"Sella jatuh hati pada seorang pria yang tampak royal dan memesona. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa kekayaan pria itu hanyalah kepalsuan. Andra, pria yang pernah dicintainya, ternyata tidak memiliki apa-apa selain penampilan. Dan yang lebih menyakitkan, dia yang akhirnya dibuang oleh Andra. Tapi, hidup Sella tidak berakhir di situ. Kemudian dirinya bertemu dengan Edo, seorang pria yang tidak hanya tampan dan baik hati, tapi juga memiliki kekayaan. Apakah Sella bisa move on dari luka hatinya dan menemukan cinta sejati dengan Edo?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Pengirim Pesan Ini?
Sella mematung di tengah getaran lantai. Pesan di ponsel Edo, dikirim oleh anonim, terasa seperti racun dan petunjuk di saat bersamaan. Tangan Sella bergetar bukan hanya karena goncangan properti, tetapi juga karena ancaman yang diserahkan padanya.
“Apa yang kamu pegang, Sella? Kenapa kamu diam?” tanya Edo dengan suara parau, berusaha merangkak mendekat, tetapi bahu kirinya membuatnya mengerang kesakitan. “Cepat, Sayang! Bangun! Kita harus keluar!”
Getaran yang lebih kuat melanda, menjatuhkan beberapa puing beton dari langit-langit yang rendah. Sella kembali sadar, memasukkan ponsel Edo ke saku dan berjongkok di sampingnya.
“Edo, dengarkan aku. Kita harus cepat. Tapi kenapa Hartono bilang aku yang menghubungi Andra? Apa maksudnya rahasia besarku di balik abu? Siapa pengirim pesan ini?” tuntut Sella, air matanya bercampur dengan debu.
Edo menangkup wajah Sella yang penuh trauma. “Lupakan Hartono. Dia hanya anjing yang menyalak di ambang kekalahan. Aku percaya padamu. Aku mempertaruhkan segalanya di sini. Kalau kau ingin mengkhianatiku, kau sudah melakukannya sejak lama. Fokus! Kita sedang dikubur hidup-hidup, Sella!”
“Ya, Tuan Edo benar! Kita tidak punya waktu untuk drama pengkhianatan,” seru Bara, pria tegap itu, dengan cepat meraih pergelangan tangan Edo. “Tuan, Anda terlalu terluka untuk berdiri. Tim, bawa Tuan Edo! Nona Sella, ikuti kami!”
Dua anggota tim elit segera mengangkat tubuh Edo yang berat, bergerak dengan cepat menuju tangga. Sella berada tepat di belakang mereka. Tangga curam terasa tidak berujung. Setiap langkah adalah perjuangan melawan rasa sakit, kelelahan, dan ketakutan yang mencekik.
“Mereka memasang bom penghancur propeti, Bara? Hartono tidak punya modal sebesar itu!” teriak Edo di tengah upayanya menahan rasa sakit. Tubuhnya terasa mati rasa dari pinggang ke bawah.
Bara memimpin dengan senjata siaga. “Pasti ada dalang lain di belakangnya, Tuan. Kita harus bergerak cepat sebelum mereka meledakkan gudang utamanya. Kecepatan! Ayo!”
Saat mereka mencapai pertengahan tangga, gudang di lantai dasar kembali bergetar, lebih parah kali ini. Debu dan pasir berhamburan dari sela-sela dinding, mengotori wajah mereka.
Sella terbatuk, refleks menahan laju tim. Ia tiba-tiba teringat lagi pada pesan itu, Cepat keluar. Cari di balik tumpukan abu.
“Tunggu! Tahan sebentar!” seru Sella, menghentikan langkah di belakang Edo. Ia menunjuk ke pintu masuk utama yang hancur total akibat ledakan tim elit sebelumnya. Area itu sekarang dipenuhi reruntuhan kayu, batu, dan sisa ledakan. “Pesan itu… aku harus memeriksanya! Di sana ada abu!”
Edo menggeleng. “Tidak! Apa pun itu, itu jebakan! Sella, ini bukan waktunya mencari petunjuk konyol!”
