Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Aku meletakkan tubuh Nayla perlahan di atas tempat tidur. Napasnya masih berat, keringat membasahi pelipisnya. Ia menggigit bibir, berusaha menahan rasa sakit yang belum juga mereda.
Aku duduk di sisi tempat tidur, masih menatapnya dengan cemas.
“Nayla, katakan saja yang sebenarnya. Apa ini benar-benar hanya keram perut?” tanyaku pelan.
Ia menoleh sebentar, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah meja di sudut ruangan.
“Ambilkan tasku,” katanya lirih. “Obatku ada di sana. Di kantong depan.”
Aku bangkit tanpa banyak tanya, mengambil tas berwarna cokelat muda. Tanganku bergerak cepat mencari ke dalam kantong yang dimaksud. Sebuah botol kecil obat berbentuk kapsul segera kutemukan.
“Ini?” tanyaku, menunjukkan botol itu padanya.
Nayla mengangguk pelan. “Itu obat keram. Aku memang sering begini kalau telat makan atau terlalu lelah.”
Aku menatap botol itu sejenak, mencoba membaca labelnya, tapi hurufnya terlalu kecil. Entah kenapa, hatiku masih belum sepenuhnya tenang. Namun aku tidak ingin memaksanya bicara lebih jauh saat keadaannya masih lemah.
“Kamu yakin ini cukup? Perlu aku panggil dokter?” tanyaku lagi, separuh ragu.
“Tidak perlu,” jawabnya tegas. “Setelah minum itu, aku akan membaik. Aku hanya butuh tidur sebentar.”
Aku menyerahkan botol itu padanya. Ia menelan satu kapsul dengan air putih yang kuambilkan dari meja samping tempat tidur.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hanya suara napasnya yang mulai melambat, pertanda bahwa rasa sakitnya mungkin mulai berkurang.
Namun ketenangan itu tidak bertahan lama.
Pintu kamar terbuka, dan Ara masuk tanpa mengetuk. Wajahnya menunjukkan kekesalan yang tidak disembunyikan.
“Nayla, kamu tidak apa-apa?” tanyanya datar, berjalan mendekat.
Aku berdiri dari sisi ranjang saat Ara tiba-tiba melingkarkan tangannya di lenganku. Sentuhannya membuatku refleks menghindar dan menepis tangannya dengan cepat.
Aku bisa merasakan mata Nayla menatap kami. Tatapannya hanya sekilas, tidak menunjukkan reaksi apa pun, lalu ia kembali bersandar di bantal.
“Kalau kalian sudah selesai,” ucap Nayla datar, “aku ingin istirahat. Aku mohon, keluarlah. Aku tidak ingin diganggu.”
Nada bicaranya terdengar sangat lelah. Bahkan lebih dingin daripada biasanya.
Aku menatap wajahnya untuk beberapa detik. Ia tidak melihat ke arahku, hanya memejamkan mata seperti sedang menghindari segalanya.
Ara tampak ingin protes, namun aku lebih dulu meraih lengannya dan mendorongnya perlahan ke arah pintu.
“Kita keluar,” kataku tegas.
“Tapi aku hanya—”
“Nayla butuh istirahat.”
Aku membawanya keluar kamar sebelum Ara sempat melanjutkan protesnya. Begitu pintu tertutup, aku memejamkan mata sejenak. Di balik ketegasan yang kutunjukkan, ada gelisah yang terus mengendap di dadaku.
"Rey, ayo Kita kembali ke meja makan. Tante dan yang lainnya sudah menunggu kita," ucap Ara, membuatku menoleh padanya.
"Ara," ucapku pelan, tapi dengan nada yang dingin. "Jangan dekati aku lagi."
Ara tampak terkejut. Senyumnya langsung menghilang.
"Aku tidak ingin ada salah paham lagi," lanjutku tegas. "Kita sudah bukan apa-apa. Dan aku... sudah menikah."
