Afnaya Danuarta mengalami suatu musibah kecelakaan hebat, hingga membuat salah satu pada kakinya harus mendapati sakit yang cukup serius. Disaat hari pernikahannya tinggal beberapa waktu lagi, dan calon suaminya membatalkan pernikahannya. Mau tidak mau, sang adik dari calon suami Afnaya harus menggantikan sang kakak.
Zayen Arganta, adalah lelaki yang akan menggantikan sang kakak yang bernama Seynan. Karena ketidak sempurnaan calon istrinya akibat kecelakaan, membuat Seyn untuk membatalkan pernikahannya.
Seynan dan juga sang ayahnya pun mengancam Zayen dan akan memenjarakannya jika tidak mau memenuhi permintaannya, yang tidak lain harus menikah dengan calon istrinya.
Akankah Zayen mau menerima permintaan sang Ayah dan kakaknya?
penasaran? ikutin kelanjutan ceritanya yuk...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merasa canggung
Disaat itu juga, Afna kaget dibuatnya. Orang yang sudah menjadi penghianat kini berada dihadapannya. Kedua bola mata Afna terbelalak saat melihat seseorang yang pernah dicintainya. Siapa lagi kalau bukan Seyn Arganta yang kini menjadi kakak iparnya.
"Seyn." dengan sangat lirih Afna menyebut nama mantan kekasihnya.
"Selamat, atas pernikahan kamu. Semoga kamu bahagia bersama adikku, aku pamit dan maafkan aku." Ucapnya lalu pergi meninggalkan Afna yang sedang berdiri mematung.
Rasanya ingin menjerit dan menangis, namun Afna tidak kuasa untuk melakukannya. Semua sudah hancur begitu saja, dan tidak akan bisa diubahnya kembali.
Zayen yang melihatnya pun tidak ada sedikitpun rasa cemburu, dirinya menyadari bahwa tidak ada cinta diantara keduanya.
Dengan pelan, Neyla mendorong kursi roda yang diduduki Afna untuk mendekati suaminya dan duduk di kursi roda dekat disampingnya. Dengan arahan dari pak penghulu, Afna mencium punggung tangan suaminya. Zayen pun tidak ada penolakan dengan apa yang tengah dilakukan Afna, meski gugup Afna berusaha untuk tidak memperlihatkan. Semua tamu undangan dibuatnya haru dengan pemandangan yang begitu sedikit mengiris hati para tamu undangan saat melihat kondisi Afna yang sangat memprihatinkan.
Afna maupun Zayen hanya saling diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
'Kenapa suamiku terlihat sangat menyeramkan, kenapa papa menerima laki laki ini yang terlihat seperti preman. Apa papa tidak salah memilih, benarkah laki laki ini yang akan menjadi suamiku? sudah gondrong, brewokan lagi.'
Setelah acara ijab qobul selesai, para tamu undangan pindah tempat untuk menikmati hidangan yang sudah di sajikan.
Satu persatu dari dari anggota keluarga maupun kerabat dekat dan tamu undangan lainnya bergantian memberi ucapan selamat untuk sepasang suami istri yang tidak lain yaitu Afna dan Zayen. Keduanya berusaha untuk tersenyum, meski senyumnya yang dipaksakan.
Setelah acara berlangsung cukup lama, Afna merasa lelah. Ditambah lagi kondisi fisiknya yang benar benar harus banyak istirahat.
Dengan telaten, Zayen segera mendorong di dalam ruangan khusus pengantin.
"Mau dibawa kemana aku, aku tidak mau jauh dari keluargaku."
"Jangan banyak tanya, kamu dilarang keras untuk berlama lama duduk di kursi roda." Jawabnya datar.
"Tapi aku masih kuat."
Zayen tidak perduli dengan ucapan Afna, dirinya tetap nekad mendorong kursi roda menuju kamar khusus.
Sampailah dikamar khusus, Perasaan Afna bercampur aduk. Rasa kesal, benci dan takut menjadi satu dalam pikirannya.
"Kamu mau ngapain? jangan macam macam terhadapku."
"Kamu pikir aku mau ngapain, apa kamu mau istirahat di kursi roda? jangan banyak protes. Diam itu lebih baik, dari pada banyak bertanya."
Afna hanya diam, sedangkan Zayen langsung mengangkat tubuh Afna dan membaringkannya di atas tempat tidur. Namun, karena merasa tidak nyaman akhirnya Zayen mengubah posisinya untuk menyandarkan tubuh istrinya dengan sangat hati hati.
Afna yang diperlakukannya hanya bisa berdiam, dirinya tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Karena hanya akan menjadi perdebatan diantara keduanya.
"Minumlah, kamu pasti haus." Zayen menyerahkan air putih kepada istrinya.
"Terimaksih, aku tidak haus." Dengan datar Afna asal menjawab.
