Storm adalah gadis bar-bar dengan kemampuan aneh—selalu gagal dalam ujian, tapi mampu menguasai apa pun hanya dengan sekali melihat.
Ketika meninggal pada tahun 2025, takdir membawanya hidup kembali di tubuh seorang narapidana pada tahun 1980. Tanpa sengaja, ia menyembuhkan kaki seorang jenderal kejam, Lucien Fang, yang kemudian menjadikannya dokter pribadi.
Storm yang tak pernah bisa dikendalikan kini berhadapan dengan pria yang mampu menaklukkannya hanya dengan satu tatapan.
Satu jiwa yang kembali dari kematian. Satu jenderal yang tak mengenal ampun. Ketika kekuatan dan cinta saling beradu, siapa yang akan menaklukkan siapa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
“Ah Zhu, jangan bicara seperti itu!” tegur dokter tua itu sambil menepuk meja dengan cemas. “Kau bisa menyinggung Jenderal! Kau juga tahu beliau tidak bisa disinggung. Jika kau berada di sisinya dan berhasil menyembuhkan kakinya, itu artinya kau telah menyelamatkan ribuan… bahkan jutaan warga Tiongkok. Kenapa kau harus menolak permintaannya?”
Storm memutar badan cepat, matanya membelalak penuh frustrasi. “Apa tidak ada dokter lain? Kenapa harus aku? Kalau dia butuh dokter, dia bisa menghubungi rumah sakit ini kapan saja. Aku akan datang. Tapi kalau aku harus mengikutinya ke mana pun dia pergi, itu artinya aku hanya bisa fokus pada dia seorang diri!”
Ia menepuk dadanya sendiri, napasnya naik turun. “Aku bukan miliknya! Dan aku punya pasien lain yang harus diselamatkan. Kalau aku terus berada di sampingnya, aku hanya akan menjadi alat pribadi!”
Dokter tua itu terdiam, tak bisa menyangkal kata-kata Storm. Namun ia tetap mencoba menasihati, “Tapi Ah Zhu… kau tahu sendiri Jenderal Fang bukan orang yang mudah memberi kepercayaan. Jika dia memilihmu dari begitu banyak dokter, itu berarti—”
“—itu berarti aku kena masalah besar,” potong Storm cepat, wajahnya masam. “Kalau dia sembuh, aku aman. Kalau dia tidak sembuh… aku dikubur hidup-hidup. Di mana letak keberuntungannya?”
Storm menghembuskan napas panjang, menjatuhkan diri ke kursi. “Aku tidak butuh kehormatan. Aku butuh hidup.”
“Ah Zhu, kalau kau menolak, dia bisa saja melakukan sesuatu yang buruk pada rumah sakit atau dirimu,” kata dokter tua itu, suaranya penuh kecemasan. “Lebih baik kau pikirkan baik-baik.”
Storm menutup mata sejenak, menarik napas dalam. “Aku akan pergi menemuinya,” ujarnya akhirnya, lalu beranjak keluar dengan langkah berat.
Beberapa saat kemudian.
Storm kembali ke kamar pasien tempat Lucien dirawat. Aroma obat dan bau logam darah masih terasa. Lucien duduk bersandar dengan santai, wajahnya dingin seperti biasa.
“Jenderal, aku menolak tawaranmu,” kata Storm tanpa basa-basi. Ia berjalan mendekat dengan dagu terangkat, menegaskan bahwa ia tidak takut.
Lucien menoleh perlahan. “Kenapa? Apakah bayaranku tidak cukup?”
“Aku tidak butuh uangmu,” jawab Storm cepat. “Aku hanya tidak mau terikat pada satu pasien. Aku menjadi dokter untuk menyembuhkan banyak orang, bukan hanya satu.”
Max yang berdiri di samping ranjang langsung melangkah maju, wajahnya tak percaya. “Nona Shu! Bagaimana bisa kau berbicara seperti itu di depan Jenderal? Banyak dokter yang justru berharap bisa menangani beliau, tapi hanya kau yang terpilih!”