Ara menunduk sesaat, lalu menatapku kembali dengan tatapan yang kini lebih keras. "Tapi kamu sendiri tidak pernah memperlakukan pernikahanmu itu seperti pernikahan sungguhan, Rey."
Aku menggeleng pelan. "Itu urusan antara aku dan Nayla. Bukan tempatmu untuk ikut campur."
"Aku hanya—"
"Kamu hanya ingin kembali ke masa lalu. Tapi aku tidak. Dan kau sendiri tahu kenapa dulu aku menjadikanmu pacarku," ucapku dingin.
Tanpa menunggu jawaban atau reaksi darinya, aku melangkah pergi, meninggalkannya sendiri di koridor.
***
Langkahku menjauh dari koridor itu, tapi pikiranku tertinggal jauh di belakang, di masa lalu yang belum benar-benar selesai.
Aku dan Nayla. Kami sudah berteman sejak kecil.
Papa selalu bilang, “Nayla itu anak baik. Ayahnya? Orang yang paling bisa Papa percaya.”
Tapi semenjak Papa mengalami serangan jantung, dunia seolah berhenti. Nafasku ikut berhenti.
Dan yang kutahu… sebelum Papa meninggal, dia dan ayah Nayla sempat berdebat hebat. Tentang apa, aku tidak tahu. Tapi aku mendengarnya. Aku melihat wajah Papa waktu itu, tegang, marah, kecewa.
Dan sejak hari itu, aku menanam keyakinan sendiri, semua ini terjadi karena ayah Nayla.
Orang yang katanya bisa dipercaya. Orang yang katanya saudara sendiri bagi Papa.
Aku tahu itu mungkin tidak adil. Tapi aku waktu itu masih kecil. Dan kehilangan membuat segalanya terlihat seperti pengkhianatan.
Dan Nayla... Nayla tetap datang setiap hari, menanyakan kabarku, membawakan makanan dari rumahnya. Meskipun Mama selalu mengusirnya. Tapi dia tak pernah menyerah.
Cinta dan benci tumbuh bersama dalam dadaku seperti racun yang diam-diam meracuni semuanya.
Saat remaja, aku memilih jalan paling mudah untuk menyakiti, menjauh darinya. Menjaga jarak. Dan akhirnya, mendekati Ara.
Bukan karena aku menyukai Ara. Tapi karena aku ingin Nayla merasa tersisih. Aku ingin dia tahu bagaimana rasanya dicampakkan. Aku ingin membalas sesuatu, meski aku sendiri tidak yakin apa yang kubalas.
Dan Nayla? Dia hanya diam. Tapi tatapannya saat itu... cukup untuk membuatku merasa paling kejam di dunia.
***
Aku menuruni tangga pelan. Aku tidak tahu harus ke mana, tidak siap kembali ke meja makan dan berpura-pura tersenyum.
Kakiku membawa ke lorong belakang, lorong menuju ruang kerja Papa.
Dan di sana… langkahku terhenti.
Aku melihat Mama berdiri di depan pintu ruang kerja itu. Tangannya menggenggam sesuatu. Dia menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada yang melihat.
Aku cepat-cepat berbalik, menyembunyikan diri di balik dinding, cukup jauh untuk tidak terlihat, tapi cukup dekat untuk mengintai.
Mama membuka pintu. Pelan-pelan. Ia masuk. Dan menutup pintunya setengah rapat.
Beberapa detik aku hanya terpaku.
Lalu rasa penasaran mendorong langkahku mendekat. Aku menyelinap mendekati celah pintu. Mengintip diam-diam.
Di dalam, Mama berjalan menuju meja kerja Papa. Dia membuka salah satu laci, laci yang selalu dikunci. Dan dari sana, dia mengeluarkan sesuatu. Sebuah flashdisk kecil.
Tangannya sedikit gemetar saat menatap flashdisk itu. Ia lalu pindahkan ke dalam tas tangannya.
