Pernikahan mereka dimulai tanpa cinta,tapi juga tanpa pilihan.
Nadira mengira hanya butuh waktu untuk membuat Dewa jatuh hati. Sampai ia sadar, pria itu tidak takut dicintai, Melainkan tidak bisa.
Dewa menyimpan sesuatu yang bahkan Nadira tak berani bayangkan. Sebuah masalalu yang tersusun rapi,namun perlahan menuntut untuk di temukan. Setiap tatapan dingin,setiap diam,setiap luka...Semuanya, menyimpan satu kebenaran yang bisa menghancurkan mereka berdua.
Dewa menyembunyikan masa lalu yang bahkan lebih menyakitkan daripada kebohongan.
Di antara rahasia, pengkhianatan, dan cinta yang terlambat tumbuh, mereka harus memilih: bertahan dalam luka, atau melepaskan dalam kebenaran.
Namun, siapkah Nadira mengetahui setiap kebohongan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon heyyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23. Kedatangan Tante Melisa V2
Tante Melisa menyendok sup ke mangkuknya lalu tiba-tiba berkata, “Oh iya, Nadira, Ibu mau ajak kamu ke dokter kandungan minggu depan.”
Kalimat itu masih menggantung di udara.Saat ketika sebuah suara mengejutkan semua orang.
kkhh! uhuk!!
terdengar keras dari arah Dewa. Ia tersedak air minumnya sendiri, terbatuk-batuk keras hingga tubuhnya sedikit membungkuk ke depan. Kai yang duduk di sebelahnya langsung menepuk-nepuk punggungnya, sementara Saka menahan tawa sampai wajahnya memerah.
Aku sendiri kaget, tapi lebih bingung harus bagaimana. Mataku langsung menatap Dewa refleks, sedangkan Tante Melisa hanya menaikkan alisnya dengan santai.
Menyadari Tante Melisa yang melihat ke arahnya bingung, Dewa langsung mengangkat tangan kanan nya, berusaha mengisyaratkan bahwa dia tidak kenapa napa.
"Maaf bu, Aku kurang hati hati, jadinya tersedak." Ujar Dewa membuat Tante Melisa kembali menadangku dengan lembut.
Ia meletakkan sendoknya dan dengan wajah yang penuh perhatian, dengan mata yang berbinar binar, dia menatapku. Aku Seperti sedang merasakan kasi sayang seorang ibu dari tatapannya.
"Bukannya ibu mengharapkan kamu hamil secepat itu,Nadira..." Ucapnya pelan tapi jelas. "Ibu tau kalian masih sama sama menyesuaikan diri. Ibu juga tidak mau terlalu membebanimu."
Aku mengangguk kecil, mencoba tetap tenang disaat jantungku berdebar tidak karuan.
"Tapi...yah, Ibu juga manusia biasa, nak. Ibu Khawatir. Ini sudah dua bulan sejak kalian menikah dan ibu belum melihat tanda tanda apa pun."
Aku menoleh ke arah Dewa yang masih menunduk, dia memegang gelasnya dengan canggung. Aku tau dia pasti merasa tidak nyaman. Terlihat dari raut wajahnya, dia khawatir, cemas akan sesuatu. Mungkin akan kebenaran? Bahwa selama ini dia tidak pernah mengauliku.
Aku tidak menduga kalimat selanjutnya yang akan Keluar dari mulut Tante Melisa.
"Atau.... mungkin masalahnya bukan di kamu, Nadira"
Tante Melisa menatapku, lalu beralih menatap Dewa.
"Kita juga harus ajak Dewa periksa. Mungkin masalahnya...Ada di Dewa."
BRUKK!
Suara Kai yang tiba-tiba batuk sambil memukul dadanya keras-keras mengejutkan semua orang di meja makan. Saka yang duduk di sebelahnya juga ikut tersedak, buru-buru minum air sambil menahan sesuatu yang jelas bukan sekadar batuk biasa.
"Astaga, kalian ini kenapa," Tanya Tante Melisa kesal.
"Ma—Maaf tante, Airnya masuk ke hidung." Kata Kai berusaha menenangkan diri, sedangkan Saka menutup mulutnya dengan serbet, berusaha menyembunyikan tawa nya.
Aku sendiri memilih untuk menunduk. Tidak berani menatap Dewa, atau siapapun.Udara di ruang makan terasa mendadak berat—panas.
Dewa sendiri masih diam. Tangannya menggepal diatas pangkuannya, dan dari caranya menghindari semua tatapan, Aku tau...Dia sedang berusaha keras menyembunyikan sesuatu.
"Kan, Nadira...Ibu bilang juga apa, Dewa, Saka dan Kai ini tidak bisa di satukan. Toh cuma makan malam bersama saja mereka gerogi sampai tersedak." Tante Melisa terkekeh.
...****************...
Setelah makan aku dan Tante Melisa duduk di teras disebuah kursi jati yang menghadap langsung ke taman kecil di depan rumah, tangan kami memegang cangkir dan piring kecil, menikmati teh hangat yang baru di sedu.
"Nadira, boleh ibu bertanya." Suara tante melisa terdengar sembari meletakkan cangkir teh nya ke atas meja kecil di samping.
"Iya, ibu..." Jawabku menunggu.
Wajahnya berubah menjadi prihatin, menatapku dan mengelus punggung tanganku.
"Bagaimana Dewa memperlakukanmu, selama ini?" Katanya, Akhirnya.
Sejenak aku terdiam, pertanyaan itu seperti menusuk tajam ke dalam dada ku, semua memori, semua hal yang aku lalui di rumah ini. Entahlah, Dewa tidak benar benar menyakitiku secara fisik, tapi diam nya melukai batinku.
Aku kembali tersadarkan dari lamunan, menatap Tante Melisa yang masih menunggu aku bersuara.
"Dewa,..."Kata ku membalas tatapannya.
"Sangat baik kepadaku bu, Dia selalu pulang ke rumah seperti yang ibu minta, Dewa juga membuatkan aku tempat untuk minum teh,..." Aku mengalihkan tatapanku kedepan, tepat ke sebuah bangunan yang sedang dalam proses.
"Itu bu, disana...itu kafe kecil dari Dewa." Senyumku.
Mengatakan itu, hatiku ternyata jauh lebih terluka, tetapi aku tidak ingin Tante Melisa sedih ataupun kecewa pada pernikahan kami.Sejauh ini biarlah semuanya berjalan begitu saja.
Tante Melisa ikut tersenyum, memandangi sebuah bangunan yang belum jadi di sebelah pagar.
"Syukurlah,..."Katanya lembut. "Ibu sangat khawatir jika Dewa memperlakukanmu tidak dengan semestinya. Terkadang ibu terpikir akan diri mu, Nadira."
Aku kembali menatap wajah itu, wajah tulus yang penuh kasi sayang. Aku tidak tau bagaimana dengan orang orang di luar sana yang bertemu dengan mertua yang jahat, tapi bagiku, selama Tante Melisa menjadi mertuaku, maka bagaimana pun Dewa kepadaku, aku tidak apa.
"Padahal Ibu tau nak, tidak mungkin Dewa berbuat jahat kepada mu, Dewa adalah anak yang sangat hangat, sangat penurut." Sambungnya.