NovelToon NovelToon
Untuk Aldo Dari Tania

Untuk Aldo Dari Tania

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Ketos / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:369
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah A

Berawal dari pertemuan singkat di sebuah mal dan memperebutkan tas berwarna pink membuat Aldo dan Tania akhirnya saling mengenal. Tania yang agresif dan Aldo yang cenderung pendiam membuat sifat yang bertolak belakang. Bagaikan langit dan bumi, mereka saling melengkapi.

Aldo yang tidak suka didekati Tania, dan Tania yang terpaksa harus mendekati Aldo akhirnya timbul perasaan masing-masing. Tapi, apa jadinya dengan Jean yang menyukai Aldo dan Kevin yang menyukai Tania?

Akhirnya, Aldo dan Tania memilih untuk berpisah. Dan hal itu diikuti dengan masalah yang membuat mereka malah semakin merenggang. Tapi bukan Aldo namanya jika kekanak-kanakan, dia memperbaiki semua hubungan yang retak hingga akhirnya pulih kembali.

Tapi sayangnya Aldo dan Tania tidak bisa bersatu, lantaran trauma masing-masing. Jadi nyatanya kisah mereka hanya sekadar cerita, sekadar angin lalu yang menyejukkan hati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keresahan

"Dan gue udah tahu siapa yang lo berdua sembunyikan dari gue."

Sontak Amanda melotot tajam dan nyaris mengeluarkan bola matanya. Dia mengintimidasi Tania yang mengintimidasinya balik.

"Apa sih? Nggak jelas tahu nggak," ketus Amanda lalu kembali fokus pada bukunya.

Tania tersenyum miring. Dia mengeluarkan sebatang cokelat dan meletakkannya tepat di depan mata Amanda.

"Dari Nico," ucap Tania. "Dia suka sama lo, 'kan? Dan lo suka balik sama dia," jelas Tania.

"Apaan sih, lo tuh kebanyakan halu tahu nggak. Mana mungkin gue sama dia saling suka," ujar Amanda.

Tania mengangguk-angguk. Membuat Amanda jujur bukanlah hal yang mudah, gadis itu terus mengelak tak pernah lelah.

"Iya udah, cokelatnya gue—"

Kontan Amanda merebut kembali cokelat yang hendak diambil Tania dengan gerakan gesit. Tania tersenyum miring melihat Amanda dengan wajah khawatir.

"Katanya buat gue, 'kan?"

"Jadi ... lo sama dia beneran saling suka?"

"Enggak, Tania."

"Kalau enggak siniin cokelatnya, biar gue balikin lagi ke Nico."

"Enak aja, yang udah dikasih itu nggak boleh diambil."

"Justru itu, kalau lo ambil cokelat itu artinya lo sama Nico emang ada sesuatu. Tapi, kalau lo nolak cokelat itu, lo sama Nico nggak ada sesuatu."

"Enggak ada sesuatu, kok."

Nabilla mendesah berat. Dia menepuk jidatnya sendiri. "Ya ampun, Amanda, tinggal lo bilang iya sama Tania apa susahnya? Lagian juga dia udah tahu, jadi kenapa lo harus ngelak?" tanya Nabilla. Pasalnya, sedari tadi dia menahan kesal karena Amanda terus mengelak, ditambah Tania yang terus bertanya tanpa henti. Bisa-bisa kalau dilanjutkan Tania akan menyerang Amanda.

Tania menjentikkan jari. "Nah, lo tahu sesuatu juga, 'kan? Gue tahu, lo pasti sepemikiran sama gue. Dan gue mau dengar jawaban langsungnya dari Amanda. Kalau misalkan gue nggak dengar jawaban langsung dari Amanda, gue bakal cukur kumisnya Pak Wayan dan carikan duda buat Ibu Jihan."

Amanda berdecak sebal. Telinganya panas mendengar cerocosan Tania yang sudah diibaratkan gerbong kereta. "Duh, udah deh. Dibilang nggak ada apa-apa. Lagi pula emangnya lo berani cukur kumisnya Pak Wayan? Dia 'kan nggak punya kumis, punyanya jenggot."

