NovelToon NovelToon
Amorfati

Amorfati

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / Keluarga / Trauma masa lalu / Tamat
Popularitas:368
Nilai: 5
Nama Author: Kim Varesta

Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa

Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam

Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya

Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18. Dansa

🦋

Gavriel menerima suapan dari Kiran dengan gerakan yang nyaris terlalu lambat, seakan waktu menahan langkahnya. Jemarinya sempat menyentuh lembut punggung tangan Kiran sebentar saja, namun cukup untuk membuatnya tersadar bahwa banyak mata sedang memperhatikan. Kiran menarik tangannya perlahan, mencoba menjaga senyum ramah meski detak jantungnya tak beraturan.

Di seberang ruangan, Jevano memperhatikan adegan itu sekilas. Tatapannya sekilas ke arah Edwin, lalu kembali pada Auliandra. Ia tak ingin ribut di tengah pesta, tapi sesuatu di matanya menyiratkan ketidaknyamanan yang jelas.

"Sayang," bisiknya sambil menyerahkan kotak kecil berwarna hitam. "Untukmu. Aku memesannya khusus dari Italia."

Auliandra membuka kotak itu, sepasang anting berlian berbentuk bulan sabit berkilau memantulkan cahaya lampu kristal.

"Indah sekali…" ia menghela napas pelan. "Pasangkan untukku?"

Jevano tersenyum dan menuruti. Jemarinya yang hangat menyentuh kulit Auliandra saat ia memasangkan anting, tatapan mereka saling bertaut. Sekilas, dunia seolah hanya milik mereka.

Namun sebelum suasana itu menetap, Jevano berbalik dan dengan nada datar tapi sopan menyerahkan kotak lain berwarna navy pada Kiran.

"Dan ini… untuk Nona Kiran Kaldareth."

Kiran menatapnya penuh arti. "Kau tidak akan memasangkannya untukku juga, Tuan Muda Jevano?" godanya, setengah serius, setengah menguji batas.

Jevano menyeringai kecil, lalu meraih sebuah kotak beludru hitam di mejanya. Tanpa mengalihkan pandangan dari Kiran, ia membukanya. Kilau berlian berbentuk bintang memantul ke arah lampu kristal, membuat beberapa tamu di sekitar mereka terperangah. Perlahan, ia melangkah mendekat, meraih leher Kiran, dan mengalungkan hadiah itu.

"Kau menantangku rupanya," ucap Jevano dengan nada tenang namun tajam, seperti menandai kemenangannya.

Kiran mendecak, senyum sinis tersungging di bibirnya. "Besar juga nyalimu, Tuan Jevan," geramnya, meski tatapannya tak benar-benar marah lebih kepada terkejut karena tantangannya benar-benar dijawab.

Di sudut ruangan, beberapa gadis saling berbisik dan melirik sinis. Kata-kata seperti wanita penggoda dan perampas meluncur dari bibir mereka. Tak ada satu pun yang tahu kisah sebenarnya, mereka hanya menilai dari apa yang terlihat di permukaan. Seperti pepatah lama, mereka menilai buku dari sampulnya saja.

Sementara itu, Edwin melangkah anggun menghampiri Auliandra. "Aku punya sesuatu untukmu… aku membuatnya sendiri," ucapnya sambil menyodorkan kotak panjang yang ia bawa.

Auliandra membuka kotak itu, dan matanya langsung berbinar. Senyum manis terbit di wajahnya, begitu tulus dan hangat hingga membuat Edwin menahan napas sepersekian detik.

Tanpa meminta izin, Edwin sudah berdiri di belakang Auliandra, jemarinya yang dingin menyentuh kulitnya saat ia melepaskan kalung berlian merah yang dikenakan Auliandra. Lalu, dengan hati-hati, ia memasangkan kalung barunya ukiran bulan sabit yang begitu halus, berkilau memantulkan cahaya lampu.

Kalung itu tampak serasi dengan anting yang ia pasangkan beberapa detik kemudian. Seolah tanpa disadari, hadiah Edwin untuk Auliandra dan hadiah Jevano untuk Kiran seakan saling melengkapi meski kenyataannya, keduanya tak pernah merencanakannya bersama.

"Dan ini untukmu, sayang," ucap Edwin lembut, kini memasangkan anting berlian berbentuk bintang di telinga Kiran.

Pemandangan itu membuat beberapa tamu, terutama para gadis yang iri, semakin kebingungan.

Apa ini?

Mereka seperti berbagi pasangan?

Atau… pasangan mereka tertukar?

Atau hanya sindiran halus di depan umum?

Pertanyaan-pertanyaan itu bergulir di kepala mereka, namun jawabannya hanya diketahui oleh empat orang itu.

Dari kejauhan, Gavriel berdiri dengan tatapan sulit diartikan. Ada rasa canggung, tapi juga dorongan untuk mendekat. Di tangannya, ia menggenggam sebuah kotak kecil. Ia tahu ia harus memberikannya sekarang, tak peduli siapa yang memperhatikan.