“Kalau begitu, aku carikan saja dokter lain,” jawab Storm dingin.
Ruangan langsung hening. Lucien mengubah posisi sedikit, matanya menyipit tajam.
“Kau bisa menolakku,” ucapnya perlahan. “Tapi jangan lupa, tempat tinggal keluargamu adalah milik pemerintah. Aku bisa mengambil alih kapan saja… dan keluargamu tidak akan punya tempat tinggal.”
Storm mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. “Kau mengancamku?”
“Hanya peringatan,” jawab Lucien tanpa berkedip. “Perintahku tidak ada yang bisa membantah.”
“Tidak tahu malu…” gumam Storm sambil menahan emosi, hampir ingin melempar sesuatu ke wajah sang jenderal.
Lucien mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Sekarang… apa kau masih ingin menolak?”
Storm menegakkan tubuh, matanya tajam menatap Lucien. Lalu, dengan suara yang menahan seluruh amarahnya, ia berkata, “Jenderal Fang, baiklah. Aku akan menjadi dokter pribadimu.”
Max akhirnya menghela napas lega, tapi sebelum ia sempat bicara, Storm melanjutkan,
“Tapi aku juga ingin satu syarat.”
Lucien menatapnya, tertarik. “Kau tidak berhak mengajukan persyaratan?
Storm mengangkat dagunya. “Kalau aku tidak berhak mengajukan syarat, kenapa kau memilihku menjadi doktermu? Kalau saja ada dokter lain yang bisa menyembuhkan kakimu, tentu aku tidak akan dipilih. Jadi… dengarkan dulu syaratku.”
“Katakan,” ujar Lucien, suaranya rendah namun memaksa. Tatapannya menusuk seperti sedang menilai keberanian Storm.
Storm melipat tangan di depan dada. “Menjadi doktermu bisa saja,” katanya tegas. “Tapi aku tidak mau pergaulanku dibatasi, dan aku tidak mau setiap hari berada di sisimu. Aku tetap ingin mengobati pasien lain. Aku seorang dokter, bukan penjaga pribadi.”
Max langsung menyahut dengan nada keberatan. “Nona Shu, seperti yang Anda katakan sendiri… kalau semuanya ikut kemauan Anda, itu bukan dokter pribadi lagi namanya.”
Storm menjawab cepat tanpa ragu, “Dokter pribadi apanya? Jenderal cuma terluka di kaki. Untuk apa aku harus dua puluh empat jam berada di sisinya? Jenderal bukan penderita penyakit kritis yang butuh pengawasan detik demi detik.”
Max terdiam, tak bisa membantah logika Storm.
Lucien menatap Storm lama, seakan menimbang sesuatu. Lalu ia bersandar kembali, suara dalamnya terdengar sangat tenang namun penuh aura kekuasaan.
“Baiklah,” ucapnya akhirnya. “Tapi kau harus berjanji padaku… hanya pasien wanita yang boleh kau obati. Selain itu, tidak bisa.”
Storm terpaku sejenak.
Max pun mengerjap, terkejut. Bahkan dia sendiri tidak menyangka Jenderalnya akan mengeluarkan syarat seperti itu.
Storm mengernyit. “Apa maksudmu? Hanya pasien wanita? Itu tidak masuk akal!”
Lucien tetap tenang, tapi matanya penuh otoritas. “Aku tidak suka dokter pribadiku menyentuh tubuh pria lain. Itu saja.”
Storm hampir memukul meja. “Jenderal Fang! Aku dokter! Manusianya pria atau wanita sama saja. Semua membutuhkan pengobatan!”
Lucien hanya tersenyum tipis, senyum yang jarang muncul dan justru membuat suasana semakin menegangkan.
“Itu syaratku,” katanya pelan namun sangat tegas. “Terima… atau kembali pada pilihan awalmu: keluargamu kehilangan rumah.”
“Bagaimana kalau pasiennya lima puluh persen wanita dan lima puluh persen pria?” tanya Storm dengan nada santai, ceplas-ceplos seperti biasa.