Sejak kematian ayahnya yang misterius, Elina diam-diam menyimpan dendam. Saat Evan—teman lama sang ayah—mengungkapkan bahwa pelakunya berasal dari kepolisian, Elina memutuskan menjadi polisi. Di balik ketenangannya, ia menjalankan misi berbahaya untuk mencari kebenaran, hingga menyadari bahwa pengkhianat ada di lingkungan terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terhapus
Suara sirena mulai mereda, hanya tersisa bau mesin dan debu di udara pelabuhan. Beberapa petugas sibuk mengamankan lokasi, sementara para detektif berdiri dengan wajah muram. Operasi yang seharusnya menjadi kemenangan besar malam ini berakhir gagal.
Andra menatap kapal kargo yang kini porak-poranda. Napasnya memburu, rahangnya menegang.
"Brengsek!" umpatnya, meninju kap mobil di depannya. "Semuanya sudah diatur dengan rapi—kenapa bisa bocor lagi?!"
Cakra dan Bayu saling pandang, tak berani bicara. Hanya Alaric yang menatap Andra tenang, meski wajahnya masih penuh luka lebam akibat perkelahian dengan Rio. "Kita semua nggak nyangka mereka bakal tahu rencana kita," ucapnya berat. "Mereka terlalu siap."
Andra mengibaskan tangan kasar. "Saya nggak butuh alasan, Alaric. Saya butuh hasil." ia berbalik pada teknisi yang sedang memeriksa laptop. "Cek semua CCTV pelabuhan, saya mau tahu siapa yang pertama kali bikin kacau."
Petugas itu mengangguk cepat, jemarinya lincah menari di atas keyboard. Beberapa menit berlalu, layar menampilkan rekaman dari berbagai sudut—namun anehnya, bagian yang menampilkan area tim Alaric tampak kosong. Gambar macet, seperti sengaja dihapus.
"Gak ada, Pak," ucap sang teknisi ragu. "Semua rekaman di area tim B dan A hilang total."
Andra menatap layar tajam, lalu mengepalkan tangan. "Hilang? Atau dihapus." Suaranya rendah tapi menekan. Ia menatap satu per satu wajah bawahannya, termasuk Valencia yang berdiri diam di ujung ruangan, dengan ekspresi dingin seperti biasa.
Seketika ruangan terasa tegang. Hanya suara dengung alat bukti yang bekerja.
“Kerja bagus,” sindir Andra datar, “sekarang pelaku kabur, bukti hilang, dan kita cuma punya reruntuhan.”
Ia melangkah pergi, meninggalkan mereka dalam diam.
•••
Sementara itu, beberapa polisi dan ilmuwan forensik mulai memeriksa peralatan yang ditinggalkan Evan dan timnya. Mesin-mesin berkilau, bersih, dan jauh lebih canggih dari yang mereka duga.
“Gila, ini bukan rakitan biasa,” gumam Bayu kagum, menatap tabung kaca berisi cairan bening. “Teknologinya setara laboratorium medis internasional.”
“Makanya sulit dilacak,” sahut Cakra, masih mencatat hasil pengamatan.
Valencia berjalan mendekat, wajahnya tetap datar tapi matanya menelusuri setiap alat dengan saksama.
“Jangan sentuh terlalu lama,” katanya pelan. “Sebagian dari alat ini bisa aktif lagi kalau sensor panasnya menyala.”
Cakra langsung menarik tangannya. “Lo tahu dari mana, Val?”
Valencia menatapnya sebentar. “Pernah lihat yang serupa.”
Jawabannya singkat, tapi cukup membuat Cakra bungkam.
Alaric datang menghampiri, masih menahan rasa sakit di bahunya. “Lo gak apa-apa?”
Valencia sekilas menoleh. “Cuma lecet.”
“Tadi lo sempat sebentar pas baku tembak,” ucap Alaric hati-hati. “Gue kira lo kena.”
Valencia tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap sisa jejak peluru di dinding kapal, lalu berucap datar, “Gue cuma mengambil jalur lain.”
Hening sesaat. Angin laut malam berhembus, membuat rambut Valencia sedikit berantakan. Tatapannya kosong, seolah pikirannya masih tertinggal di balik pelarian Evan.
“Dia hampir kita tangkap,” gumam Alaric, menatap arah kapal yang gosong sebagian. “Tapi entah kenapa gue ngerasa, dia tahu semua gerakan kita.”
Valencia tak menanggapi. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, menahan sesuatu yang tak bisa diucap.
Dalam hatinya, kalimat Evan di pelabuhan terus bergema—tatapan dingin penuh kecewa itu tak mau hilang.
“Val, lo dengerin gue gak?” tanya Alaric lagi.
Valencia akhirnya menoleh, bibirnya menipis. “Denger. Tapi sepertinya lebih baik kita fokus ke tugas berikutnya.”
Nada suaranya datar, tapi di balik mata tenangnya, ada perasaan asing yang belum pernah ia tunjukkan.