"Amanda ... Tania ...," lirih Nabilla.

Kedua gadis itu kompak menoleh pada Nabilla yang menutup setengah wajahnya dengan buku. "Apa?" kata mereka bersamaan.

Takut-takut telunjuk Nabilla terarahkan pada seseorang di belakang Tania dan Amanda. "Itu."

Amanda dan Tania kontan mengikuti arah telunjuk Nabilla dan mereka mendapati guru yang dibicarakan sedang berdiri dengan garang. Kalau seperti ini sama saja cari mati dengan melewati Segitiga Bermuda.

"Pintu terbuka lebar!"

Usiran yang sangat halus.

...******...

Pertama kalinya bagi Amanda dan Nabilla dihukum keluar kelas. Sedangkan Tania, entah untuk keberapa kalinya dia keluar kelas. Makanya, gadis itu memasang wajah datar sedangkan kedua temannya terlihat sangat frustrasi. Mereka berjalan menuju perpustakaan.

"Ini semua tuh gara-gara lo!" Amanda menunjuk Tania. "Kalau aja lo nggak nyerocos nggak bakal gini."

"Hello! Kalau Nico nggak nitipin cokelat itu, gue nggak bakal nyerocos, ya."

"Aduh, udah deh. Jangan ribut terus. Lo berdua salah."

"Lo juga salah!" ujar Amanda dan Tania berbarengan.

Nabilla terkejut mendengar ucapan kedua sahabatnya yang kompak. "Wow, kalian berbicara kompak," katanya seraya bertepuk tangan kecil.

Mereka mencopot sepatu pantofel mereka untuk masuk ke dalam perpustakaan.

"Kalau aja lo bilang ada Pak Wayan, enggak bakal gini. Jadi, lo yang paling salah," ucap Amanda.

"Gue nggak ngerti sama lo, Man, serius. Kenapa sih selalu lempar kesalahan, lagian tinggal bilang iya sama Tania."

Mereka duduk di meja.

Amanda begitu frustrasi. Mereka tidak pernah paham apa yang dirasakan Amanda. Dan, sampai kapan pun tidak akan pernah paham. Walaupun Amanda bercerita sampai berbusa. "Ini tuh pertama kalinya buat gue dihukum keluar kelas."

"Gue juga sama."

Amanda menghela napas kasar lalu membenamkan sisi wajahnya di meja. Nabilla mulai membuka buku. Sedangkan, Tania menatap Amanda dengan ekspresi datar.

"Lo kenapa lihatin Amanda gitu banget?" tanya Nabilla.

"Gue kasihan sama Amanda."

Nabilla mengernyit bingung.

"Dikeluarin pertama kali dari kelas aja frustrasinya luar biasa. Gimana seandainya kalau Nico selingkuh? Bunuh diri kali, ya."

Seketika buku yang dipegang Nabilla melayang ke kepala Tania.

...******...

"Dengar-dengar nyokap lo pulang ya, Jean?" tanya Bima.

Jean yang sedang menyalin tulisan di papan tulis mengangguk. "Iya." Dia menutup bukunya—memasukkannya ke dalam tas.

Bima sudah melipat tangannya sedangkan Nico, Aldo, dan Jean masih memasukkan buku ke dalam tas.

"Terus, sekarang dia yang jemput lo?" tanya Nico.

"Kak Dion yang jemput."

"Siapa? Dion?"

"Bukannya lo anak tunggal, ya? Sejak kapan orang tua lo adopsi anak?"

Sontak Aldo menjitak kening Bima. "Mereka nggak adopsi anak."

"Terus?"

Jean pikir Aldo akan menjelaskannya, tetapi ternyata pria itu kembali menutup bibirnya rapat-rapat—enggan angkat suara soal Dion. Sepertinya Aldo tidak menyukai Dion, entah karena hal apa.

"Dia orang yang bakal jaga gue. Antar jemput gue, dan nemenin gue ke mana pun," ujar Jean.

