Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.
Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.
Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.
Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wajah Tanpa Identitas
Pak Jaya terengah-engah, tangannya yang mati rasa hampir tidak bisa bergerak saat Darma melepaskan ikatannya. Seketika, tubuhnya jatuh ke lantai gudang yang dingin. Dia ingin merangkak menjauh, tapi lututnya lemas. Matanya menatap Darma yang kini berjalan ke arah kaca besar di sudut gudang.
Darma tidak berbicara sepatah kata pun. Dengan satu pukulan kuat dari gagang cerulitnya, kaca besar itu retak dan pecah, jatuh berserakan menjadi ribuan serpihan tajam di lantai. Kilauan pantulan cahaya dari pecahan itu menciptakan atmosfer menyeramkan di dalam gudang tua itu.
Pak Jaya hanya bisa menatap penuh ketakutan. "D-Darma... t-tolong... gue udah kasih tau segalanya..."
Darma tidak menggubrisnya. Dia menatap pecahan kaca itu sebentar, lalu dengan gerakan perlahan, dia merapikan serpihan-serpihan itu ke satu tumpukan kecil di lantai, seolah sedang menyiapkan sesuatu.
Pak Jaya semakin panik. Dia merangkak mundur, tubuhnya gemetar hebat. "Lo... lo mau ngapain?"
Darma akhirnya menatapnya. Mata kosong itu kini dipenuhi kebencian.
"Gue bisa bunuh lo sekarang." Suara Darma rendah dan dingin. "Tapi itu terlalu mudah."
Dia berjongkok, menarik kerah Pak Jaya dengan kasar dan menyeretnya lebih dekat ke tumpukan kaca. Pak Jaya menjerit, berusaha melawan, tapi kekuatannya sudah habis. Tangannya mencakar-cakar lantai, namun tak ada yang bisa dia lakukan.
"L-Lo gila! Lo udah gila, Darma!"
Darma tidak bereaksi. Dengan satu gerakan cepat, dia menekan kepala Pak Jaya ke bawah, tepat ke atas serpihan kaca.
"AARGHHH!!"
Jeritan Pak Jaya menggema di seluruh ruangan. Darma tidak berhenti. Dia menekan lebih kuat, menggosok wajah Pak Jaya ke atas kaca yang tajam itu. Darah mulai bercipratan ke lantai. Setiap gerakan membuat lebih banyak luka terbuka, serpihan kaca menempel di daging, merobek kulit, dan menghancurkan wajahnya sedikit demi sedikit.
Pak Jaya menendang liar, tubuhnya bergetar hebat karena rasa sakit yang luar biasa. Darah menetes deras ke lantai, menciptakan genangan merah yang semakin besar.
Darma akhirnya melepaskan cengkeramannya. Pak Jaya terkapar di lantai, menggeliat dalam penderitaan. Wajahnya kini bukan lagi wajah yang dikenal siapa pun—kulitnya sobek-sobek, matanya hampir tertutup oleh darah yang mengalir, dan bibirnya bergetar tanpa bisa mengeluarkan kata-kata lagi.
Darma berdiri, menatapnya dari atas.
"Rasakan, Pak Jaya," katanya dingin. "Lo mungkin gak mati hari ini. Tapi lo gak akan pernah jadi orang yang sama lagi."
Pak Jaya hanya bisa menangis dalam diam. Sakitnya tak terlukiskan.
Darma mengambil topengnya kembali dan mengenakannya. Tanpa menoleh lagi, dia berjalan keluar dari gudang, meninggalkan Pak Jaya yang kini hanya tinggal bayangan dari dirinya yang dulu.
Pagi itu, suasana di perusahaan logistik tempat Pak Jaya bekerja terasa aneh. Semua karyawan mulai berdatangan, beberapa di antaranya bertanya-tanya di mana Pak Jaya. Biasanya, pria itu selalu datang lebih awal, duduk di ruangannya dengan wajah penuh wibawa, siap memberi perintah dengan nada superiornya.
Namun, pagi ini berbeda.
Para staf yang biasa berinteraksi dengannya mulai saling berbisik. "Pak Jaya belum datang?"
"Biasanya jam segini dia udah ada di ruangan."
"Apa dia sakit?"
Ruangan Pak Jaya tetap kosong. Tidak ada tanda-tanda dirinya.
