SMA Adhirana dikenal sebagai sekolah elit dengan reputasi sempurna — tapi di balik tembok megahnya, beredar satu rumor yang gak pernah dibahas secara terbuka: “Lantai Tujuh.”
Katanya, gedung utama sekolah itu cuma punya enam lantai. Tapi beberapa siswa bersumpah pernah menekan tombol “7” di lift... dan tiba di lantai yang tidak tercatat di denah mana pun.
Lantai itu selalu berubah-ubah. Kadang berupa ruang kelas kosong dengan bau darah, kadang koridor panjang penuh loker berkarat. Tapi yang pasti — siapa pun yang masuk ke lantai tujuh selalu kembali dengan ingatan yang terpotong, atau malah tidak kembali sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 — Kelas Tanpa Nama
Udara tahun 2019 di koridor Lantai Tujuh yang terproyeksi terasa padat. Bukan karena kelembaban, tetapi karena ketegangan emosional yang intens. Rhea Wijaya berdiri di depan mereka, wajahnya menyambut dengan senyum dingin, sementara di belakangnya, Aksa muda dan Daren muda tampak seperti hantu yang bersemangat.
"Selamat datang di arsip," kata Rhea 2019. Suaranya terdengar jernih, tanpa gema, tetapi memiliki resonansi yang dalam. "Aku adalah kesadaran di sini. Dan kamu, Reina, berada di memori yang paling kusut."
"Ini bukan memori," sela Daren 2025, yang memegang erat Zio yang masih pingsan. "Ini proyeksi rasa bersalahku!"
Rhea tersenyum ke arah adiknya. "Ah, Daren. Selalu menyangkal. Tentu saja, ini adalah proyeksi. Tapi siapa yang menekan tombol \infty? Kau. Kau ingin kembali ke saat kau bisa mencegahku masuk ke lift itu."
Reina mengabaikan interaksi mereka. Ia fokus pada Aksa muda yang berdiri di samping Rhea. Aksa muda terlihat begitu yakin, begitu terobsesi.
"Kak Aksa," bisik Reina. "Apa yang kamu lakukan?"
Aksa muda menatap Reina dengan mata kosong, seperti patung. "Aku mencari penebusan, Reina. Aku mencari tempat di mana aku bisa menghilangkan semua dosa yang ada di sekolah ini."
"Kamu ingin menukarku!" teriak Reina.
"Tidak," jawab Rhea 2019. "Dia ingin mengamankanmu. Dia ingin kamu menjadi admin yang baru, yang lebih kuat. Yang memiliki alasan pribadi yang sangat kuat untuk menutup sistem ini."
Naya menarik lengan Reina. "Rei, lihat!"
Mereka menoleh ke lorong. Pintu-pintu kelas di sana memiliki nomor yang aneh. Bukan nomor kelas yang biasa. Nomor-nomor itu adalah tanggal, diikuti dengan sebuah nama.
15/06/2017 - CLARA
12/03/2020 - RHEA
25/09/2021 - ADIK NAYA
"Ini adalah arsip," bisik Reina. "Setiap pintu kelas ini adalah proyeksi emosional dari jiwa yang terjebak di Lantai Tujuh."
Mereka melihat sekelompok siswa 2019 berjalan masuk ke salah satu kelas. Mereka mengenakan seragam olahraga, bersikap riang, seolah tidak ada yang aneh.
"Kita sedang menyaksikan hari terakhir Kak Aksa menghilang," kata Reina, melihat ke Daren 2025. "Aku harus melihatnya."
"Tunggu, Reina," kata Daren 2025, wajahnya pucat. "Kita harus keluar dari sini. Jika kita terlalu lama di sini, dimensi ini akan mencetak memori kita."
"Sudah terlambat, Daren," jawab Reina. "Kau yang menekan tombolnya, dan sekarang kau harus menghadapi ingatanmu."
Reina berjalan melewati Rhea 2019, menuju ke ujung koridor, tempat Lift Gedung Lama yang asli berdiri.
Di sana, di depan lift, ia melihat sebuah adegan.
Aksa muda berdiri di depan lift, memegang jurnalnya. Dia tampak cemas, memeriksa arlojinya.
Lalu, Daren muda berjalan mendekatinya. Daren muda berbicara dengan Aksa. Mereka terlihat berdebat. Aksa muda kemudian masuk ke dalam lift sendirian.
Lift itu menutup.
Reina menoleh ke Daren 2025. "Aksa masuk sendirian. Dia tidak hilang bersamamu."
