"Apa kamu takut?" tanya Mark sembari mengusap pipi Jessy yang memerah.
"Sedikit."
Jawaban Jessy membuat Mark merasa gemas. Wajah polos wanita itu benar-benar menarik.
"It's okay. Kita memang baru pertama melakukannya," kata Mark.
Jessy mengalihkan pandangannya ke tempat lain. Ia tak kuasa menyaksikan tubuh indah Mark yang tampak kokoh sebagai tempat bersandar.
"Ayolah, kenapa kamu seperti malu-malu begini? Bukankah ini sudah biasa untukmu dan pacarmu?" tanya Mark yang melihat Jessy seakan tak mau melihatnya.
"Aku ... Belum pernah melakukan yang seperti in," lirih Jessy.
"Apa?" Mark terkejut. Ia kira hal semacam itu sudah biasa dilakukan orang yang telah berpacaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Tidak Bahagia
Ting!
Sebuah notifikasi masuk ke dalam ponsel Jessy, memberitahukan bahwa seseorang baru saja mentransfer sejumlah uang ke dalam rekeningnya.
Jessy menghela napas. Ia kira akan sangat bahagia jika mendapatkan kiriman uang 100 juta. Bukan hanya uang, Mark juga rutin mengirimkan paket seperti tas, parfum, atau sepatu yang dikirimkan langsung dari Inggris.
Setiap kali ia mendapatkan semua itu, bebannya seakan bertambah. Ia semakin tak bisa lepas dari Mark karena balas budi. Ia tahu perbuatannya salah, namun tak tahu bagaimana cara mengembalikan keadaan seperti semula.
Tidak memiliki uang membuatnya menderita. Memiliki banyak uang juga membuatnya begitu sengsara. Ada banyak orang yang harus dibohongi untuk menjaga rahasia itu.
Terkadang Jessy ingin tahu, keluarga seperti apa yang Mark miliki. Istri seperti apa yang tega ia rebut suaminya secara materi dan perhatiannya. Sebagai sesama wanita, ia bisa merasakan bagaimana sakitnya diduakan.
"Jess! Perkuliahan sudah selesai. Kamu kok melamun terus dari tadi?" tegur Fika yang duduk di sebelahnya.
Jessy hampir lupa jika dirinya masih berada di dalam kelas.
"Kamu sedang ada masalah, ya?" tanya Fika penasaran.
Setelah liburan, Fika merasa ada banyak perubahan dari Jessy. Wanita itu sering terlihat murung dan melamun. Padahal, sebelumnya Jessy seorang yang penuh semangat dan ceria.
"Aku tidak ada masalah, Fik. Hanya sedikit kurqng enak badan," katanya sembari mengemasi barang-barangnya.
Sekilas Jessy melirik ke arah Justin. Hal yang sama Justin lakukan sehingga mata mereka bertemu. Justin telah menggendong tasnya, bersiap keluar ruangan dengan temannya. Meskipun tidak berkomunikasi, tatapan mata keduanya seakan telah berbicara.
"Habis kuliah kamu mau kemana?" tanya Fika.
"Aku mau ke rumah sakit sebentar. Setelah itu baru ke perpustakaan kota untuk mengerjakan tugas dan bertemu Justin," jawab Jessy.
"Hubunganmu dengan Justin benar baik-baik saja, kan? Aku benar-benar khawatir kalian bertengkar gara-gara liburan kita waktu itu." Fika memasang raut bersalah.
Jessy tersenyum. "Siapa yang hubungannya tidak baik-baik saja, sih? Kita masih pacaran kok," katanya.
"Syukurlah kalau begitu." Fika merasa lega. "Oh, iya. Bagaimana kondisi Nino? Apa operasinya lancar?" tanyanya Lagi.
"Puji syukur kondisinya semakin membaik setelah operasi. Doakan dia secepatnya pulih, Fik."
"Iya. Aku selalu berharap yang terbaik untuknya. Kalau aku tidak ada urusan, sebenarnya aku mau ikut kamu jenguk Nino. Tapi, kali ini aku titip salam saja, ya!"
"Iya, nanti aku sampaikan."
Fika mengenal Nino dari Jessy. Beberapa kali Jessy mengajak Fika ke rumah sakit menjenguk Nino. Di sanalah keduanya saling mengenal.
"Oh, iya, Fik. Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Jessy.
"Tanya apa? Tanyakan saja," kata Fika.
"Kamu ... Sebenarnya bahagia nggak hidup seperti itu terus? Jangan tersinggung, ya!" Jessy agak takut menanyakannya.
