Karena perubahanku, pantaskah kalian menghina?
Bukankah aku seperti ini, lantaran telah melahirkan penerus keluarga!
"Seharusnya, Mas membelaku! Bagaimanapun, aku ini adalah istrimu. Jika, bukan suami ... siapa lagi yang akan melindungiku? Haruskah, aku mencari tempat perlindungan lain? Apakah itu maumu, Mas Azam!" Lika.
"Kita ini hanya seorang anak, sudah seharusnya kita mengalah!" Azam.
Mampukah, Lika bertahan atau memilih pergi dari sisi suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chibichibi@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 19. Balada Bolen Lumer
POV AZAM
"Ada apa ya, Mbak?" tanya ku ketika, Jelita datang menghampiri ku. Hati ini bergetar, ketika ku sadari jika pakaian tetanggaku ini terlalu ketat. Hingga, sebagian lekuk tubuhnya nampak. Dari situ aku bisa membayangkan bagaimana isinya. Astagfirullah! Apa mungkin lantaran hasratku yang belum tuntas semalam, sehingga membuat pikiran sesat mengotori otakku?
"Ku dengar tadi, Nela berkata jika ibu Mirna gak ada yang jaga. Jadi ... aku menawarkan bantuan, itu juga jika Mas Azam bersedia. Aku ingin menjaga ibu Mirna di rumah sakit," ucapnya begitu lembut dan empuk.Padahal dia bukan siapa-siapa kami. Sementara saudara saja pada sok sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
"A–apa itu tidak merepotkan, Mbak? Lagipula, nanti pekerjaan di salon bagaimana?" jawabku, berusaha menolak secara halus. Aku tidak ingin menerima begitu saja tawarannya meskipun kami akan sangat terbantu dengan itu. Mungkin, ibu juga akan suka jika di temani oleh wanita cantik dan modis seperti Jelita.
"Jangan panggil, Mbak kenapa sih! Aku tuh jadi berasa tua. Padahal kan, kita seumuran deh kayaknya," rajuk Jelita, tetap saja cantik. Apalagi bibirnya itu yang sengaja ia majukan. Haihh ... sejak kapan ya Lika berdandan begini. Sepertinya sudah lama sekali ia tidak begitu. Bahkan di depanku. Wajahnya juga makin lama makin berminyak dan jerawatan. Belum lagi kantung matanya yang kadang membuatku malas menatap matanya. Padahal, Lika itu memiliki bentuk mata dan juga bibir yang indah. Entah kenapa sekarang jadi seram begitu.
Berbanding terbalik ketika aku memandang wajah janda cantik di hadapanku ini. Sangat segar dan tidak membosankan. Mungkin, aku akan bahagia jika bisa memandangi istri seperti ini setiap saat. Apalagi kalau pakaiannya modis, tidak gombrong seperti Lika. Benar, kata teman-teman ku semalam. Aku seperti menikah dengan tante-tante. Sial sekali mulut mereka. Lika juga sih, kenapa keluar dengan pakaian seperti itu. Membuat tubuhnya yang besar menjadi semakin tak enak dipandang.
"Oh, gitu ya. Memang sih nampak muda, hanya saja saya merasa gak pantas," ucapku tanpa sadar telah memuji Jelita. Terbukti dari kedua pipinya yang tiba-tiba menjadi merona merah. Jujur memang masih nampak muda. Kulit wajahnya putih bersih dan sangat halus terawat. Ku rasa jika menyentuhnya maka akan terpeleset saking licin dan lembutnya. Entah, bagaimana kulit istriku. Ku lihat ia tidak pernah memakai apapun. Mungkin, juga aku tidak terlalu memperhatikan. Hanya saja, Lika tidak pernah bau itu yang ku tau.
"Masih dong, Mas Azam aja baru tiga puluh dua. Nah, saya tiga puluh satu. Selisih satu tahun, tapi bulan kita sama loh. November," ucap Jelita sambil terkekeh. Membuatku sekejap terkesima melihat giginya yang rata serta gusinya yang merah muda. Sayang, jelita menutup mulutnya dengan telapak tangan. Padahal aku sedang menikmati tawanya.
Tenyata, tawa dari wanita juga mampu membangkitkan hasrat dan birahi laki-laki. Mungkin, sebab itu wanita di perintahkan untuk menutup mulutnya saat tertawa ... juga, menahan dirinya agar tidak tertawa terlalu keras. Sebab, hanya melakukan itu saja sudah mampu menggoda iman pria. Aku membuktikannya sendiri. Dulu, awal aku jatuh cinta pada Lika juga dari caranya tertawa dan tersenyum. Sekarang, hatiku kembali bergetar di saat janda cantik nan seksi ini tertawa renyah di hadapanku.