Aku tidak tahu isinya. Tapi wajah Mama... dia terlihat gugup. Bukan seperti seseorang yang sedang membersihkan kenangan. Tapi seperti seseorang yang menyembunyikan sesuatu.
Tanganku nyaris menyentuh kenop pintu, ingin masuk dan menuntut penjelasan, saat suara langkah cepat terdengar dari ujung lorong.
“Mama!”
Itu suara Nayla.
Aku mundur selangkah. Dan bersembunyi lagi ke sisi dinding yang lebih gelap.
Nayla masuk ke ruang kerja Papa dengan napas terengah. Wajahnya tegas. Pandangannya langsung tertuju ke Mama.
“Apa Mama berusaha mengambil bukti itu?” tanya Nayla tajam. Suaranya nyaris bergetar. “Bukti yang sebenarnya tentang kenapa Papa Reyhan meninggal?”
Aku tertegun.
Mama tampak terkejut. Tapi hanya sejenak.
Dia menghela napas pelan dan menatap Nayla. “Nayla, kamu tidak seharusnya ikut campur dalam urusan ini.”
“Kalau urusannya hanya tentang Mama, mungkin aku memang tidak punya hak,” sahut Nayla, tetap tenang. “Tapi ini tentang nama baik Papaku. Dan Reyhan sendiri berhak tahu kebenarannya.”
“Kebenaran?” Mama tersenyum tipis. “Kadang kebenaran justru hal paling menyakitkan, Nayla. Dan aku... aku cuma ingin melindungi anakku.”
“Menyembunyikan sesuatu tidak akan pernah bisa disebut melindungi,” balas Nayla pelan.
Ada jeda panjang. Sunyi. Lalu Mama melangkah pelan ke arah Nayla. Wajahnya menegang.
"Kau tidak tahu apa-apa, Nayla. Kau sama seperti Papamu. Karena dia tidak bisa menjaga rahasia, aku hampir di ceraikan oleh almarhum Papanya Reyhan. Tapi beruntung papanya Reyhan belum sempat menceraikanku, jadi aku masih bisa menjadi Nyonya di rumah ini." Mama tersenyum penuh kemenangan.
Aku masih berdiri di balik dinding, jantungku berdetak semakin keras mendengar tiap kata yang terlontar dari mulut Mama. Kalimat terakhir itu… menghantamku seperti badai. Papa ingin menceraikannya? Dan semua ini… ada hubungannya dengan Ayah Nayla?
Aku nyaris tidak percaya apa yang baru saja kudengar.
Tapi sebelum aku sempat memproses semuanya, suara Nayla terdengar jelas, dan tegas.
“Aku tidak akan diam, Ma,” ucapnya dengan nada yang membuat tubuhku seketika tegang. “Aku tidak akan biarkan Mama terus menyembunyikan kebenaran.”
Mama terdiam sejenak.
“Aku akan terus mencari buktinya. Dan aku akan membuktikan bahwa Papaku tidak bersalah. Bahwa Papa Reyhan meninggal bukan karena apa yang Mama tuduhkan.”
Aku bisa mendengar napas Nayla yang terengah. Tapi suaranya tetap stabil, dan itu justru membuat semuanya terasa lebih menusuk.
“Mama bilang ingin melindungi Reyhan?” lanjut Nayla. “Tapi kenyataannya Mama hanya ingin melindungi diri Mama sendiri. Dari masa lalu. Dari kesalahan yang Mama buat sendiri.”
Suara langkah kaki mendekat.
Aku mundur perlahan dari pintu, bersembunyi kembali ke balik tiang kayu besar di dekat rak buku.
Apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini selama ini?
Papa, Mama… Ayah Nayla?
Kenapa semuanya terdengar seperti drama yang selama ini aku tolak untuk percaya?
