Di balik ketegasan seorang Panglima perang bermata Elysight, mata yang mampu membaca aura dan menyingkap kebenaran, tersimpan ambisi yang tak dapat dibendung.
Dialah Panglima kejam yang ditakuti Empat Wilayah. Zevh Obscura. Pemilik Wilayah Timur Kerajaan Noctis.
Namun takdir mempertemukannya dengan seorang gadis berambut emas, calon istri musuhnya, gadis penunggu Sungai Oxair, pemilik pusaran air kehidupan 4 wilayah yang mampu menyembuhkan sekaligus menghancurkan.
Bagi rakyat, ia adalah cahaya yang menenangkan.
Bagi sang panglima, ia adalah tawanan paling berbahaya dan paling istimewa.
Di antara kekuasaan, pengkhianatan, dan aliran takdir, siapakah yang akan tunduk lebih dulu. Sang panglima yang haus kendali, atau gadis air yang hatinya mengalir bebas seperti sungai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sibewok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 - Sebuah Jawaban
Fajar menyingsing di perbatasan Barat, namun cahaya matahari nyaris tak terlihat. Kabut tipis menyelimuti benteng, dingin menusuk tulang, dan sisa hujan semalam menetes dari atap-atap kayu. Suara burung gagak terdengar serak, seolah membawa firasat buruk.
Di ruang tahanan kecil yang lembap, Elara terbangun dengan tubuh gemetar. Rambutnya kusut, pipinya masih basah oleh keringat dingin.
Mimpi tentang sungai Oxair yang meluluhlantakkan desa Osca belum lepas dari benaknya. Gema suara air deras masih bergaung di telinganya, membuat ia meremas kuat kain tipis yang menutupi tubuhnya.
"Apa arti semua ini? Kenapa aku selalu melihatnya?" bisik Elara pada dirinya sendiri, menunduk dalam kegelapan.
Sementara itu, di ruang atas benteng, Zevh berdiri di balkon batu yang menghadap lembah. Matanya menatap kabut yang menelan horizon. Sorot merah samar di matanya masih tersisa sejak malam.
Ia merasakan denyut aneh di dadanya, bukan luka, bukan sakit fisik, melainkan getaran yang seolah menyambung dengan detak jantung orang lain.
Ingatan kilatan mimpi yang sama menyerangnya lagi. Pusaran sungai, jeritan, dan Osca yang tenggelam. Nafas Zevh terengah sebentar, lalu ia meraih pinggiran balkon dengan jemarinya yang mengepal kuat.
Ajudannya datang, menunduk hormat.
“Pangeran, pasukan telah bersiap untuk inspeksi pagi. Apakah Anda ingin memulai hari ini dengan memeriksa tawanan?”
Zevh tak menjawab seketika. Sorot matanya tetap terpaku ke kabut. Ada keraguan tipis yang jarang sekali muncul dari dirinya.
“Bawa aku padanya,” ucap Zevh akhirnya, suaranya rendah namun penuh tekanan.
Dan saat langkah beratnya menyusuri koridor batu menuju ruang tahanan, di balik jeruji, Elara menegakkan tubuhnya. Seolah ia merasakan kehadiran Zevh bahkan sebelum ia tiba.
Hatinya berdebar, bukan karena takut semata, tapi karena mimpi itu seakan bukan lagi miliknya sendiri. Elara menggenggam jeruji besi, tubuhnya menegang saat sosok tinggi berbalut jubah gelap itu akhirnya muncul. Sorot mata merah samar Zevh menyala di balik kabut cahaya fajar yang masuk dari celah dinding.
Hening beberapa saat. Hanya ada suara tetesan air dari atap tahanan.
“Seharusnya semalam kau sudah lenyap,” ucap Zevh datar, dingin seperti batu karang. “Aku tidak pernah meleset dalam keputusan. Tapi… anehnya, pagi ini kau masih hidup.”
Elara menegakkan kepalanya, sorot matanya tajam menembus dinginnya tatapan panglima.
“Mungkin untuk pertama kalinya, takdirmu kalah pada sesuatu yang lebih besar.” Suaranya lirih tapi penuh perlawanan.
Zevh mendekat, jarak wajahnya hanya sejengkal dari jeruji. Aura dingin memancar dari tubuhnya. “Jangan menguji kesabaranku, gadis bandit. Kau bukan tawanan biasa. Apa yang kau sembunyikan?”
Elara menahan senyumnya, meski jantungnya berdegup keras. “Kau sudah berlaku adil semalam. Rakyat Osca, tawananmu ini, mendapat pengampunan untuk tetap hidup. Itu keputusan seorang panglima, bukan algojo.” jawabannya menghindari pertanyaan Zevh.
Mata Zevh menyipit, kilatan murka melintas. Urat di rahangnya mengeras. “Pengampunan?” nadanya penuh ejekan. “Kau pikir aku sengaja membiarkanmu hidup? Gadis, kata-katamu meretakkan keputusanku sendiri. Dan itu...” suaranya merendah, getir, “—hal yang paling ku benci.”
Elara menatap balik, tak gentar. “Kalau begitu, bunuh aku sekarang juga.”
Jeruji bergetar ketika Zevh menghantamnya dengan telapak tangan, dentumannya menggema di ruang pengap itu. Sorot matanya menyala penuh kebencian, tapi juga keraguan samar. Gadis itu… terlalu berani. Terlalu banyak menyimpan kebohongan, dibalut dengan niat tulus yang ia tak bisa tembus.
Zevh menarik napas berat, lalu berbalik. “Bukan hari ini. Kau sedang melindungi sesuatu… dan aku tinggal beberapa langkah lagi untuk mengetahuinya.”
