NovelToon NovelToon
Dokter Naura

Dokter Naura

Status: tamat
Genre:Romantis / Dokter / Tamat
Popularitas:1.7M
Nilai: 4.7
Nama Author: Afa's Mommy

Naura, seorang gadis cantik, santun, cerdas dan selalu ceria. Dia seorang dokter spesialis anak di usia 28 tahun. Banyak laki-laki dekat dengannya namun orang tuanya tidak pernah menyetujui karena Naura tidak boleh menikah dengan orang lain!

Naura memiliki 3 orang kakak laki-laki. Fathur, seorang dosen di salah satu universitas terkemuka di Yogyakarta, sudah menikah. Zamy, kakaknya yang nomor dua, seprofesi dengannya, seorang dokter kandungan yang bekerja dengannya di sebuah klinik yang dibangun orang tua mereka. Klinik terkenal ini berada di ibukota propinsi bernama Honey Bee buka mulai jam 4 sore.

Zamy dan Naura dekat sejak kecil. Zamy sangat menyayangi adik perempuan satu-satunya. Kakak yang ketiga adalah Rahman, pengusaha Rumah Makan Sea Food di kota kecil tempat ayah ibu mereka tinggal.

Hingga suatu hari, semua menjadi berubah ketika orang tua mereka membuka sebuah rahasia besar selama ini. Naura harus menikah dengan Zamy, kakak tersayang yang ternyata bukan saudara kandungnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Afa's Mommy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19 Mata Itu

Kutinggalkan sepasang mata yang menatapku tajam. Aku ingin segera menghambur masuk ke dalam kamarku. Namun baru saja aku akan menutup pintu tiba-tiba satu telapak kaki menahannya. Bang Zamy mendorong pintu sedangkan aku berusaha mengusirnya.

"Pergilah..., Naura mau sendiri." Aku mendorong bang Zamy keluar, namun tenaganya jauh lebih kokoh dariku. Bang Zamy masuk, dia menatap ke arah AC kamar yang menyala, lalu menutup pintu. Dia lama terdiam tanpa kata menatapku yang menangis.

"Kenapa? Kenapa Naura menangis?" Bang Zamy mendudukkanku di pinggir kasur, dia mengikuti duduk di dekatku. Kami berhadap-hadapan. Kedua tangannya berkacak dengan telapak tangan menempel di kedua paha.

"Abang masih marah?" Aku mencoba menatapnya. Wajahnya lebih luwes dan semakin dewasa. Dia serius menatapku, matanya bahkan tak berkedip dalam waktu yang lama.

"Tidak. Tidak marah. Apa lagi yang mau Naura perbuat ke abang, lakukanlah sesuka hati." Bang Zamy menjawab cepat. Dia terus menatapku, sedangkan aku tak berani menatapnya. Walaupun dia mengatakan tidak marah, namun dari intonasi suaranya aku tahu kalau bang Zamy juga memendam amarah kepadaku.

"Zamy! Naura!" Suara ibu terdengar dari luar kamar.

"Zamy di kamar Naura bu." Bang Zamy menyahut. Tak lama kemudian terdengar suara pintu terbuka. Ibu melongokkan kepala ke arah kami.

"Jangan ribut terus nak, bicaralah baik-baik." Ibu bicara sambil menutup pintu. Bang Zamy kembali menatapku. Air mataku terus mengalir meski tanpa suara.

"Kenapa Naura menangis? Tadi di meja makan manggil abang terus mau bicara, sekarang abang dengarkan silahknan Naura bicaralah." Bang Zamy bicara dingin sekali. Aku menatapnya.

"Naura bersalah, Naura minta maaf sama abang. Tolong abang jangan diamkan Naura..., Naura tidak tahan..., Naura tidak sanggup abang nggak jelas kabarnya. Dari kemarin Naura mencoba menelpon bang Zamy tidak aktif terus...." Aku terisak-isak.

"Untuk apa menghubungi abang eh?" Bang Zamy masih saja judes. Inilah kali pertama aku melihat dia bicara tegas kepadaku. Aku menatapnya sesaat.

"Mau mencari bang Zamy, mau minta maaf, demi Allah Naura menyesal...."

"Kenapa harus menyesal? Bukankah aku tidak ada artinya dalam kehidupan Naura?" Bang Zamy bicara tinggi. Aku semakin terisak.