Suaraku tercekat di tenggorokan. Aku ingin masuk, ingin bertanya langsung, tapi kakiku terasa membeku di tempat. Hanya jari-jariku yang mengeras, mengepal erat di sisi tubuhku.
Lalu aku mendengar suara Mama lagi, kali ini lebih rendah.
“Kalau kau pintar, Nayla... kau akan berhenti sekarang juga. Jangan sok menjadi pahlawan. Atau nasibmu akan sama seperti Papanya Reyhan," ancam Mama.
“Kalau memang kebenaran itu menyakitkan,” jawab Nayla lirih, “biar aku saja yang menanggungnya. Aku sudah terbiasa dengan rasa sakit.”
Nayla keluar dari ruang kerja itu dengan langkah cepat. Wajahnya pucat, tapi matanya menyala tajam. Tegas. Aku segera bergerak, mengikuti di belakangnya dengan hati yang terus berdegup tak karuan.
Kata-kata Mama tadi masih membekas di kepala.
"Atau nasibmu akan sama seperti Papanya Reyhan."
Ancaman itu bukan sekadar kata-kata kosong. Aku tahu betul, Mama tidak pernah bicara sesuatu tanpa maksud. Dan saat dia merasa terpojok, dia bisa melakukan hal yang bahkan aku sendiri tak sangka.
Aku menuruni tangga bersama Nayla, menjaga jarak agar dia tidak sadar bahwa aku mengikutinya. Dia tidak menoleh sedikit pun. Hanya fokus melangkah menuju ruang makan, ke meja panjang di mana Tante, Om, dan Arlan sedang duduk, mencoba menikmati makan malam.
Begitu Nayla duduk di kursinya, aku pun langsung menyusul dan duduk tepat di sampingnya.
Matanya langsung melirik ke arahku dengan alis yang sedikit mengernyit.
“Kamu duduk di sini?” tanyanya pelan, suaranya datar.
Padahal sebelumnya aku memang duduk di samping Ara. Tapi setelah semua yang barusan terjadi, aku tidak ingin Nayla berada sendirian, atau lebih tepatnya, aku tidak ingin Mama mencoba mendekatinya lagi tanpa aku tahu.
Ara memandangiku dari seberang meja, jelas terlihat tidak suka. Tapi aku tidak peduli.
“Aku ingin di sini,” jawabku singkat.
Nayla hanya menghela napas dan mengalihkan pandangan. Tapi aku bisa melihat dari sudut mataku, dia sedikit menjauh, menjaga jarak antara tubuh kami.
Arlan yang duduk di seberang Nayla, langsung menyapa dengan senyum hangat. “Kamu sudah baikan, Nay?”
Nayla menoleh, lalu mengangguk pelan sambil tersenyum kecil. “Sudah, kok. Terima kasih, Arlan.”
Dan saat itu juga, aku menoleh padanya cepat-cepat, mataku tajam menusuk.
“Jangan senyum seperti itu,” ucapku pelan tapi jelas, “terutama padanya.”
Nayla menoleh dengan dahi berkerut. “Apa maksudmu?”
Aku tidak menjawab. Aku hanya menatapnya dalam-dalam, membuatnya perlahan menarik senyumnya, bingung dan kesal.
Arlan juga tampak canggung seketika. Dia hanya menunduk dan pura-pura memperbaiki posisi gelas di depannya.
Aku tahu aku terdengar terlalu keras. Tapi entah kenapa, melihat senyum itu… yang seharusnya hanya milikku… muncul untuk orang lain, bahkan Arlan sekalipun, membuat sesuatu dalam diriku mendidih tak terkendali. Nayla hanya boleh tersenyum padaku.
Aku tidak bisa mengabaikan rasa takut itu.
Bukan hanya takut kehilangan.
Tapi takut… sesuatu terjadi pada Nayla sebelum aku sempat memperbaiki semuanya.
Dan sebelum aku tahu, mungkin Mama benar-benar bisa membuatnya terluka, seperti yang dia lakukan pada Papa.