"Oh. Do, kalah saing lo sama om-om," ejek Bima.

Aldo berdecak sebal. "Jangan cari gara-gara sama gue, Bim. Mau gue datangin Tania?"

"Ampun ya, main ancam-ancam aja. Gue masih waras lawan cewek."

Mendengar nama Tania disebut membuat Nico jadi teringat sesuatu. "Gue duluan, ya."

"Eh, tunggu dulu kampret!" Bima segera mengejar langkah Nico yang sudah menghilang dari balik daun pintu.

Aldo mengernyit bingung. Dia berpikir kenapa Nico terlihat buru-buru. Benar-benar ada yang disembunyikan dari pria itu.

"Do, kenapa?"

Aldo menggeleng—membuyarkan pikiran. "Enggak apa-apa, gue antar sampai depan. Yuk."

Jean mengangguk.

Ada saatnya dia akan bertanya sesuatu pada Aldo, menjelaskan sesuatu pada Aldo, dan mengatakan sesuatu pada Aldo. Waktunya bukan sekarang, mungkin beberapa hari, minggu, bulan, tahun, atau ... entahlah kapan Jean akan melakukan itu.

...******...

Kevin hendak menaiki anak tangga untuk menuju ruang OSIS, namun seketika langkah itu urung dilakukan saat dia teringat ucapan Tari sewaktu di ambang pintu kelas.

"Tenang aja, gue yang akan rapat privat sama kandidat. Lo jalan aja sama Tania. Perbaiki dulu yang sudah rusak, jangan sampai tambah rusak."

Mendengar itu dia segera balik arah menuju kelas Tania. Tetapi, pasti sekarang kelasnya sudah sepi. Jadi, dia kembali balik arah menuju lorong utama.

...******...

Dari jauh dia memperhatikan Jean bersama Dion. Sekilas, Dion melakukan pekerjaannya dengan semestinya. Bertindak patuh dan menghormati atasan. Dia jadi yakin kalau Dion tidak melakukan sesuatu pada Jean. Tetapi, mungkin saja itu adalah kedok yang Dion gunakan untuk mengelabui. Aldo akan terus berhati-hati dan selalu mengintimidasi gerak-gerik Dion—sekecil apa pun.

Jean melambaikan tangan sebelum masuk ke dalam mobil. Dia menghela napas saat Alphard itu meninggalkan halaman sekolah. Dia selalu merisaukan banyak hal, termasuk kedatangan Dion.

"Cemburu, ya?"

Aldo tersentak kaget dan langsung menoleh ke belakang. Tania sedang terkekeh geli mengejeknya.

"Kenapa lo nggak kejar dia? Kawal dia gitu. Takutnya 'kan ..." Tania berjinjit—mendekatkan wajahnya ke Aldo. "Dia diapa-apain sama tuh om-om."

Pletak!

"Awh! Kenapa lo jitak gue?" tanya Tania sembari mengelus keningnya.

"Kenapa lo ngomong gitu?"

"Gue 'kan cuma bercanda, Aldo."

"Lo anggap itu candaan. Tapi bagi gue itu bentuk penghinaan, Tania," ujar Aldo lantas berlalu pergi.

Melihat Aldo yang melintasinya dengan amarah yang menggebu-gebu, Tania segera mencekal lengan Aldo dengan kedua tangannya—menghentikan langkah pria itu.

"Aldo! Aldo!"

Aldo menoleh malas ke arah Tania.

"Gue minta maaf. Gue paling nggak suka punya salah sama orang."

"Tapi lo selalu buat masalah sama orang, Tania."

"Orang pemaaf itu murah hatinya, lho."

"Hati gue mahal."

"Oh iya? Berapa harga hati lo?"

Aldo mendengus kesal—sama sekali tidak berminat menjawabnya. Dia menatap kedua tangan Tania yang menggenggamnya. "Lepasin tangan lo," ketus Aldo.

Tania menggeleng. "Maafin gue dulu."