Lalu, seorang staf senior yang biasa menerima laporan darinya mencoba menghubungi ponselnya. Tidak aktif. Ini semakin aneh. Bahkan, tidak ada satu pun bawahan langsungnya yang tahu keberadaannya.
Beberapa karyawan mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Doni, yang sedang duduk di mejanya, hanya diam. Tangannya mencengkeram cangkir kopi yang sudah dingin, tatapannya kosong. Dia tahu apa yang terjadi.
Darma.
Tidak ada orang lain yang bisa melakukan ini. Tidak ada orang lain yang bisa membuat Pak Jaya menghilang tanpa jejak seperti ini.
Doni menarik napas panjang. Dia sudah mencoba berbicara dengan Darma malam itu di warung kopi, mencoba menyadarkannya, tapi pria itu sudah bukan lagi pria yang dikenalnya dulu. Mata Darma penuh dengan dendam, dengan kegelapan yang tidak bisa lagi dijangkau oleh akal sehat.
Doni berusaha menepis pikirannya dan kembali fokus pada pekerjaannya. Tapi pikirannya terus mengembara.
Apa yang dilakukan Darma pada Pak Jaya?
Apakah dia sudah membunuhnya?
Ataukah dia melakukan sesuatu yang lebih buruk?
Ketika beberapa karyawan mulai mencari ke kantor pusat, dan laporan mulai masuk tentang hilangnya Pak Jaya, Doni hanya bisa menatap kosong ke layar komputernya.
Darma sudah memulai jalannya.
Dan tidak ada yang bisa menghentikannya sekarang.
Polisi tiba di gudang tua itu setelah menerima laporan dari seseorang yang tidak diketahui identitasnya. Saat mereka masuk, bau anyir darah menyengat di udara. Cahaya senter menyorot ke segala arah, menyapu setiap sudut ruangan yang gelap dan penuh debu.
Lalu, mereka menemukannya.
Pak Jaya.
Tubuhnya tergeletak di lantai dengan luka mengerikan di wajahnya. Darah masih mengalir dari luka-luka yang dalam, serpihan kaca berceceran di sekitarnya. Wajah yang dulunya penuh arogansi kini sudah tidak bisa dikenali lagi. Daging wajahnya koyak, tercabik seperti daging mentah yang dicabik oleh hewan liar.
Namun, yang paling mengerikan—dia masih hidup.
Seorang polisi segera berlutut di sampingnya, memeriksa nadinya. “Dia masih bernapas! Panggil ambulans sekarang!”
Pak Jaya menggerakkan bibirnya, mencoba mengatakan sesuatu, tapi hanya suara rintihan pelan yang keluar. Matanya kosong, seolah jiwanya telah meninggalkan tubuhnya.
Saat ambulans datang dan membawanya ke rumah sakit, para petugas hanya bisa saling berpandangan. Siapa yang melakukan ini? Apa motifnya?
Di rumah sakit, dokter dan perawat bekerja cepat. Pak Jaya langsung dibawa ke ruang operasi, mencoba menyelamatkan apa yang tersisa dari wajahnya.
Namun, meskipun tubuhnya masih bisa diselamatkan, pikirannya tidak.
Ketika dia sadar dari efek bius operasi, dia hanya menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Tidak menangis, tidak berteriak, tidak ada reaksi.
Salah satu perawat mencoba berbicara dengannya. “Pak Jaya, Anda bisa mendengar saya?”
Tidak ada jawaban.
Dokter datang dan melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Beberapa jam kemudian, mereka menyimpulkan satu hal: mentalnya telah hancur.
Trauma yang dialaminya begitu dalam hingga membuatnya kehilangan kepribadian. Dia hanya duduk diam, menatap ke depan tanpa emosi, tanpa ekspresi. Tidak ada lagi sosok penguasa di tempat kerja. Tidak ada lagi suara perintah dan nada superior. Yang tersisa hanyalah cangkang kosong dari seseorang yang pernah berkuasa.
Di luar kamar rumah sakit, para polisi berdiskusi.
“Siapa pun yang melakukan ini… dia bukan hanya ingin membunuhnya. Dia ingin menghancurkannya.”
Salah satu polisi menatap rekannya dengan ekspresi ngeri. “Dan dia berhasil.”
Hari-hari di rumah sakit adalah mimpi buruk bagi Pak Jaya.
Bukan hanya karena wajahnya yang hancur, tapi karena dia sadar—hidupnya sudah berakhir.