Mama kembali ke meja makan dengan wajah datarnya yang biasa. Seolah tidak ada percakapan tajam yang baru saja terjadi di ruang kerja. Seolah semuanya baik-baik saja.
Aku menajamkan tatapanku, memperhatikan setiap geraknya.
Tak lama kemudian, salah satu pelayan datang membawa nampan berisi beberapa cangkir teh hangat. Pelayan itu membagikan satu per satu, meletakkannya dengan sopan di depan kami semua. Teh hangat mengepul ringan, aroma melati samar tercium di udara.
Aku mengambil cangkir tehnya, mencicipi sedikit. Biasa. Tapi saat aku melirik ke arah Nayla, aku melihat sesuatu yang membuat tubuhku langsung siaga.
Mama menatap Nayla.
Dan di sudut bibirnya… terangkat sebuah senyuman kecil. Bukan senyuman ramah. Tapi seperti senyuman aneh yang tidak enak.
Refleks, aku menoleh ke arah cangkir teh Nayla yang baru saja diangkat olehnya. Tangannya sudah nyaris mengangkat ke bibir.
“Nayla, tunggu!” seruku pelan namun tajam, membuatnya terhenti.
Dia menatapku heran. “Kenapa?”
Aku mengulurkan tangan, menahan cangkir itu. “Aku mau minum punyamu.”
Dia memandangku makin bingung. “Tapi kamu kan punya sendiri, Rey.”
“Aku mau punyamu,” ulangku tanpa menunggu. Langsung kuraih cangkir itu dari tangannya dan menyesapnya dengan cepat.
Beberapa detik aku diam, mencoba merasakan apakah ada yang aneh.
Pahit. Tidak seperti teh melati biasa. Ada sensasi getir di lidah. Halus, nyaris tidak terasa kalau tidak benar-benar peka.
Aku menatap Mama. Sekilas. Dia tampak biasa saja. Tapi aku tahu dia menyadari apa yang kulakukan.
Aku berdeham dan berdiri dari kursiku. “Maaf, semuanya,” ucapku datar. “Kami akan pulang duluan.”
Nayla menoleh cepat padaku. “Hah? Pulang?”
Aku tak menjawab, hanya langsung menggenggam tangannya. “Ayo.”
“Reyhan! Aku bisa pulang sendiri!”
Tapi aku tidak mengindahkannya. Aku terus menggandengnya keluar, melewati lorong rumah utama yang dingin dan panjang itu. Suara-suara di ruang makan mulai terdengar samar, hingga akhirnya hilang sepenuhnya ketika kami tiba di luar.
Begitu keluar dari pintu, Nayla langsung melepaskan tanganku dengan kasar.
“Apa sih maumu?! Kenapa kamu bersikap seenaknya, Reyhan?!” bentaknya, nafasnya naik turun karena emosi. “Tadi kamu bahkan membiarkan aku datang sendirian ke rumah ini! Dan sekarang kamu seenaknya memaksaku pulang bareng kamu?!”
Aku tidak menjawab. Aku hanya melangkah cepat ke arahnya.
“Jangan gila, Rey! Aku bisa jalan sendiri—”
Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, aku langsung membungkuk dan mengangkat tubuhnya ke dalam gendongan.
“Hei! Apa-apaan sih?!” Nayla meronta, memukul pelan dadaku. “Turunin aku, Reyhan! Aku bilang aku bisa pulang sendiri!”
Aku tetap berjalan ke arah mobilku. “Kamu tidak tahu apa yang barusan hampir kamu minum.”
“Apa maksudmu?”
“Diam dulu. Kita bicarakan nanti.”
“Reyhan!” serunya lagi, tapi kali ini aku tidak menggubris.
Kukunci pintu mobil dari dalam setelah menaruhnya di kursi penumpang dan mengencangkan sabuk pengamannya. Lalu aku segera masuk ke kursi kemudi dan menyalakan mesin.