Aldo memijat pelipisnya sendiri. Menghadapi Tania memang butuh kesabaran ekstra, harus kuat lahir dan batin.

"Selain lo nyebelin, lo juga keras kepala, ya?"

"Seratus."

"Gue nggak mau maafin lo. Lepas!"

Alih-alih Tania melepas genggamannya, justru gadis itu semakin kuat menggenggam tangan Aldo.

"Kenapa?"

Rasanya Aldo ditindih sebuah beton sepuluh kali lipat. Kepalanya seperti ditusuk jarum besar. Dia ingin menyumbat mulut Tania jika saja dia tidak lupa kalau Tania adalah perempuan. Semakin dia jauhi Tania, semakin gencar Tania mengejar. Kalau diibaratkan Tania itu seperti magnet—semakin dijauhkan semakin gencar mencari pasangan kutubnya.

"Tania," ucap Aldo dengan suara pelan.

"Aldo," balas Tania dengan suara yang tak kalah pelan.

"Lepasin tangan gue."

"Enggak, sebelum lo maafin gue."

Aldo mendengus kesal. Dia menatap Tania tanpa ekspresi, namun gadis di depannya ini sedang tersenyum manis.

"Nanti aja minta maafnya. Aldo nggak mungkin maafin lo sekarang."

Ucapan itu mampu membuat Tania dengan refleks melepaskan genggaman tangan Aldo. Dia menoleh ke samping. Kevin tahu-tahu datang dan menatap mereka bergilir.

"Kak Kevin, sejak kapan?" tanya Tania.

"Baru aja datang. Do, ditungguin sama Tari tuh di ruangan."

Aldo mengangguk. "Gue ke sana dulu."

Tania tidak bisa lagi mencekal lengan Aldo. Karena pria itu sudah jalan dengan langkah panjangnya. Dan yang paling Tania kejutkan adalah ... Kevin yang menggenggam tangannya.

"Gue mau tepatin janji gue sekarang sama lo."

"Janji? Yang mana?"

"Baru aja tadi pagi dibahas, masa lupa."

Tania menepuk jidatnya. "Oh iya, gue ingat sekarang. Kakak mau ajak gue makan?"

Kevin tersenyum mengangguk.

"Nggak di pinggir jalan, 'kan?"

Kevin tersenyum menggeleng.

Tania bersorak senang dalam hati. Dia terus mengembangkan senyumnya dengan mata membola berbinar cerah.

"Ayo, berangkat sekarang."

Tania mengangguk disusul Kevin yang menarik tangannya. Tania tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan di dalam hatinya, dia terus mengembangkan seulas senyum bersamaan dengan Kevin yang juga terus tersenyum simpul.

Dari jauh seseorang berdecak sebal karena tidak bisa menghampiri Tania. Selalu saja hambatan datang bertubi-tubi bagaikan air hujan yang turun dari langit.

...******...

Siang ini Mila menemani Maya ke toko bunga—tentunya menemani sahabatnya itu untuk menambah koleksi tanamannya. Selain anak-anak mereka dekat, mereka sendiri juga sudah dekat sejak SMP dulu. Tetapi, mereka hanya sekadar mengetahui kalau kedua anak mereka dekat, mereka tidak tahu ada apa di antara kedekatan anak mereka.

"May, aku mau nambahin menu di restoran. Kayak semacam dessert gitu. Tapi 'kan, kalau dessert-nya itu-itu aja bosen. Kira-kira kamu punya ide nggak?"

Maya diam—memikirkan solusi dari masalah Mila. "Eumph ... kamu bisa tambahin menu jajanan dulu-dulu. Tapi, itu kayaknya cocok buat menu baru kafe deh. 'Kan, banyak tuh jajanan dulu yang enak-enak. Kayak klepon, pisang ijo, getuk, usel. Kalau kamu moderenisasikan, itu bakal jadi jajanan yang wow, gitu."

"Ah, kamu benar, masukan yang sempurna. Kalau gitu nanti aku ngomong sama Tuti."