"Kiran…" suaranya berat.

Tawa Kiran terhenti. Ia menoleh, lalu melangkah ke arah Gavriel. Dua pria lain, Jevano dan Edwin hanya memandang dengan ekspresi tak senang, jelas tidak suka waktu mereka diganggu.

"Maaf… aku hanya bisa memberikan ini," kata Gavriel pelan, menyodorkan kotak itu.

Kiran tersenyum samar. "Apapun isinya… pakaikan untukku, Mas," lirihnya.

Panggilan itu membuat Gavriel terdiam sepersekian detik. Mas… Panggilan yang selama ini hanya datang dari Valora. Dan saat itu, keyakinannya bertambah: Kiran memang Valora.

Perlahan, ia membuka kotak itu. Di dalamnya, cincin berlian mungil dengan ukiran kupu-kupu di bagian atasnya. Dengan jemari yang sedikit bergetar, Gavriel menyematkannya di jari telunjuk kanan Kiran.

"Cincin ini milik istri tercintaku… Valora," suaranya parau. "Aku belum sempat memberikannya padanya. Dan aku memberikannya padamu… karena kau pantas menerimanya. Wajahmu, sifatmu… semuanya mengingatkanku padanya."

Usai kata-kata itu, Gavriel hanya menunduk sebentar, lalu pergi begitu saja. Tak memberi kesempatan untuk bertanya.

Kiran menatap cincin itu lama, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih…" bisiknya. Ia tak tahu, rasa haru ini datang karena hadiah itu… atau karena cinta Gavriel yang sepertinya tak pernah pudar, meski waktu sudah memisahkan.

***

Auliandra menatap keduanya, senyumnya tipis namun matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam. Edwin di sisi Kiran hanya mengangkat alis, seolah menantang Jevano untuk mencoba.

Ketegangan tipis di udara mulai tercium oleh para tamu. Mereka yang tadi sibuk menikmati musik pelan kini mulai melirik ke arah lingkaran kecil ini di mana empat pasang mata saling mengukur kekuatan, meski semua bibir masih menampilkan senyum manis.

Di sudut ruangan, Gavriel tak memalingkan pandangan dari Kiran, sementara segelas wine di tangannya tetap tak tersentuh. Ada kilatan bahaya di matanya, bukan hanya karena rasa ingin memiliki, tapi juga karena ia tahu… pesta ini hanyalah permukaan dari badai yang akan datang.

Ayla dan Alex, meski tampak berbincang dengan tamu, jelas menyadari hawa tegang di antara anak-anak muda itu. Ayla menatap suaminya sekilas, seolah berkata tanpa kata: Kita mungkin harus bersiap.

Musik perlahan berubah, nada biola yang manis berganti menjadi irama waltz yang lebih dramatis. Sang MC mengundang para pasangan untuk berdansa di lantai tengah. Jevano segera menarik Auliandra, sementara Edwin menunduk ke arah Kiran.

Tepat sebelum Kiran melangkah, Gavriel maju setengah langkah. "Bolehkan… aku?" suaranya rendah, cukup untuk membuat Edwin menatapnya dengan tatapan tajam.

Seluruh ruangan seakan menahan napas, menunggu siapa yang akan dipilih Kiran. Dan di balik semua itu, Auliandra memandangi ketiganya, senyum di bibirnya nyaris tak berubah, tapi hatinya… berdegup cepat.

Karena ia tahu, apa pun yang Kiran pilih malam ini, akan mengubah segalanya.

Kiran menatap Gavriel dan Edwin secara bergantian. Sekilas, senyumnya tetap ramah, namun matanya menelusuri keduanya seperti sedang menimbang sesuatu.

"Maaf, Edwin…" ucapnya lembut sebelum akhirnya meletakkan tangannya di telapak Gavriel. Gerakan itu seperti tamparan tak kasat mata bagi Edwin, tapi ia menahan diri, hanya menegakkan bahunya dengan dingin.

Bisik-bisik mulai merayap di antara para tamu.

"Gavriel Wardana… itu dia."

"Bukankah dia yang..."

"Sst… jangan keras-keras."

Gavriel membawa Kiran ke lantai dansa. Langkahnya mantap, posisinya tegap, tapi tatapannya hanya tertuju pada gadis di hadapannya. Jemarinya melingkari pinggang Kiran, menariknya sedikit lebih dekat dari yang seharusnya.

"Enam tahun… dan kau masih berani menatapku seperti itu," ucap Gavriel pelan, suaranya terdengar seperti bisikan ancaman yang dibungkus rindu.

Kiran menahan napas. "Berhenti, Gav. Ini pesta Auliandra."