"Jangan disesali dek, terus saja perlakukan abang semaumu. Aku memang bukan abangmu, aku bukan siapa-siapamu Naura. Abang memang selalu salah. Abang ini orang bodoh, tidak berperasaan sama sekali. Tidak peduli sama sekali. Hanya perkara abang menceritakan bahwa Naura bukan anak kandung keluarga ini kepada Nina dengan tujuan agar dia tidak berharap lagi menikah dengan abang, Naura tanpa konfirmasi mendiamkan abang berhari-hari, bahkan menyiksa diri sendiri, makan saja malas. Menganggap sampah permohonan maaf abang." Bang Zamy berhenti, dia mendongakkan daguku yang perlahan-lahan menunduk mendengar bicaranya.

"Dan kemarin abang hanya minta antar ke klinik Naura, hanya itu, bukan ingin ikut acaramu yang meriah, abang bukan ingin menguntil kemanapun kau pergi, masa hanya mau menumpang mobil ke klinik saja alasanmu mengada-ada. Kau tau dek? Kau tahu bahkan dengan ibu saja, abang lebih banyak memikirkan Naura. Namun kenapa, sampai hati Naura membiarkan abang berjalan kaki ke klinik untuk mengambil mobil mengejar pesawat mau ke Bogor. Semua menjadi kacau. Direktur habis-habisan menyumpah serapah abang. Naura tidak mau peduli yang seperti itu. Naura masih saja mau bertindak sendiri. Selalu bersikap kekanak-kanakan. Dewasalah sedikit Naura...." Bang Zamy bicara panjang lebar meluapkan isi hatinya. Air matanya tumpah. Tak sekalipun aku melihat dia menangis. Ini kali pertama kesedihannya tak terbendung lagi karena ulahku.

"Maafkan Naura bang...." Aku hanya bisa menangis.

"Naura...." Bang Zamy memegang tanganku. Aku tidak menjawab sedikit pun.

"Apa yang membuatmu seperti membenci abang?" Bang Zamy melanjutkan bicaranya, namun aku hanya mampu terdiam.

"Sekarang jujur, apa Naura merasa terbebani dengan rencana ibu untuk menikahkan kita?" Bang Zamy dengan serius menatapku. Aku kaget mendapat pertanyaan itu. Mataku segera menghindar dari tatapan bang Zamy.

"Apa Naura berpikir itu hal yang mudah bagi abang?" Bang Zamy kembali melanjutkan.

"Dek, jika Naura keberatan dengan rencana ibu, biar abang yang jelaskan kepada ibu. Abang bisa meyakinkan ibu, abang tidak akan mengatakan alasan yang sebenarnya jika Naura tidak suka kepada abang." Bang Zamy lagi-lagi bicara. Beberapa detik dia terdiam. Matanya yang basah tak lepas menatapku.

"Jawablah Naura."

"Apa yang harus Naura jawab?" Aku tergagap.

"Katakanlah kalau memang Naura keberatan dengan rencana ibu." Bang Zamy menjelaskan maksudnya. Aku menatap mata bang Zamy, terdiam. Kutatap matanya dengan alis yang lebat. Mata yang seumur hidupku selalu menenangkan. Mata yang seumur hidup untuk pertama kalinya mengalirkan air mata sedih karena ulahku. Mata itu, terlalu meneduhkan. Bagaimana mungkin aku bisa jauh darinya.

"Bagaimana dengan bang Zamy?" Aku bukannya menjawab, malah mengajukan pertanyaan balik. Bang Zamy sontak mengalihkan pandangan, sejenak dia menatap langit-langit kamar. Seekor cicak berlari, berpindah dari balik jam dinding menuju bingkai foto besar lukisan masa kecil kami berempat.

"Abang?" Bang Zamy mengulang pertanyaanku untuk dirinya sendiri.

"Iya. Bagaimana dengan pendapat abang sendiri? Apa abang setuju menikahiku? Apa abang hanya ingin menuruti permintaan ibu saja tanpa ada perasaan apapun ke Naura? Apa abang terbebani dengan kehadiranku seperti ini?" Aku bertanya panjang lebar. Bang Zamy menatapku dalam. Dia memegang kepalaku dan menyibak-nyibakkan rambutku yang menempel di bawah telinga karena lengket terkena air mata.

