Di dunia di mana Spirit Master harus membunuh Spirit Beast untuk mendapatkan Spirit Ring, Yin Lian lahir dengan kekuatan yang berbeda: Kontrak Dewa. Ia tidak perlu membunuh, melainkan menjalin ikatan dengan Spirit Beast, memungkinkan mereka berkembang bersamanya. Namun, sistem ini dianggap tabu, dan banyak pihak yang ingin melenyapkannya sebelum ia menjadi ancaman.
Saat bergabung dengan Infernal Fiends Academy, akademi kecil yang selalu diremehkan, Yin Lian bertemu rekan-rekan yang sama keras kepala dan berbakatnya. Bersama mereka, ia menantang batas dunia Spirit Master, menghadapi persaingan sengit, konspirasi dari akademi besar, serta ancaman dari kekuatan yang mengendalikan dunia di balik bayangan.
Di tengah semua itu, sebuah rahasia besar terungkap - Netherworld Spirit Realm, dimensi tersembunyi yang menyimpan kekuatan tak terbayangkan. Kunci menuju puncak bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga keberanian untuk menghadapi kegelapan yang mengintai.
⚠️pict : pinterest ⚠️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 34
Sementara itu, Yin Lian masih berdiri di tengah arena, tubuhnya berguncang ringan. Nafasnya berat, bahunya naik-turun. Ia mencoba mempertahankan keseimbangan, tapi kedua kakinya terasa seperti lumpur—nyaris tak sanggup menopang tubuhnya lagi.
Zhou Wuchen, yang kini berdiri di luar lingkaran, menyeka debu dari lengannya. Wajahnya menunjukkan sedikit keterkejutan—dan mungkin... rasa tidak terima.
Namun sebelum ia sempat berkata apapun, Dai Yushen melangkah maju dari sisi barat arena, menggendong tubuh Yue Xian yang masih setengah sadar.
“Guru Zhou,” ucap Dai Yushen dengan nada datar namun tegas. “Anda sudah keluar dari arena. Yin Lian berhasil mendorong Anda keluar. Kemenangan... milik mereka.”
Untuk sesaat, Zhou Wuchen hanya menatap diam.
Rahangnya mengeras.
Namun akhirnya, napas panjang lolos dari mulutnya, dan ekspresinya melunak sedikit meski tersirat bahwa harga dirinya tersenggol.
“Hmph... meskipun tidak puas... aku mengakuinya.” Ia memutar lehernya pelan. “Mereka boleh kembali ke asrama.”
Yin Lian hanya mengangguk pelan. Tapi tubuhnya sudah kehilangan seluruh kekuatannya.
Langkahnya goyah. Pandangannya kabur. Dunia di sekelilingnya terasa memudar.
Saat tubuhnya nyaris menyentuh tanah, Gu Tian kembali bergerak cepat, menangkapnya sebelum ia benar-benar jatuh. Yin Lian terkulai di pelukannya, mata tertutup, napasnya lemah.
“Dia benar-benar... keterlaluan,” ujar Gu Tian lirih, menatap Yin Lian dengan alis mengernyit.
Ling Shu, yang kini berjalan tertatih mendekat, masih dipapah oleh energi sisa yang tersisa dari tubuhnya. Namun saat melihat Yin Lian tak sadarkan diri, ia menggertakkan gigi dan memanggil kembali Jade Butterfly Spirit miliknya. Sayap transparan yang bersinar lembut muncul dari punggungnya, dan aura kehijauan mengalir perlahan ke tubuh Yin Lian.
“Sedikit saja... cukup untuk bantu dia bernapas lebih tenang...” ucap Ling Shu lirih, tangannya gemetar saat memegang pundak Yin Lian.
Yin Lian tetap tak bergerak, tapi wajahnya tampak sedikit lebih tenang—tak lagi seputih tadi.
Gu Tian mengangkat pandangannya ke arah Dai Yushen dan Zhou Wuchen yang masih di tempatnya.
“Kami akan membawanya kembali duluan.”
Sinar matahari pagi menyusup lembut ke dalam kamar asrama, menciptakan pola cahaya di lantai kayu yang bersih. Aroma embun yang masih melekat di udara mengisi ruang itu dengan kesegaran yang menenangkan. Di atas tempat tidur, Yin Lian menggeliat perlahan, membuka matanya yang terasa berat.
Pandangannya sedikit buram sebelum akhirnya fokus, memperlihatkan siluet dua sosok yang sejak tadi duduk dan berdiri menantinya.
“Kau bangun juga,” suara Ling Shu langsung terdengar lembut dari sisi tempat tidur.
Yin Lian menoleh pelan. Di sana, Ling Shu duduk di sisi ranjang dengan senyum lega, sementara Yue Xian berdiri tak jauh dari mereka, menyandarkan tubuhnya di dinding dengan tangan terlipat di depan dada.
“Bagaimana rasanya?” tanya Ling Shu sambil meraih tangan Yin Lian. “Masih sakit?”
Yin Lian menggeleng perlahan. Meski tubuhnya masih terasa berat, ia mencoba tersenyum.