"Itu adalah yang aku ingin kamu lihat," kata Daren 2025. "Itu adalah memori yang aku ingat karena aku menekan rasa bersalahku. Aku tidak mau mengakui kebenaran."
Rhea 2019 bertepuk tangan. "Tepat, adikku. Memori itu fleksibel. Dan rasa bersalah itu adalah penulis skenario yang ulung."
"Apa kebenarannya, Daren?" desak Reina.
Daren 2025 menatap Lift, matanya dipenuhi penyesalan. "Kebenarannya... ada di Balik Pintu Paling Jauh."
Reina melihat di seberang Lift, ada pintu kecil yang terbuat dari logam tebal, tidak memiliki nomor. Pintu itu terlihat sama dengan pintu Mirror Room di rekaman video.
Reina melangkah menuju pintu itu. Tiba-tiba, dari balik bayangan di sudut, muncul sosok lain.
Seorang gadis berseragam olahraga, wajahnya basah oleh air mata, memohon pada Rhea.
Itu adalah Clara Wijaya, kakak Naya. Clara 2019.
"Rhea, jangan! Aku sudah mencoba menghentikanmu! Aku nggak mau lari dari dosaku! Aku mau ngaku!" teriak Clara 2019.
Rhea 2019 tersenyum sinis. "Terlambat, Clara. Rasa bersalahmu adalah pemicu yang sempurna. Nikmati penebusanmu."
Rhea 2019 mendorong Clara 2019 masuk ke dalam salah satu kelas yang bertuliskan: 15/06/2017 - CLARA. Pintu itu menutup dengan suara gemertak.
Naya terhuyung, tubuhnya menggigil hebat. "Dia... dia nggak hilang. Dia dikorbankan. Rhea yang melakukannya."
Reina tidak membiarkan Naya terdistorsi. Ia kembali ke Lift, di mana Aksa muda baru saja masuk.
Tiba-tiba, dari sudut gelap di seberang Lift, muncul sesosok Daren muda lain. Bukan yang berdebat dengan Aksa. Sosok ini mengenakan jaket lab, wajahnya serius.
Daren muda ini, Daren yang fokus pada eksperimen, berjalan cepat ke Lift.
Dan di saat yang sama, Aksa muda keluar dari Lift. Wajah Aksa panik.
"Jangan masuk, Daren! Aku salah perhitungan! Dia sudah mengambil alih!" teriak Aksa muda.
Daren muda itu mengabaikan Aksa. Dia menatap Aksa, lalu tersenyum aneh.
"Aku tahu, Aksa. Tapi aku harus masuk bersamamu. Aku harus menjadi kunci yang sempurna. Ingat. Pengakuan."
Daren muda itu dan Aksa muda masuk kembali ke dalam lift, bersama-sama.
Reina menoleh ke Daren 2025. "Kalian berdua masuk bersama. Kamu berbohong!"
Daren 2025 hanya menundukkan kepala. "Aku tidak hanya berbohong padamu, Reina. Aku berbohong pada diriku sendiri. Rasa bersalah itu membuatku lupa."
"Lalu siapa yang mendorong Rhea?" tuntut Reina.
Daren 2025 mengangkat kepalanya. Matanya kosong. "Aku melihatnya, Reina. Aku melihat diriku sendiri di balik cermin."
"Aku melihat diriku, Daren Kurniawan. Aku mendorong Rhea."
Tiba-tiba, semua lampu di koridor itu padam total. Teriakan-teriakan dari siswa 2019 menghilang. Kegelapan total.
Reina mendengar suara langkah kaki yang diseret, mendekatinya.
"Reina..." suara itu berbisik, serak dan penuh otoritas. Itu adalah suara Rhea 2019, tetapi kini terdengar seperti suara kesadaran Lantai Tujuh.
Reina merasakan dorongan kuat di punggungnya. Ia jatuh.
Ketika Reina mengangkat kepalanya, ia berada di depan cermin besar. Bukan cermin yang utuh. Cermin itu retak, pecahan-pecahan yang memantulkan seribu bayangan.
Ia berada di Mirror Room yang asli.
Dan di balik refleksi, ia melihat Rhea 2019. Rhea tersenyum, senyum yang menjijikkan.
"Kau datang, Reina," kata Bayangan Rhea. "Kau membawa dosamu. Dan kau membawa Daren."
Reina menoleh ke belakang. Daren 2025, Naya, dan Zio sudah menghilang.
"Kau datang untuk menyelamatkan Aksa? Salah. Kau datang untuk menggantikan tempatnya."
Bayangan Rhea di cermin itu mulai bergerak.