"Oh iya, aku mau bilang sesuatu sama kamu tapi nggak sempat terus."

"Apa?"

Maya diam. Dia kembali ragu untuk mengatakan hal ini.

"Bilang sesuatu apa?" tanya Mila saat Maya tak kunjung mengatakannya.

Maya menggeleng. Sebaiknya tidak sekarang dia mengatakan hal itu. "Nanti aja deh, pas pulangnya aja. 'Kan toko bunganya mau sampai."

Mila mengangguk kecil. Dia yakin ada hal penting yang ingin disampaikan Maya, tetapi wanita itu ragu akan respons dirinya setelah menyampaikan hal itu. Mila sendiri sudah berasumsi kalau yang ingin dikatakan Maya adalah soal suaminya.

...******...

"Ini bagus, nggak?" tanya Rumi menunjukkan salah satu tanaman hias kepada Tika.

"Bagus."

Rumi kembali memilih-milih tanaman hias yang hendak dia pajang di dalam apartemennya. Maklum, Jean 'kan tidak sempat menata keindahan rumah. Matanya tertuju ke arah tanaman lidah mertua.

Hap!

Dua tangan memegang pot yang sama; Rumi dan Maya.

"Ah, saya cuma mau lihat, maaf," ujar Rumi.

Maya balas tersenyum. "Tidak apa-apa, saya pun seperti itu. Kamu bisa lihat lebih dulu."

"Terima kasih."

Maya mengangguk lalu mengajak Mila untuk melihat tanaman lainnya. Mila merekomendasikan banyak tanaman untuk Maya urus, tetapi sayangnya Maya tampak abai akan hal itu. Dia lebih suka memilih apa yang dia mau. Walaupun begitu, dia tetap menghargai apa yang dilakukan sahabatnya.

"Suami kamu suka koleksi tanaman juga nggak di kantornya?" tanya Mila.

"Suka. Aku yang maksa dia buat suka."

"Hem."

Lain halnya dengan Rumi yang tampak bingung memilih tanaman hias. Tika merekomendasikan banyak. Tetapi tidak ada satu pun yang memikat Rumi.

"Ini bagus nih, kalau kamu taruh di kamar," kata Tika.

"Aku mau milih yang benar-benar cocok," kata Rumi.

Tahu-tahu sebuah tanaman hias berjenis peace lily tersodorkan ke arah Rumi. "Ini bagus buat di pinggiran jendela."

"Ouh, rupanya kamu pecinta tanaman, ya?"

Maya tersenyum mengangguk. "Mau tanya-tanya soal tanaman juga boleh."

Rumi mengangguk. "Oke, kayaknya rekomendasi kamu bagus. Bagus, nggak?" Rumi meminta saran Tika dan dibalas senyum oleh Tika.

"Bagus."

"Pak, saya ambil ini."

...******...

Ini bukan keinginan Tania, bahkan ini jauh melenceng dari ekspektasi Tania. Kevin tidak membawanya makan di restoran mewah. Melainkan membawanya ke sebuah toko kue. Tania cemberut memandang toko di depannya.

"Katanya mau makan, kok ke sini?"

"Kue juga makanan Tania."

Tania membuang napas kasar. "Argh! Tapi waktu itu Kakak makan sama kak Tari di restoran. Kenapa sama gue makan kue?"

"Karena berbeda itu indah. Ayo, masuk."

Tania kesal setengah mati. Alih-alih makan siang romantis di restoran bersama Kevin, justru Kevin membawanya ke toko kue. Ibaratnya Kevin PHP-in Tania.

Kevin masuk ke toko kue dengan seulas senyum manis, berbanding terbalik dengan Tania yang cemberut. Gairah laparnya tidak bangkit walaupun disuguhkan dengan berbagai jenis kue.

"Mau yang mana?"

Kevin memilih kue yang ada di dalam etalase—mengabsennya untuk mencari yang terbaik.

"Lo suka yang mana, Tan?"

"Gue nggak mau kue."

"Emang bukan buat lo."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!