Gawat ini, gawat kalau sampai Lika tau. Aku pun. seketika menoleh ke dalam rumah. Sepertinya, istri ku itu tidak tau pasal kedatangan Jelita. Ku dengar suara Lulu yang menjerit sambil menangis. Biar saja, paling minta menyusu atau ingin tidur. Ku yakin, Lika dapat mengatasinya sendiri. Bukankah, itu sudah tugas seorang ibu.
"Jangan lama-lama, ketawanya. Nanti bunga dan kupu-kupu jadi malu," ucapku seraya memandang wanita di hadapanku yang menjadi malu-malu kucing.
" Malu kenapa, Mas?" tanya Jelita heran. Seraya menyibak rambutnya yang menjuntai ke depan, hingga dapat ku lihat betapa mulus serta jenjang bentuk lehernya. Apalagi, aku paling suka mencium Lika di bagian bawah telinga. Entah kenapa, selain itu adakah titik sensitive dari kebanyakan perempuan, bagian itu juga membangkitkan libido yang ada didalam tubuhku. Ah, melihat sekilas saja otakku langsung traveling. Sehingga, bagian tertentu dari tubuhku terasa panas.
"Ehm, malu ... karena mereka kalah cantik," puji ku, berniat sedikit bercanda. Benar saja, Jelita kembali tertawa. Ternyata, namanya sangat sesuai dengan orangnya. Senjata makan tuan, aku yang membuatnya tertawa aku sendiri yang menjadi lemas. Sebab kali ini bahunya ikut bergerak naik turun Jangan tanyakan bagian depan tubuhnya. Tentu saja ikut bergerak. Dapat kupastikan jika bagian itu masih sangat kencang. Mungkin, karena Jelita belum memiliki anak, jadi ia tidak pernah menyusui.
"Ya ampun, Mas. Jelita capek deh ketawa. Mas Azam bisa aja ngegombalnya. Pasti, istrinya mas Azam tuh bahagia banget ya. Punya suami kayak mas Azam," ucap Jelita seraya menatapku.
"Masa sih? Perasaan biasa aja. Aku aja lumpuh gini," ucapku merendah, bukan bermaksud agar dikasihani. Tapi, aku juga sadar diri. Apa yang bisa Lika banggakan atas diriku. Untung saja, ia tipikal wanita rumahan. Keluar juga akhir-akhir ini saja karena jualan.
"Iyalah, Mas. Udah ganteng, suaranya serak basah, pinter ngegombal. Kurang apa coba?" puji Jelita, membuatku tak tahan untuk tidak tertawa.
"Jangan lupakan jika aku juga cacat !" ucapku, miris. Percuma memiliki wajah dan bentuk tubuh bagus jika aku hanya bisa duduk diatas kursi roda ini. Bahkan, untuk bercinta saja aku harus menyerahkan semua pada Lika.
"Ini kan cuma sementara, Mas. Suatu saat pasti sembuh kok! Apalagi kalau, Mas Azam menerima tawaranku tempo hari. Tenang aja, Mas ... jangan anggap Jelita orang lain, biar enak." Sontak ucapan gadis cantik di hadapanku ini membuat hatiku menghangat. Padahal hanya tetangga yang kebetulan langganan pulsa dengan Nela. Tapi, sudah menawarkan pinjaman uang puluhan juta pada ku.
"Santai aja, yang penting. Mas Azam sehat dulu kembali seperti semula. Kalau badan sehat kan kita bisa melakukan apapun. Tidak akan terbatas, iya kan?" pancing jelita berharap aku mengiyakan tawarannya. Hanya saja, aku belum membicarakan ini pada Lika. Ibu dan juga ayah.
"Ya udah, pikiran aja lagi. Jelita mau ke rumah sakit dulu. Kasian Bu Mirna. Oh iya, ini ada kue bolen lumer. Enak buat temen ngopi mas Azam," ucapnya kemudian pamit. Rejeki banget mengenal tetangga sebaik Jelita. Perhatian dan sangat baik.
Ku bawa kue mahal ini masuk ke dalam. Mungkin, anak-anak juga bisa ikut makan. Kalau martabak semalam sudah habis ku makan sendirian.
"Baik banget, Mas pake nganterin kue segala. Mana ini kan makanan yang lagi viral. Pasti harganya mahal. Udah gitu, mau nemenin ibu di rumah sakit. Apa, Mas enggak ngerasa aneh sama sikapnya?" Ucapan istriku sontak membuat ku urung untuk memasukkan bolen lumer itu kedalam mulut.
"Masih untung ada orang baik! Kamu emang bisa jagain ibuku!" semburku kesal. Seenaknya saja Lika berprasangka buruk. Katanya ikut ngaji, masa gini aja gak ngerti.
...Bersambung...
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️