"Maksudnya ... Berhubungan dengan Mas Leon?" Fika berbicara dengan nada lirih.
Jessy mengangguk. "Kalau tidak mau menjawab juga tidak apa-apa, aku hanya iseng."
"Aduh, pasti mau ceramah menyuruhku tobat, ya! Hahaha ...."
Jessy merasa ikut tersindir. Ia yang dulu sangat heran kenapa Fika bisa memilih jalan seperti itu. Kini, ia sendiri yang terjerumus pada jalan yang sama.
"Kalau dibilang bahagia juga tidak sepenuhnya bahagia juga. Manusia hidup pasti ada sedih-sedihnya. Tapi, setelah aku pikir-pikir lagi, hidupku lebih menyedihkan sebelum bertemu Mas Leon. Kalau sekarang, aku tidak perlu pusing untuk memikirkan uang. Aku bisa membeli apapun yang aku mau."
"Tapi, Pak Leon kan suami orang. Tidak selamanya hubungan kalian juga akan bertahan," kata Jessy.
"Iya juga sih!" ucap Fika. "Tapi ... Aku hanya ingin menikmati yang sekarang aku nikmati saja."
"Kamu tidak ingin punya pacar? Atau menjalin hubungan dengan lelaki yang mantap untuk kamu nikahi di masa depan? Atau kamu bercita-cita jadi istri Pak Leon?"
Fika menggeleng. "Aku belum kepikiran. Menurutku pacaran atau menikah hanya akan menambah beban pikiran. Aku masih senang dengan diriku yang sekarang. Mas Leon bisa menghentikan jatah transferan kalau aku macam-macam dengan lelaki lain," katanya.
"Oh, kamu dilarang pacaran?" tanya Jessy.
"Iyalah, Jess! Dia sudah mengeluarkan banyak uang untukku. Mana rela kalau dia tahu aku punya pacar."
Jessy terdiam. Itu sebabnya Fika tak pernah tertarik dengan lelaki manapun.
Berbeda dengan Jessy, Mark membebaskan jika tetap ingin melanjutkan hubungannya dengan Justin. Hanya saja, seperti yang Mark bilang, ia merasa sangat tertekan untuk mempertahankan hubungannya. Bagaimana bisa ia tetap berpacaran dengan Justin sementara ia berikan tubuhnya kepada lelaki lain?
"Jessy ... Jessy ... Kamu melamun lagi, ya?" tanya Fika.
Fika kembali tersadar dari lamunannya. Ia memukul pelan kepalanya. Entah kenapa dirinya jadi sering nge-blank seperti itu.
"Kayaknya ini efek kebanyakan tugas deh. Aku jadi pusing sendiri. Baru awal-awal semester 5 sudah banyak tugas saja."
"Iya, nggak terasa sudah semester 5 saja kita. Mana sebentar lagi mau magang. Apa kamu sudah ada bayangan mau magang dimana?" tanya Fika.
Jessy menggeleng.
"Ah, iya. Kamu kan mahasiswa yang pintar. Pasti tidak akan bingung cari tempat magang. Bandingkan dengan aku yang tidak dapat nilai D saja sudsh sujud syukur."
"Makanya kalau banyak uang investasikan juga di otak, Fika ... Rajin-rajin beli buku, belajar, ikut seminar. Jangan hanya rajin perawatan dan ke salon," sindir Jessy.
Fika tersenyum lebar. "Maklumlah, Jess. Selain jadi mahasiswa, aku juga jadi mahasewa. Fisik itu penting supaya transferan rutin masuk. Hahaha ...."
Fika selalu menganggap pembicaraannya dengan Jessy sebagai sesuatu yang santai. Ia tidak mudah tersinggung karena tahu Jessy tidak sejahat itu untuk menghakiminya.
"Loh, kita kelamaan di sini, ya?"
Jessy melihat ke arah beberapa mahasiswa yang baru saja masuk ke kelasnya.
"Wah, kelasnya mau dipakai. Kita keluar sekarang, Jess!" ajak Fika.
"Ayo."
Keduanya membawa tas masing-masing beranjak keluar dari ruangan yang akan digunakan untuk perkuliahan kelas lain.
"Kamu mau aku antar?" tanya Fika. Dia biasa membawa mobilnya ke kampus.
"Tidak usah, Fik. Aku naik taksi saja," katanya.
"Ya sudah kalau begitu aku mau langsung ke parkiran. Kamu kalau ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, ya!" Fika mengedipkan sebelah matanya dengan genit sebelum pergi.
Jessy hanya senyum-senyum sendiri dengan tingkah temannya.
realistis dunk