“Bagaimana jika ini penting, Edo? Ini mungkin tentang Andra, atau rahasia yang Hartono bicarakan!” Sella memegang lengan Bara. “Di mana tumpukan puing-puing paling banyak dari ledakan tadi?”
Bara menunjuk ke area dekat pintu. “Di sana. Tapi Nona, bangunan akan ambruk! Kami harus mengevakuasi Anda berdua segera!”
Sella memaksakan dirinya. Rasa sakit dan penderitaan yang disebabkan oleh Hartono telah membuatnya mencapai titik nol. Jika ia ingin membersihkan namanya dari tuduhan pengkhianatan, atau jika ia ingin memahami kenapa Andra kembali mengintai, ia harus tahu apa isi pesan itu.
“Tolong, Edo. Percayalah padaku. Hanya satu menit. Jika aku tidak menemukannya sekarang, kesempatan ini akan hilang bersama reruntuhan ini,” pinta Sella. Tatapan matanya yang penuh permohonan, serta ketakutan, membuat Edo akhirnya menyerah.
“Bara! Berikan Sella waktu 30 detik. Dan jangan biarkan dia sendirian. Aku tidak mau dia terluka lagi,” perintah Edo dengan suara keras, yang terdengar sangat kesakitan.
“Siap, Tuan,” jawab Bara, lalu mengisyaratkan satu timnya, Rio, untuk menjaga Sella.
Sella segera berlari ke arah puing-puing yang tersisa dari pintu utama. Udara berbau mesiu dan debu. Ia menggunakan tangan telanjangnya, meskipun terasa perih, untuk mengais tumpukan kayu yang hangus dan pecahan beton yang berwarna keabu-abuan.
“Tidak ada apa-apa di sini, Nona! Cepat! Kita harus pergi!” desak Rio, matanya terus waspada terhadap pergerakan baru di sekeliling.
Tepat ketika Sella merasa putus asa, tangannya menyentuh sesuatu yang lembut dan tidak terbuat dari beton atau kayu. Sella menariknya keluar. Itu adalah selembar amplop lusuh, tampak usang, dan berlumur debu.
Sella membukanya dengan tergesa. Di dalamnya, bukan data bisnis, bukan pula surat ancaman, melainkan beberapa lembar foto lama yang buram.
“Apa ini?” bisik Sella, tertegun.
Di foto pertama, ada seorang pria muda yang tersenyum ceria, wajah yang dikenalnya. Itu adalah Andra, mantannya, si Mokondo yang membuangnya. Namun, ia tidak sendirian. Di sebelahnya berdiri seorang wanita paruh baya, anggun, dengan perhiasan mahal dan aura berkelas. Dan di belakang mereka, tampak buram di kejauhan, adalah seorang anak kecil yang digendong oleh seorang pengasuh.
Sella merasa familiar dengan wajah wanita itu, tetapi tidak bisa mengingatnya dengan jelas.
Tiba-tiba, mata Sella menangkap detail lain di foto kedua. Itu adalah surat yang tampaknya baru dicetak. Isinya singkat, tetapi sangat mengguncang Sella.
’Dia mencintai Andra seperti anak kandungnya. Tapi dialah yang menghancurkan semua masa depan Sella dan memastikan kau tak pernah punya apa-apa selain dirinya. Semua kekayaan itu ditujukan untuk melenyapkanmu. Ini semua demi mewujudkan cinta sejati sang Mokondo.’
“Siapa yang mengirimkan ini?” gumam Sella. Dia mendongak, mencoba melihat sosok pengirim, tetapi gudang sudah kosong kecuali tim Edo yang menunggu.
Tiba-tiba, bumi di bawah kaki Sella berguncang untuk yang ketiga kalinya. Guncangan ini sangat dahsyat, disertai bunyi retakan beton yang memekakkan telinga. Sella terhuyung dan hampir terjatuh. Puing-puing besar dari langit-langit langsung ambruk di atas area tempat Sella berdiri hanya lima detik sebelumnya.
“Nona! Cepat!” raung Rio.