"Itu tak menghentikan rinduku." Gavriel memutar Kiran dengan gerakan elegan, lalu menariknya kembali ke dadanya. Sejenak, Kiran merasakan denyut jantungnya bertabrakan dengan irama musik, cepat, tidak teratur.

Di sisi lain lantai dansa, Jevano menggandeng Auliandra dengan gerakan halus namun tegas.

"Apa kau tahu, sayang…" bisiknya, "…aku tidak suka cara Gavriel memandang Kiran."

Auliandra menoleh sekilas ke arah Kiran dan Gavriel, lalu kembali menatap Jevano dengan senyum samar.

"Kau juga tak bisa menghentikannya, Jevan."

Jeva­no mengencangkan genggaman di pinggang Auliandra. "Kalau aku mau… aku bisa." nada suaranya rendah, nyaris seperti janji yang berbahaya.

Putaran demi putaran, lantai dansa menjadi medan tatapan, bukan hanya antara pasangan, tapi juga antar pasangan. Edwin berdiri di tepi, matanya mengunci pada Kiran, rahangnya mengeras. Ia tampak seperti pria yang sedang menghitung detik sebelum ikut masuk ke permainan ini.

Saat musik mencapai klimaks, Gavriel menunduk sedikit, bibirnya hanya beberapa senti dari telinga Kiran.

"Kau tahu… aku bisa membawamu pergi sekarang."

Kiran menelan ludah, matanya memandangi Auliandra yang sedang berputar di pelukan Jevano. Ada sekilas rasa bersalah, ada rahasia yang seolah menjeratnya.

Lalu musik berhenti dan semua mata tertuju pada Gavriel yang tidak segera melepaskan Kiran dari pelukannya. Suasana membeku, bahkan MC pun terlambat menyadari jeda itu terlalu lama.

Di sudut ruangan, Ayla meremas lengan Alex. "Ini… akan menjadi masalah besar."

Sunyi sesaat setelah musik berhenti terasa seperti jurang dan Gavriel sengaja membiarkan Kiran tetap dalam pelukannya. Para tamu mulai berbisik lebih keras, beberapa mengangkat gelas wine untuk menutupi mulut mereka saat berbicara.

Edwin melangkah maju.

"Saya rasa… sudah cukup, Tuan Muda Wardana," ucapnya datar, tapi dengan tekanan yang membuat beberapa tamu di dekatnya terdiam.

Gavriel menoleh perlahan, masih memegang Kiran. "Kau pikir kau berhak menentukan?" nada suaranya tenang, namun mengandung sesuatu yang dingin.

Kiran mencoba melepaskan diri, tapi jemari Gavriel terlalu kuat. "Gav, lepaskan…" bisiknya.

Jevano, yang masih bersama Auliandra, melangkah ke depan. "Tuan Muda Wardana."

Satu kata itu saja cukup membuat suasana mengeras. "Ini kediaman kami. Kalau kau tak tahu batas..."

"Batas?" Gavriel tertawa pendek. "Batas siapa? Batas yang kalian buat untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi enam tahun lalu?"

Beberapa tamu terperangah, jelas tak mengerti, namun cukup pintar untuk menyadari ada rahasia besar yang sedang disentuh. Auliandra menegakkan tubuhnya, senyum tipisnya menjadi tameng.

"Anda tidak diundang untuk membuat keributan, Tuan Gavriel."

Tatapan Gavriel beralih cepat dari Auliandra ke Jevano, lalu ke Edwin.

"Keributan? Atau kebenaran?"

Kiran akhirnya berhasil melepaskan diri, berdiri di tengah antara Gavriel dan Edwin.

"Cukup!" suaranya sedikit bergetar. "Ini bukan waktunya."

Namun di mata Gavriel, itu bukanlah permintaan, melainkan konfirmasi bahwa ia memegang kunci sesuatu yang semua orang di ruangan ini ingin sembunyikan.

Ayla melangkah cepat, berusaha memecah lingkaran. "Tamu-tamu sekalian, mari kita nikmati makanan penutup yang baru saja disiapkan..."

Tapi sebelum ia bisa mengalihkan perhatian, Gavriel menunduk sedikit pada Kiran dan berkata pelan, cukup keras untuk didengar oleh lingkaran terdekat.

"Cepat atau lambat, Kiran… semua orang akan tahu kenapa kau benar-benar pergi malam itu."

Sekeliling mereka membeku. Edwin menatap Gavriel dengan tatapan seperti pisau, Jevano mengepalkan tangan, dan Auliandra meski wajahnya tetap cantik dan tenang, jemari di balik gaunnya menggenggam erat.

Dan pesta… baru saja berubah menjadi medan perang tak kasat mata.

🦋To be continued...

1
eva lestari
🥰🥰
Nakayn _2007
Alur yang menarik
Sukemis Kemis
Gak sabar lanjut ceritanya
Claudia - creepy
Dari awal sampe akhir bikin baper, love it ❤️!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!