“Aku baik-baik saja. Cuma sedikit lelah,” gumamnya.
Yue Xian berdiri diam di dekat dinding, matanya menatap lurus ke arah Yin Lian. Meski ekspresinya seperti biasa—tenang dan sedikit dingin—tapi sorot matanya tampak lebih lembut pagi ini.
“Bagaimana bahumu?” tanya Yin Lian, mengalihkan perhatian padanya. “Kemarin kau sempat terhempas cukup keras.”
Yue Xian menggeleng pelan.
“Bahuku sedikit nyeri... tapi tidak apa-apa. Aku minta maaf. Aku belum bisa sepenuhnya menjaga posisi. Aku... mengacau.”
Yin Lian perlahan duduk, meski dengan sedikit bantuan dari Ling Shu. Ia menatap Yue Xian serius, lalu menggeleng dengan tegas.
“Tidak. Kita semua berusaha semampu kita. Pertarungan kemarin itu bukan hanya soal menang atau kalah... tapi tentang mengenal satu sama lain. Gagal paham sesekali itu wajar, tapi kita bertiga tetap berdiri sampai akhir. Itu sudah lebih dari cukup.”
Yue Xian menatap Yin Lian beberapa detik. Ada sedikit keraguan di matanya, sebelum akhirnya dia mengangguk pelan.
“...Terima kasih,” gumamnya.
Ling Shu tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
“Yah... asalkan setelah ini nggak ada yang pingsan lagi, aku puas.”
Yin Lian melirik ke arah jendela. Cahaya matahari yang menyinar menandakan waktu telah berlalu cukup lama sejak pertarungan itu berakhir.
“Sudah pagi, ya?”
Yue Xian lalu melirik jam di dinding.
“Ngomong-ngomong... waktu Yin Lian sudah sadar, kita disuruh langsung turun ke halaman akademi. Sepertinya ada yang menunggu.”
Mendengar itu, Yin Lian menarik napas panjang. Tubuhnya masih berat, tapi tidak cukup untuk menghentikannya berdiri.
“Kalau begitu, ayo. Jangan sampai kita terlambat.”
Ling Shu membantu Yin Lian berdiri, dan ketiganya pun berjalan keluar dari kamar, melangkah menuruni tangga menuju halaman utama akademi.
Udara pagi membawa aroma embun yang menyegarkan, tapi mereka tahu... hari ini, sesuatu sedang menanti.
Saat mereka menuruni tangga menuju lantai bawah, langkah mereka terhenti saat melihat dua sosok berdiri di ujung lorong. Dai Yushen dan Gu Tian tampak menunggu, keduanya segera menoleh begitu melihat Yin Lian telah bangun.
“Akhirnya bangun juga, Pemenang,” ucap Dai Yushen sambil menyeringai.
Gu Tian hanya tersenyum tipis, lalu mengangguk hormat pada Yin Lian.
“Guru Zhou menyuruh kita berkumpul di halaman akademi. Kalian juga dapat perintah yang sama, kan?”
“Iya,” jawab Ling Shu cepat, sedikit bingung. “Tapi... belum dijelaskan kenapa.”
Dai Yushen lalu berbalik, melambaikan tangan agar mereka semua ikut.
“Kalau begitu, kita pergi bersama.”
Kelima murid itu berjalan menyusuri koridor akademi yang masih sepi. Suara langkah mereka menggema di lorong panjang, diiringi cahaya matahari yang menyusup dari jendela kaca besar di sisi kiri. Tak satu pun dari mereka bicara banyak. Hanya napas tenang dan sedikit tawa dari Ling Shu yang sesekali memecah keheningan.
Begitu tiba di halaman utama, mereka mendapati tempat itu masih kosong. Tanaman hias yang tersusun rapi, rerumputan yang dipangkas pendek, dan langit biru yang bersih menjadi latar yang menenangkan setelah hari kemarin yang penuh tekanan.
Kelima murid itu berdiri membentuk lingkaran kecil. Gu Tian duduk di kursi batu, sementara Ling Shu dan Yue Xian memilih berdiri di samping Yin Lian. Mereka mengobrol singkat, membahas pertarungan kemarin dan siapa yang kira-kira akan diturunkan ke kompetisi utama dalam waktu dekat.
Namun suasana tenang itu perlahan berubah ketika suara langkah kaki mulai terdengar dari arah pintu masuk aula besar.
Tap... Tap... Tap...
Kelima murid itu serentak menoleh.
Yang muncul adalah Guru Zhou Wuchen, berdiri tegak dengan ekspresi serius seperti biasanya. Di sampingnya, ada seorang pria paruh baya dengan jubah spirit sage berwarna biru laut. Tapi perhatian Yin Lian bukan tertuju pada mereka.
Melainkan pada sosok ketiga yang berjalan anggun di antara mereka.
Wanita dengan rambut panjang yang diikat ke belakang, berpakaian serba hitam, dan langkahnya begitu tenang... namun tajam. Aura itu... terlalu familiar.
“Xu... Feiyan?” bisik Yin Lian, nyaris tak terdengar.