"Nauraaa..., bahkan jika satu-satunya obat yang tersisa untuk menyelamatkan nyawamu hanya ada nyawa abang sendiri, abang siap dan ikhlas mati untuk menggantikan kehidupanmu." Bang Zamy menjawab. Dia masih menatapku tajam. Tangannya lalu memegang tanganku. Aku merasakan detak jantungku sendiri yang berpacu semakin cepat, namun ada kenyamanan menyertai. Aku merasakan hembusan nafas bang Zamy, itu serasa meluluhkan kerasnya hatiku selama ini. Bahagia rasanya saat berada di dekatnya. Indah sekali menatap wajah teduhnya. Tentram sekali jiwaku mendengar kalimat yang baru diucapkannya. Tidak, aku tidak lagi merasakan bahwa getaran-getaran di hatiku adalah getaran hati seorang adik kepada kakaknya. Namun lebih dari itu, getaran di jiwa ini adalah babak baru romansa hidupku. Getaran-getaran di hati ini sebagai pengejawantahan ketulusan hati seseorang yang merindukan kekasih hati yang dicintainya.

"Apa maksudnya?" Aku pura-pura tak mengerti jawaban bang Zamy, dan perlahan melepaskan pegangan tangannya.

"Kau terlalu jujur untuk menipu diri sendiri Bee...." Bang Zamy menjawab. Dia yakin aku mengerti maksud kalimat yang dia ucapkan. Aku terdiam. Jebakanku tidak mengena sama sekali.

"Sekarang abang mau mendengar langsung dari Naura. Apa Naura setuju dengan rencana ibu? Apa Naura siap hidup bukan hanya sebagai adik Zamy, tetapi lebih dari itu. Siapkah Naura dengan status baru menjadi istri Zamy?" Bang Zamy kembali bertanya. Lagi-lagi dia menatapku dalam. Lama aku terdiam, bingung mau menjawabnya. Sedangkan getaran di dada ini semakin menjadi-jadi. Ada bahagia membuncah ketika dia mengatakan siap menjadi obat dalam hidupku. Aku lebih dari sekedar mau menikah dengannya. Kegirangan ini harusnya kubawa melompat-lompat bahagia. Namun, jangankan melompat, saat ini, menggerakkan mataku untuk menatap matanya rasanya berat sekali. Malu tiba-tiba menyeruak tanpa diprediksi.

"Dapatkah kita mewujudkan impian ibu Bee? Namun bukan karena keterpaksaan." Bang Zamy kembali bertanya. 'dapat bang, ayo kita wujudkan bersama keinginan ibu, ayo kita segera menikah.' Begitu ucapanku di dalam hati. Namun yang keluar adalah desah nafas panjang dengan wajah kaku menahan bahagia dan rasa malu.

"Sejujurnya abang sejak dulu sudah sangat menyayangimu. Seiring berjalannya waktu kita tumbuh dan dewasa bersama, terkadang dulu memang terselip andai, andai kau bukan adikku, andai kau bukan anak ayah dan ibu, andai kau bukan bagian dari keluargaku. Aku sangat mencintaimu dari dulu, rasanya memang itu bukan sekedar rasa sayang kepada adik perempuannya, namun rasa sayang kepada orang yang sejiwa. Dan semua andai yang dulu, kini berubah sudah, nyata. Kau bukan sedarah denganku, kita tidak juga saudara sepersusuan, maka tidak ada alasan kita tidak bisa menjalin hubungan lebih dari sekedar itu." Bang Zamy mengeluarkan isi hatinya. Hatiku kembali menggebu-gebu bahagia. Bang Zamy mengubah posisi duduknya. Dia menurunkan kedua kaki ke lantai dan mulai menepuk-nepuk jempol kaki dengan telapak tangannya. Mungkin dia kesemutan terlalu lama bersila.

"Jadi Naura, bagaimana perasaanmu sekarang? Apa kau punya rasa yang sama dengan abang?" Bang Zamy menopangkan kedua tangannya ke belakang. Aku menatapnya dengan segala keberanian.

