"Dia adalah suamiku!!"
Tanpa banyak berpikir, Nara mengakui Zian sebagai suaminya di depan mantan kekasihnya. Tujuannya adalah supaya pemuda itu tak lagi mengganggunya.
"Dia adalah, Nara. Istriku!!"
Zian juga melakukan hal serupa ketika seorang wanita yang mengaku sebagai tunangannya tiba-tiba datang dan mengusik hidupnya. Zian ingin wanita itu tak lagi mengganggunya dan pergi sejauh mungkin dari hidupnya. Bukannya pergi, dia malah bertekad untuk memisahkan Zian dari perempuan yang dia sebut sebagai istrinya tersebut.
Demi kesempurnaan sandiwaranya. Akhirnya Zian dan Nara sama-sama sepakat untuk menjadi suami-istri, namun hanya pura-pura. Dan mereka berdua menjadi Pengantin palsu yang hatinya saling terikat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lusica Jung 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Dia Istriku!!!
"Dia adalah, Nara. Istriku!!!"
Mata Nara dan Tiffany sama-sama membelalak mendengar empat kata yang keluar dari bibir Zian dengan entengnya. Sontak Nara menoleh dan menatap Zian yang juga menatap padanya. Muncul perempat siku-siku di keningnya.
Tiffany menggeleng. "Itu tidak mungkin. Zian, pasti kau bercanda kan, ini hanya lelucon!! Kau mencoba bercanda denganku, iya kan? Tidak mungkin kau menikahi wanita lain karena aku adalah tunanganmu!!"
Zian menghela napas panjang. "Segera bangun dari mimpi bodohmu, Tiffany Hong. Sejak awal aku sudah tidak setuju dengan perjodohan bodoh yang direncanakan oleh ayahmu yang mata duitan itu. Dan segera pergi dari sini, jangan sampai aku melihatmu disini lagi!!"
Tiffany menggeleng. "Aku tidak mau!! Aku adalah tunanganmu, dan hanya diriku yang layak bersanding denganmu bukan orang lain, apalagi perempuan ini!! Zian, segera tinggalkan dia dan menikah denganku!!" Teriak Tiffany.
"Aku tidak mungkin membuang berlian demi batu krikil sepertimu. Lagipula aku mencintai Nara, jadi tidak mungkin aku sampai meninggalkannya!!" Tegas Zian. "Sayang, kau pasti lelah. Ayo kita pergi istirahat." Zian merangkul bahu Nara dan membawa gadis itu pergi ke kamarnya di lantai dua.
"Zian, Zian!!" Teriak Tiffany namun tak dihiraukan oleh pemuda itu. "Lihat saja, aku pasti akan memisahkan kalian berdua. Kau itu hanya milikku, ingat itu!!"
.
.
Zian melepaskan rangkulannya pada bahu Nara setibanya mereka di kamar pemuda itu lalu ia menjauh darinya. "Malam ini menginaplah disini, kau bisa tidur di tempat tidurku, aku akan tidur di sofa." Ucap Zian pada Nara.
"Apa itu tadi, Tuan Muda Lu? Apa maksudmu mengakuiku di depan wanita itu jika aku adalah istrimu?" Nara meminta penjelasan.
Zian menoleh dan menatap Nara tepat di mata Hazel-nya. "Bukankah kita sekarang sudah impas, dulu kau memperkenalkanku pada mantanmu sebagai suamimu. Lalu hari ini aku juga melakukan hal yang sama padamu, kau tidak memiliki hutang lagi padaku." Ucap Zian menimpali.
Nara terdiam mendengar ucapan Zian, gadis itu tak tau harus bicara apa lagi sekarang. Memang benar apa yang Zian katakan, bahkan dulu dia tak meminta ijin terlebih dulu pada pemuda bermarga Lu ini. Jadi apa yang Zian lakukan malam ini adalah hutangnya karena sudah seenaknya mengakui dia sebagai suaminya.
"Baiklah, sekarang kita impas, aku tidak memiliki hutang lagi padamu. Oya, kau adalah tuan rumah dan pemilik kamar ini. Sebaiknya aku saja yang tidur di sofa dan kau tidur di tempat tidur."
Nara hendak berjalan ke sofa namun dihentikan oleh Zian. Zian menarik lengan Nara lalu mengangkat tubuh gadis itu bridal style dan membawanya menuju tempat tidur. Nara terkejut? Sudah pasti, kedua matanya membelalak sempurna.
"Dengan begini kau tidak mungkin bisa menolak lagi. Sebaiknya jangan keras kepala dan menurut saja, ini juga demi kebaikanmu. Lagipula tidur di sofa hanya membuat punggungmu sakit." Ujar Zian.