Elara menggenggam jeruji lebih kuat. “Hei! Buka pintu ini! Kau pengecut!” teriaknya lantang, suaranya pecah di ruang sempit.
Tapi panglima itu tidak menoleh lagi. Langkah-langkahnya menjauh, berat, berwibawa, dan tanpa belas kasih.
Elara terus berteriak, memaki, menghujat, menantang. Namun pintu besi tetap terkunci. Dan Zevh, dengan segala keangkuhannya, berjalan pergi, meninggalkan suara gadis itu terpantul di dinding batu, seperti gema perlawanan yang tak pernah padam.
Zevh kini berdiri di depan pintu tahanan yang membentang ke arah perbukitan. Cahaya matahari pagi menembus celah kabut tipis, memantulkan sinar ke jubah hitamnya yang berkibar diterpa angin. Wajahnya dingin, seolah pahatan batu yang tak bisa diubah oleh waktu.
“Keputusanku tidak goyah,” gumamnya pelan, mata merah samar menatap ke arah horizon. “Hanya menunggu waktu yang tepat… untuk menjatuhkan hukuman mati bagi tawanan istimewaku.”
Langkah ajudannya terdengar dari arah belakang. Dengan napas sedikit tergesa, ia menunduk hormat.
“Pangeran Zark membawa kabar dari Desa Osca.”
Zevh berbalik sedikit, matanya menajam. Dari balik tubuh sang ajudan, muncullah sosok Zark, berdiri tegap dengan mantel panjangnya. Ia membawa gulungan lusuh yang tergenggam erat di tangannya.
“Zevh,” suara Zark tenang tapi mengandung tekanan, “keputusanmu tepat sekali.” Ia mengangkat gulungan itu, membukanya dengan cepat. Sebuah sketsa wajah terhampar, garis-garis tinta membentuk sosok yang begitu Zevh kenal. Rambut keemasan. Tatapan mata yang keras kepala. Wajah yang menghantui setiap mimpinya.
Elara.
Sorot mata Zevh menajam, rahangnya mengeras. Dadanya bergemuruh, bukan karena cinta, tapi karena kebencian yang terus dipupuk, tumbuh bagai api yang tak pernah padam.
“Kenapa… gadis itu dicari?” ucap Zevh perlahan, nadanya seperti desisan binatang buas yang menahan amarah. Jemarinya meraih gulungan itu dari tangan Zark, hampir merobeknya dengan cengkeraman kuat.
Zark menunduk, suaranya meninggi. “Elara Elowen, dia dijanjikan dalam perjodohan dengan Pangeran Arons. Kau… kau tepat menjadikannya tawananmu, Zevh!”
Kilat merah menyala di mata Zevh. Tubuhnya berbalik tanpa memberi jawaban, jubah hitamnya berderai bagai bayangan kematian. Gulungan sketsa itu diremas di genggamannya, sebelum ia melangkah masuk ke dalam benteng, menuruni anak tangga batu.
Zark hanya bisa menatap punggung sahabat lamanya itu. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam Zevh. Sesuatu yang lebih berbahaya dari sekadar amarah.
Di dalam dirinya, Zevh sudah tahu, Elara menyimpan lebih dari sekadar rahasia perjodohan. Ia bersembunyi di balik nama Elowen, menutup-nutupi sesuatu yang jauh lebih besar. Dan sekarang, dengan sketsa wajah itu di tangannya, kebohongan itu mulai muncul ke permukaan.
Langkahnya bergema, menuruni lorong menuju ruang pengap tempat Elara dikurung. Sorot matanya membara, dadanya dipenuhi murka.
“Aku ingin jawabannya sekarang, Elara,” gumamnya, suaranya bergaung di dinding batu. “Sekarang juga.”
Tangannya menghantam pintu besi, suara dentuman menggema.
Zevh masuk ke dalam kegelapan ruangan tahanan, membawa serta kebencian yang semakin pekat dan sketsa wajah Elara yang kini menjadi kunci untuk membuka semua rahasia yang ia sembunyikan.
---
Langkah kaki Zevh menggema di lorong sempit, beradu dengan dinding batu yang dingin. Hanya ada satu jiwa yang ditawan di ruangan itu. Elara.
Gadis itu mengangkat wajahnya. Saat mendengar suara langkah kaki.
"Dia kembali. Apa dia berubah pikiran? Apa dia akan membunuhku sekarang karena ucapanku tadi?"
Elara meremas jemarinya di atas gaun pemberian Zevh, gaun yang kini terasa seperti belenggu, bukan hadiah. Napasnya bergetar, namun hatinya menolak tunduk.
"Ibu… Ayah… Aku akan bertahan. Aku berjanji. Aku tidak akan menyeret desa Osca ke dalam sengsara karena diriku."
Tiba-tiba, simbol samar di bahunya berpendar, kilatan cahaya tipis, cepat, lalu padam. Seakan memberi isyarat jauh ke sana, mungkin menuju ibunya, bahwa dirinya masih hidup.
Suara langkah itu kian dekat, berat, penuh wibawa. Elara berdiri dari duduknya, menegakkan punggungnya meski lututnya gemetar.
“...Elara.”
Suara Zevh menggema, berat dan tegas. Sosoknya muncul dari balik bayangan lorong, tinggi menjulang, jubah hitamnya menjuntai mengikuti gerak. Tatapannya tajam, menyapu masuk ke dalam sel itu.
Elara menatapnya balik, diam, menunggu.
Senyum tipis, bukan kelembutan, melainkan sesuatu yang lebih gelap, muncul di sudut bibir Zevh. Ia berhenti tepat di depan jeruji, sorot matanya menyala seperti bara yang menyimpan rahasia.
“Elara Elowen…” suaranya lirih, namun menggema seperti vonis. “Akhirnya aku tahu siapa kau sebenarnya.”