Sella tidak sempat berpikir panjang. Ia menyambar foto-foto itu dan berlari sekencang mungkin menuju tangga. Tim Edo telah membawanya dan Bara ke lantai dua, meninggalkan Rio dan Sella di lantai satu yang sedang hancur.
Ketika akhirnya Sella tiba di ambang lantai dua, ia melihat pemandangan yang lebih mengerikan. Mereka tidak keluar di ruang aman. Lantai dua yang tadinya tampak kokoh kini mulai miring. Terdengar deru baling-baling helikopter di atas, mencoba mendekat, tetapi asap dan debu menghalangi.
“Edo! Kita di mana?” tanya Sella panik, menyerahkan foto-foto itu ke tangan Edo.
“Ruang Kontrol lama. Tempat di mana semua komunikasi bisa diblokir,” jelas Edo, giginya bergemeletuk menahan nyeri. “Aku curiga mereka memasang peledak utama di bawah ruang kontrol ini.”
Sella tidak peduli lagi pada rasa takutnya. Ia menatap wajah wanita di foto itu dan surat ancaman di tangannya, kemudian beralih pada Edo yang tampak tak berdaya. Ia harus menemukan hubungan antara foto itu, Andra, dan Hartono.
“Edo, lihat wanita ini,” kata Sella, menunjuk foto ibu Andra. “Dia… dia ibunya Andra. Aku ingat! Dia pernah mengirim uang ke Andra untuk biaya sekolahnya, tapi dia bilang mereka putus kontak…”
Edo menatap foto itu, pandangannya yang kabur perlahan menajam. Seketika, ekspresi ketakutan yang dingin melingkupi wajahnya.
“Sial. Tidak mungkin…” Edo meraih lengan Bara dengan erat. “Bara, tunjukkan lagi perangkat radarmu! Cepat!”
Bara menyalakan radarnya. Matanya membulat ngeri.
“Tuan Edo, radius peledakan diperkirakan meliputi seluruh properti ini. Bukan hanya gudang di bawah,” lapor Bara dengan suara tercekik.
Edo menunjuk ke foto yang Sella temukan, wajahnya sekarang pucat pasi. “Wanita itu. Ibunya Andra, dia… dia adalah pemegang saham terbesar yang bersekutu dengan Hartono! Dialah dalang sebenarnya di balik krisis perusahaan!”
Sella tersentak mundur. Andra bukan hanya seorang mokondo penipu. Dia adalah mata-mata yang ditanamkan ke dalam hidup Sella oleh wanita terkaya yang juga ingin menghancurkan kekaisaran Edo.
Saat Sella hendak bertanya lebih jauh, langit-langit di atas mereka mulai runtuh sepenuhnya. Sebuah bongkahan baja jatuh di depan mereka, memblokir satu-satunya jalan keluar menuju area aman.
Bara panik. “Tidak ada jalan keluar, Tuan! Bom utama meledak sekarang! Kami terjebak!”
Edo memejamkan mata, memeluk Sella erat-erat di tengah reruntuhan yang menghantam mereka. “Aku minta maaf, Sella. Aku sudah melibatkanmu dalam kekacauan ini. Setidaknya… aku akan mati bersamamu.”
Tiba-tiba, sebuah suara parau, berlumuran darah dan kemarahan, memecah kebisingan di balik tumpukan puing yang jatuh.
“Kau tidak akan mati, Edo. Tidak sekarang!”
Itu Hartono. Dengan tubuh penuh lebam dan borgol yang berhasil ia lepas, ia merangkak dari balik reruntuhan, senapan serbu tim elit yang sempat terjatuh kini ada di tangannya. Matanya dipenuhi kegilaan saat menodongkan senjata itu tepat ke arah Edo dan Sella.
“Kalian akan menyaksikan kehancuran ini! Kalian berdua!” raung Hartono, jarinya sudah di pelatuk. “Tinggalkan wanita jalang itu dan biarkan dia jadi debu, Edo! Setidaknya selamatkan dirimu, Bodoh!”
Di antara suara runtuhnya beton dan lolongan Hartono yang gila, Sella tahu, takdir sedang menunggunya. Ini adalah momen terakhir. Kematian atau kemenangan.