Istrinya datang pertama kali setelah operasi. Saat dia masuk ke ruangan, Pak Jaya langsung menatapnya dengan mata kosong, berharap ada sedikit harapan yang tersisa. Tapi yang dia lihat adalah ekspresi ngeri di wajah istrinya.
Sang istri menutup mulutnya, menahan muntah. “Astaga… Tuhan…”
Pak Jaya ingin berbicara, tapi suara yang keluar dari mulutnya hanya rintihan pelan. Luka di wajahnya terlalu parah, membuatnya sulit bicara. Dia mencoba mengangkat tangan, ingin menyentuh istrinya, tapi perempuan itu mundur selangkah.
“Ja-jangan sentuh aku…” suaranya bergetar.
Pak Jaya merasakan sesuatu mencengkeram dadanya—rasa sakit yang lebih menyiksa daripada semua siksaan fisik yang dia terima dari Darma.
Tak lama, anaknya masuk ke dalam ruangan. Seorang bocah laki-laki berusia tujuh tahun. Pak Jaya tersenyum, berharap anaknya tidak peduli dengan wujudnya sekarang.
Tapi saat anaknya melihat wajahnya—bocah itu berteriak ketakutan.
“AAAAH! MONSTER!!”
Tangis anaknya memenuhi ruangan, dan bocah itu langsung berlari ke belakang ibunya, bersembunyi di sana.
Pak Jaya terdiam.
Sakitnya menusuk lebih dalam dari belati mana pun.
Dia mencoba mengulurkan tangan. “Nak… ini Ayah…”
“Pergi! Jangan dekati aku! Ayah monster!”
Saat itulah dia menyadari—dia sudah mati.
Bukan secara fisik, tapi secara batin. Tidak ada lagi kehidupan baginya.
Istrinya menenangkan anak mereka, lalu menatap Pak Jaya dengan mata penuh kebencian. “Kau tahu? Mungkin ini balasan yang pantas untukmu.”
Pak Jaya terkejut. “A-apa maksudmu…”
Sang istri hanya menggeleng, air mata jatuh di pipinya. “Aku sudah lama tahu tentang korupsimu. Aku tahu semua yang kau lakukan selama ini. Aku diam… karena aku takut. Tapi sekarang, kau bukan siapa-siapa lagi. Aku tak mau hidup dengan seseorang yang bahkan anaknya sendiri takut padanya.”
Pak Jaya ingin berteriak, ingin marah, ingin memohon—tapi tidak ada gunanya.
Istrinya menghela napas panjang. “Mulai hari ini, aku akan mengajukan cerai.”
Mata Pak Jaya melebar.
“Jangan… aku masih punya kau… aku masih punya anak kita…”
Tapi istrinya tidak menoleh lagi. Dia menggandeng anak mereka dan keluar dari ruangan, meninggalkan Pak Jaya sendirian.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Pak Jaya benar-benar sendiri.
Malam itu, dia bangun dari tempat tidurnya di rumah sakit. Langkahnya pelan, tertatih karena tubuhnya masih lemah.
Dia berjalan ke jendela kamarnya, menatap keluar.
Dari lantai keempat rumah sakit itu, dia bisa melihat kota yang dulu dia kendalikan dengan arogansi. Kota yang dulu memberi dia kekuasaan dan kemewahan.
Tapi sekarang, semua itu tidak ada artinya.
Darma telah menghancurkannya.
Bukan hanya wajahnya. Bukan hanya tubuhnya. Tapi juga jiwanya.
Pak Jaya menatap tangannya yang gemetar. Tidak ada lagi yang tersisa untuknya. Tidak ada keluarga. Tidak ada kekuasaan. Tidak ada alasan untuk hidup.
Angin malam terasa dingin saat dia membuka jendela.
Lalu, tanpa ragu…
Dia melompat.
Tubuh Pak Jaya menghantam tanah dengan suara keras, tulang-tulangnya remuk, darah menyebar di sekelilingnya. Para perawat yang sedang bertugas menjerit melihat tubuh yang kini tidak berbentuk itu.
Seorang polisi yang berjaga di rumah sakit berlari mendekat, tapi terlambat.
Pak Jaya telah mengakhiri segalanya dengan cara yang paling mengenaskan.
Di samping mayatnya yang hancur, angin malam berhembus pelan, seolah mengirimkan pesan ke seluruh kota:
Darma telah memulai sesuatu.
Dan ini baru permulaan.