"Entahlah bang..., Naura tak tahu. Namun yang pasti. Sehari saja abang tidak memberi kabar, rasanya jantung Naura mau berhenti berdetak dibuatnya. 24 jam hp abang tidak aktif seakan dunia Naura sudah berakhir. Abang tidak tahu, Naura menangis, bolak balik mencari abang bahkan ke kantor dan klinik berkali-kali. Naura menahan rasa rindu yang dalam..., abang tidak tahu kalau Naura sangaaaattt.... merindukan bang Zamy. Naura tersiksa saat tidak bertemu bang Zamy, apalagi memang Naura yang salah. Naura merasa begitu hampanya pergerakan hidup tanpa bang Zamy..., Naura mau dan selalu merasa nyaman bersama bang Zamy...." Aku kembali terisak. Bang Zamy menghela nafas lega. Dia tersenyun merentangkan kedua tangannya. Aku segera menghambur ke pelukannya. Nyaman sekali. Seakan semua bebanku telah pergi. Aku menangis bahagia. Memeluk kakak yang sangat menyayangiku ini, kutumpahkan segala kerinduanku di pelukan hangatnya. Kutuangkan air mata bahagia dalam dekapannya yang menenangkan. Kumandang adzan Isya terdengar dari masjid Al-Islah, disertai lolongan anjing yang bersahut-sahutan. Malam beranjak naik, bulan dan bintang mengikuti siklusnya di peredaran. Bang Zamy melepas pelukannya, dia mengacak-acak rambutku yang memang sudah acak-acakan.

"Abang mau ke masjid dulu ya..., nanti kita bicara sama ibu." Dia tersenyum ke arahku.

"Bang Zamy!" Aku menghentikan langkahnya.

"Kenapa? Abang tak kan menghilang lagi." Dia bercanda.

"Hemzzz.... Kenapa dompet abang ada di rumah Maya?" Aku tak bisa menahan rasa penasaranku.

"Tanya si Maya. Abang lupa." Bang Zamy berlalu meninggalkanku. Tak lama kemudian dia sudah berada di garasi. Perlahan suara deru motor bang Zamy menjauh pergi menuju masjid. Ibu tiba-tiba masuk.

"Ayo sholat nak, nanti kita makan buah di ruang tamu sambil menunggu ayahmu dan Rahman pulang." Aku berdiri memeluk ibu.

"Kenapa? Wajahnya sudah tidak kusut lagi nih...." Ibu mencubit pipiku.

"Tadi nangis-nangis, bawaannya lesu cemberutan terus. Eh tuh hape mu goyang-goyang terus, pesan dari siapa tuh." Ibu bicara tanpa jeda sambil menunjuk hpku yang bergetar dari tadi. Aku mengambilnya. Perlahan membuka pesan whatapp dari nomor yang tidak dikenal.

"Maaf dokter. Apakah dokter Zamy sedang bersama bu dokter? Aku kesulitan menghubunginya sedangkan ibuku selalu menanyakannya. Ibu tidak mau minum obat kalau belum ketemu pak dokter Zamy katanya. Biasanya pak dokter selalu ke rumah hampir tiap hari. Tapi sudah 3 hari ini kami tidak tahu kabarnya. Ibu mengkhawatirkannya. Maaf ya bu dokter. Aku Nindya." Aku mengerutkan kening membaca tulisan yang panjang utuh. Dalam hatiku bertanya-tanya. Sejak kapan bang Zamy mengenal keluarga Nindya. Ah nanti saja kutanyakan. Aku tersenyum membalas pesannya.

"Ya mbak Nindy bang Zamynya ada sama Naura, tapi lagi ke masjid sholat Isya. Nanti saya suruh telpon ya. Dan jangan panggil Naura bu dokter bu dokter lagi. Aku adikmu, panggil saja Naura." Pesanku terkirim dan dibaca, namun tak ada balasan lagi.

1
Echa
Luar biasa
Meri ana
berulang kali membaca ttp suka
Anonymous
goid job bang zany
Danty Indria
aku dh baca ini smp 3 kl,bagus bgt
guest1054251266
tak bisa dirga.. nina adik mu s3nsiri
w komahoks
keren. alur cerita bagus
guest1054251266
Teresa nyata ceritamu thooor 😘😘😘
Yanthie Sunardi
baguus banget
Haikal Ispandi
y Allah semoga oknum aparat negara baca novel ini
Haikal Ispandi
bang zamy ayapyu sekebon deh
Miamia
ini aku kok baru Nemu cerita se seru ini,,,baru buka bab pertama aja udah cengar-cengir sendiri 😅, lanjut lah seru 🤗
Elly Safitri
aku mampir kak,baru mulai udah asyik
Juju Siti Julaeha
kasian juga sama dokter Naura itu😭😭
Juju Siti Julaeha
seru juga keluarga dokter ini👍
Nazzalla Kinan
keren
JandaQueen
kok manggilnya nin, yang dikunjungi bukankah itu naura, yang adik se-ibu... ???
JandaQueen
???? typo
JandaQueen
Fathur, bukan Zamy..
JandaQueen
di bagian ini pake POV authornya ya... enak bacanya, nyaman..
JandaQueen
papa...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!