Nara tak protes lagi, dia mengalungkan sebelah tangannya pada leher Zian. "Kenapa kau begitu baik padaku? Apa karena aku pernah menyelamatkan nyawamu?" Tanya Nara sambil mengunci sepasang manik mata milik Zian.
"Jangan banyak tanya lagi, sudah malam. Sebaiknya segera tidur," pinta Zian lalu membaringkan Nara di tempat tidurnya.
Nara menarik Zian hingga pemuda itu terhuyung ke depan dan nyaris menimpa dirinya. Kedua tangan Nara memeluk leher Zian dan wajahnya mendekat pada pemuda itu. Dan selanjutnya yang Zian rasakan adalah sebuah benda lunak nan basah yang menyapu permukaan bibirnya.
Mata Zian membelalak, terkejut dengan apa yang Nara lakukan. Gadis itu terus melu-mat dan memagut bibirnya dengan ganas. Zian tidak bisa menolak, dia justru menikmatinya. Dan ciuman kali ini diambil alih oleh Zian sepenuhnya. Dan kini giliran Nara yang terkejut, diluar dugaannya, Zian akan menciumnya seganas ini.
"Sampai kapan kau mau memeluk leherku dan menatap bibirku?" Tegur Zian dan membuyarkan khayalan Nara.
Dan buru-buru Nara melepaskan tautan tangannya pada leher Zian. Dia merutuki kebodohannya. Bagaimana bisa Nara membayangkan hal-hal yang tidak-tidak dengan Zian yang jelas-jelas bukan siapa-siapnya.
"Ma..Maaf, baiklah aku akan tidur sekarang." Kemudian Nara menarik selimut yang ada dibawah kakinya lalu membungkus sekujur tubuhnya, Zian mendengus. Nara terlihat seperti seekor ulat raksasa
Zian berjalan memutar untuk mengambil bantal lalu membawanya ke sofa. Karena tidak mungkin dia tidur satu ranjang dengan Nara. Apalagi tidak ada ikatan special diantara mereka berdua. Dan tidak baik jika pria dan wanita yang belum menikah tidur di satu ranjang yang sama.
Dipandanginya sosok Nara yang sedang berbaring di tempat tidurnya. Ini bukan pertama kalinya dia membawa seorang perempuan ke dalam kamarnya. Tapi rasanya sungguh berbeda, mungkin itu karena Nara dan mereka semua tidaklah sama.
-
-
Tuan Lu membuka lacinya lalu mengeluarkan sebuah album foto usang dari dalam sana. Paruh baya itu meletakkan album tersebut di-pangkuannya lalu membuka setiap halamannya satu persatu.
Dihalaman paling depan adalah foto masa mudanya dan sang istri, tuan Lu tersenyum sendu mengingat semua kenangannya bersama mendiang istrinya yang saat ini sudah tenang di surga.
Di dalam album foto tersebut menyimpan berbagai moment penting dan berharga keluarganya. Mulai dari saat mereka berdua masih pacaran, kemudian menikah, nyonya Lu hamil si kembar sampai saat kedua putranya tumbuh dewasa.
"Sayang, bagaimana kabarmu di-sana? Apa kau merindukanku? Disini aku sangat merindukanmu. Sayang, sekarang anak-anak sudah sudah besar dan tumbuh menjadi pria yang sangat tampan. Devan menjadi dokter sementara Zian...dia salah arah dan menjadi mafia."
"Sayang, apa kau tau, sampai detik ini Zian masih begitu membenciku. Jika saja kau masih ada, pasti aku mampu melaluinya. Tapi kau sudah tidak ada, dan dibenci oleh anak sendiri rasanya sungguh menyakitkan. Memang salahku, dan bukan salah Zian jika dia sangat membenciku."
Devan tak mampu berkata apa-apa mendengar setiap kalimat yang keluar dari bibir sang ayah. Devan tau jika ayah dan ibunya sangat menyayangi Zian, akan tetapi sang adik terlanjur membenci mereka berdua karena Zian merasa kasih sayang mereka hanya untuk dirinya.
Dokter muda itu menghapus air matanya lalu menghampiri sang ayah. Devan tersenyum lebar. Dia duduk disamping tuan Lu dan ikut melihat foto-foto itu. Tak jarang mereka berdua sama-sama tertawa mengingat masa lalu. Terkadang mereka juga memasang wajah sendu dan sedih.
"Pa, semoga suatu hari nanti impian Mama menjadi kenyataan, keluarga kita bisa utuh kembali."
Tuan Lu mengangguk. "Ya, semoga saja. Papa selalu berdoa semoga Zian bisa segera membuka pintu hatinya dan memaafkan Papa. Dia adalah putra Papa, dan Papa sangat menyayanginya."
-
-
Bersambung.