gemetar. Mata memerah. Nafas berat. Tapi dari dalam dirinya, suara ibunya seolah terdengar lagi:

"Warna kamu itu penting..."

Dan mendadak, warna itu—yang liar dan tak terkendali—mulai menyatu. Perlahan. Tenang.

Ajie mengangkat tangannya. Cat itu mengalir di kulitnya, membentuk lingkaran seperti perisai. Tak ada armor. Tak ada senjata. Tapi ada… keseimbangan.

Cain menatap layar. Wajahnya tak lagi tenang.

"Dia... mengendalikan ledakan itu. Tanpa alat bantu."

Ratna, yang masuk belakangan, menatap dengan bingung.

"Bagaimana mungkin?"

Salah satu ilmuwan berbisik, "Dia sedang membentuk ulang... intinya sendiri."

Ajie kini terduduk di tengah ruangan. Nafasnya lebih pelan. Tapi tubuhnya berubah. Warna kulitnya seperti memiliki tekstur cat hidup, lembut, mengalir… seperti seni.

Dan ketika ia membuka mata—tak ada kemarahan.

Hanya tekad.

Cain menatap Ratna. "Kita harus pindahkan dia ke ruang uji. Kita tak punya waktu lagi. Apa pun yang akan dia jadi… itu lebih besar dari apa pun yang pernah kita bayangkan."

Sementara di dalam ruangan, Ajie memandangi tangannya. Cat mengalir halus, mengikutinya seperti nafas.

Dan ia berbisik…

"Kalau warna ini datang dari rasa sakit… maka biar aku yang membuatnya jadi harapan."

1
lalakon hirup
suka di saat tokoh utama nya banyak tingkah
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!