Novel ini akan mengisahkan tentang perjuangan Lucas Alarik yang menunggu sang kekasih untuk pulang kepelukannya. Mereka berjarak terhalang begitulah sampai mungkin Lucas sudah mulai ragu dengan cintanya.
Akankah Mereka bertemu kembali dengan rasa yang sama atau malah asing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lee_jmjnfxjk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18.Hal yang Tidak Disadari
Kedekatan itu tumbuh tanpa disadari Lucas.
Awalnya hanya percakapan ringan sepulang kegiatan sekolah, lalu kebiasaan berjalan berdampingan menuju gerbang. Dewi selalu tahu kapan harus berbicara dan kapan cukup tersenyum. Tidak pernah menuntut, tidak juga menekan. Dan justru karena itulah Lucas tidak merasa sedang melangkah terlalu jauh.
Ia tidak sadar bahwa jaraknya dengan Athaya mulai terbentang.
Pesan-pesan yang dulu dibalas cepat kini tertunda. Panggilan singkat yang biasanya ia tunggu kini lewat begitu saja. Lucas mengira itu wajar—Athaya sibuk, ia pun sama. Ia tidak tahu bahwa kelonggaran itu sengaja diberikan.
Di Jepang, Athaya berdiri di ruang briefing dengan peta digital menyala di hadapannya. Wajahnya tenang, gerakannya terukur. Ia telah menarik diri setapak dari Lucas—bukan karena tidak peduli, tapi karena tahu apa yang akan datang.
Perang tidak memberi ruang bagi keterikatan yang goyah.
Athaya memerintahkan persiapan dengan dingin dan presisi. Senjata dicek, jalur diamankan, strategi dirapikan. Di sela semua itu, ponselnya tetap sunyi. Ia tidak menghubungi Lucas. Tidak juga menuntut penjelasan. Kelonggaran itu ia berikan sepihak, tanpa Lucas sadari.
Bukan untuk menguji.
Melainkan untuk melindungi.
Sementara itu, Danu tidak pernah benar-benar pergi.
Ia selalu ada di samping Gio—di kelas, di koridor, bahkan di UKS saat Gio mengeluh pusing. Danu menawarkan air, menawarkan duduk, menawarkan keheningan. Namun Gio menolak hampir semuanya.
“Gw bisa sendiri,” ucap Gio lirih, meski tubuhnya berkata sebaliknya.
Setiap hari, penolakannya semakin lemah. Mual datang lebih sering. Kepalanya terasa berat, langkahnya goyah. Dan di balik semua itu, ada kenyataan yang ia simpan sendirian—terlalu besar untuk dibagi, terlalu menakutkan untuk diucapkan.
Hari itu, di ruang praktik yang sepi, Gio duduk dengan tangan gemetar. Hasil pemeriksaan tergeletak di pangkuannya. Matanya menatap huruf-huruf itu tanpa benar-benar membacanya. Ia sudah tahu. Tapi tetap saja, kenyataan itu menghantam.
Gio adalah lelaki yang spesial—seperti Revan. Tubuhnya memiliki kemampuan yang tidak banyak orang pahami. Kemampuan yang kini menjadi vonis sunyi.
Ia hamil.
Dadanya sesak. Napasnya pendek. Semua suara di sekitarnya seolah menjauh. Pikirannya berputar—tentang satu malam yang tidak pernah ia rencanakan, tentang masa depan yang tiba-tiba berubah bentuk.
Tentang Danu.
Gio menunduk, menahan air mata yang memaksa keluar. Ia tidak tahu harus ke mana. Tidak tahu harus siapa yang pertama kali tahu. Yang ia tahu hanyalah satu—ia hancur.
Di luar ruangan, Danu menunggu. Ia merasakan ada yang salah sejak Gio masuk terlalu lama. Saat Gio keluar dengan wajah pucat dan mata kosong, Danu berdiri refleks.
“Gio—”
“Jangan,” potong Gio cepat. Suaranya bergetar. “Jangan sekarang.”
Danu berhenti. Dadanya nyeri melihat Gio berjalan menjauh dengan langkah yang hampir runtuh. Ia ingin mengejar, ingin memeluk, ingin memaksa Gio berhenti lari. Tapi ia tahu—jika ia memaksa, Gio akan pecah.
Dan di tempat lain, Lucas tertawa kecil mendengar cerita Dewi. Terlalu larut, terlalu dekat. Ia tidak melihat notifikasi yang terlewat. Tidak menyadari bahwa Athaya sedang mempersenjatai dirinya untuk sesuatu yang jauh lebih besar dari hubungan mereka.
Empat dunia bergerak bersamaan.
Lucas tanpa sadar menjauh.
Athaya menyiapkan perang.
Danu bertahan di ambang putus asa.
Dan Gio—sendirian—menghadapi kenyataan yang mengubah segalanya.
Tidak ada yang tahu,
bahwa satu rahasia itu
akan menjadi pusat dari semua kehancuran yang akan datang.
—bersambung-