Dari sudut mataku, Nayla masih melotot padaku, tapi kini juga ada kekhawatiran samar di wajahnya.
Dan jujur saja, itu yang paling aku takutkan.
Bukan tatapannya yang marah.
Tapi kemungkinan bahwa kecurigaanku benar, dan Mama barusan hampir menyakitinya… dengan caranya sendiri.
***
Tubuhku mulai terasa aneh.
Awalnya hanya hangat. Tapi kemudian menjalar jadi panas. Seperti ada sesuatu yang membakar dari dalam. Tenggorokanku kering. Keringat mulai membasahi pelipis, padahal AC mobil menyala dengan suhu rendah.
Tanganku yang menggenggam setir mulai gemetar pelan.
Sial.
Apa ini…?
Aku menoleh sekilas ke arah Nayla. Dia menatapku bingung, penuh curiga. "Reyhan, kamu kenapa? Wajahmu merah. Napasmu juga berat."
Aku tidak menjawab.
Tidak bisa menjawab.
Jantungku berdebar begitu kencang, bukan karena panik… tapi karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang tidak normal. Dadaku terasa sesak, bukan seperti sesak karena marah, tapi lebih seperti ditindih gelombang… gairah yang aneh.
Tuhan.
Mama.
Apa yang dia taruh di teh itu?
“Aku tidak kenapa-kenapa,” jawabku akhirnya, meski suaraku terdengar serak dan tertahan.
“Kamu kelihatan tidak baik-baik saja, Reyhan,” Nayla bersikeras. Dia hendak menyentuh bahuku, tapi aku segera menghindar. Bahkan sentuhan kecilnya barusan seperti mengirimkan aliran panas ke seluruh tubuhku.
Aku tidak bisa di dekatnya sekarang.
Aku mempercepat laju mobil, menembus jalan dengan kecepatan di atas normal. Aku tidak berani menatap ke arahnya lagi. Bahkan aroma tubuhnya saja sekarang terasa seperti jebakan, membuat semua yang ada dalam diriku memberontak tanpa kendali.
“Kamu mau ke mana sih? Kita harusnya—”
“Diam, Nayla,” potongku cepat. Aku tidak bisa mendengar suaranya sekarang. Aku hanya perlu sampai rumah. Sebelum semua ini meledak.
Mobil melaju kencang, memotong jalan pintas dan akhirnya menepi tajam di depan rumah kami.
Aku turun lebih dulu. Nafasku ngos-ngosan. Kemeja bagian dadaku basah karena keringat.
Kupaksakan langkah ke sisi penumpang, membukakan pintu, lalu menarik Nayla keluar dengan cepat.
“Reyhan, kamu... hei!” serunya. Tapi aku tak menjawab. Aku hanya terus menariknya masuk ke dalam rumah, ke arah tangga, lalu naik dengan langkah tergesa menuju kamar kami.
"Reyhan, apa kamu marah? Apa kamu sakit? Rey, jawab aku!" Nayla terus bertanya, semakin panik karena sikapku yang kacau.
Tapi aku bahkan tidak bisa menjelaskan bahwa aku sedang menahan diri dari sesuatu yang tidak bisa aku kendalikan. Bahwa tubuhku… sedang dalam keadaan yang nyaris kehilangan kendali karena teh sialan itu.
Begitu sampai di kamar, aku mendorong pintunya terbuka dan memasukinya.
Menutup pintu keras-keras.
Menjauh darinya sejauh mungkin.
Menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata.
“Jangan dekati aku, Nayla…” ucapku rendah, nyaris seperti rintihan. “Tolong…”
Nayla berdiri mematung. Kebingungan dan ketakutan jelas tergambar di wajahnya. Dia menatapku, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku hanya bisa berdiri di sana… menahan hasrat yang mulai mengambil alih logika.