"Istirahatlah. Aku masih ada urusan di luar, masih banyak tamu undangan yang datang. Tapi jika kamu melarangku, aku akan tetap disini menemani kamu." Sambil duduk santai, Zayen memberi pilihan untuk Afna.
"Tidak, terimakasih. Silahkan jika kamu ingin menemui para tamu undangan."
"Baiklah, jangan menyesal jika kamu sendirian disini dan lumayan lama aku kembali ke ruangan ini." Ucapnya kemudian segera bangkit dari tampat duduknya.
"Tolong, panggilkan mama atau saudara perempuanku. Katakan padanya, bahwa aku butuh teman."
"Aku tidak mempunyai waktu untuk mencari sosok wanita yang kamu sebutkan." Dengan enteng Zayen menjawabnya, kemudian langsung pergi meninggalkan Afna yang sendirian didalem ruangan.
Sedangkan Afna merasa kesal terhadap sikap Zayen yang begitu mebgesalkan. Rasanya ingin berlari dan menarik rambut gondrong milik suaminya, dan mencakar brewoknya.
Berkali kali kali Afna hanya mengerucutkan bibirnya karena kesal dengan sikap Zayen. Ingin berteriak juga percuma, ingin menangis juga tidak ada gunanya. Afna hanya berdecak kesal berkali kali.
Ceklek, pintu pun terbuka dari luar. Afna segera membenarkan posisinya, dirinya takut jika yang masuk adalah Zayen suaminya.
"Sayang, kamu kenapa memasang wajah cemberut? apa kamu takut sendirian? katakan."
"Kenapa mama lama sekali, Afna takut sendirian."
"Kenapa takut, bukankah sudah ada suami? kenapa bukan suami kamu yang menemanimu."
"Mama bagaimana sih, Afna tidak mencintai dan juga tidak mengenalnya." Dengan kesal, Afna memasang wajah cemberutnya. Sedangkan sang ibu hanya tersenyum mengambang saat putrinya terlihat lucu saat berbicara.
"Afna haus, Ma." Sambil menunjuk gelas yang sudah disiapkan Zayen. Namun Afna gengsi untuk menerimanya, dirinya terpaksa menahan rasa hausnya demi untuk tidak merepotkan.
"Kok sudah ada air minum di gelas, apakah suami kamu yang menyiapkannya?" tanya sang ibu penasaran.
"Iya, tapi tadi Afna belum haus, dan sekarang Afna baru merasa tenggorokan Afna sangat kering." Jawab Afna berbohong demi mengelak ucapan dari sang ibu.
Nyonya Nessa hanya tersenyum saat putrinya mulai banyak berasalan karena tidak ingin diketahui yang lainnya. Nyonya Nessa segera mengambil gelas yang berisi air minum dan memberikannya kepada Afna putrinya.
"Minumlah, jangan sampai tenggorokan kamu kering."
"Iya, Ma." Jawabnya dan segera meminumnya.
Setelah lumayan cukup lama menemani putrinya, sang ibu segera pamit untuk pergi. Karena tidak enak hati jika suami Afna akan masuk kedalam ruangan.
Dan benar saja, suami Afna tengah masuk kedalam. Nyonya Nessa segera pamit kepada putrinya.
"Afna, mama pamit pulang. Dan kamu nak Zayen, mama titip Afna. Jaga baik baik putri mama satu satunya, jika bersalah tegur dan nasehati. Jika Afna tidak bisa melakukan apa yang kamu minta, ajarkan untuk bisa melakukannya. Jika Afna menangis, hapuslah air matanya dengan caramu. Mama pasrahkan putri mama sepenuhnya kepada kamu. Sayangilah seperti kamu menyayangi wanita yang telah melahirkanmu." Ucap nyonya Nessa memberi pesan kepada menantunya.
"Zayen akan berusaha sebaik mungkin, Ma." Jawab Zayen sebaik mungkin.
"Mama... jangan lupa untuk selalu menjenguk Afna ya, Ma." Pinta Afna yang serasa belum siap untuk jauh dari orang tuanya. Namun, mau tidak mau Afna harus menerima nasib yang sudah diterimanya.
"Iya, sayang. Mama akan sering sering menjenguk kamu, tapi kamu harus taat kepada suami kamu. Jangan pernah melawan suami kamu, apalagi membantahnya. Jangan sampai kamu lalai akan tugas kamu sebagai istri. Jadilah istri yang baik, ya sayang..." ucap sang ibu mengingatkan dan menasehatinya. Afna yang mendengarkannya hanya mengangguk tanpa berucap.
Setelah berpamitan kepada Afna dan menantunya, nyonya Nessa segera meninggalkan ruangan khusus pengantin.
Sedangkan keduanya kini kikuk dibuatnya.
semoga tidak ada pembullyan lagi di berbagai sekolah yg berefek tidak baik